Ads

Tuesday, January 8, 2019

Rajawali Emas Jilid 139

Ilmu pedang Cui Bi hebat bukan main. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia mendapat gemblengan dari ayah dan ibunya semenjak kecil. Tokoh seperti Giam Kin, biarpun memiliki kepandaian yang tinggi, bukanlah lawannya bermain pedang.

Segera ternyata bahwa Si Muka Setan itu terdesak dan tertindih hebat sekali sampai tidak mampu membalas serangan Cui Bi, hanya dapat menangkis kesana kemari dan meloncat kekanan kiri untuk menghindarkan sambaran pedang yang akan merupakan tangan maut baginya.

Desakan ini membuat Giam Kin menjadi malu, penasaran, marah dan kemudian ia menjadi nekat. Sambil menggereng seperti seekor binatang terpojok, ia menangkis pedang dengan suling ularnya, lalu tangan kirinya yang seperti cakar setan itu bergerak mencengkeram ke arah dada Cui Bi!

“Setan tak bermalu!”

Cui Bi memaki, menggeser kaki miringkan tubuh jauh ke kanan, lalu dengan gerakan yang indah dan tak terduga-duga pedangnya menyambar dan… terdengar seperti orang membacok kayu ketika pedangnya membabat putus lengan kiri yang kering itu! Tapi lengan yang buntung itu tidak mengeluarkan darah, agaknya tangan itu memang sudah mati dan kering.

Kaget sekali Cui Bi dan kekagetannya ini memperlambat gerakannya sehingga ia kena diserang oleh Giam Kin yang menghantamkan suling ularnya ke arah punggung Cui Bi.
Hebat sekali gadis puteri tunggal Ketua Thai-san-pai ini. Ia berada dalam posisi berbahaya sekali, sehabis membacok tangan kelihatan tertegun dan ngeri, sekarang punggungnya disambar senjata musuh yang lihai. Tak mungkin ia dapat menangkis dan untuk mengelak juga sukar karena suling ular itu menghantam dari arah belakangnya.

Tapi dasar ia gadis pendekar yang sudah tinggi ilmu silatnya, sehingga punggungnya pun seakan-akan mempunyai “mata” yaitu perasaan naluri yang membuat seorang ahli silat dapat menangkis serangan di waktu ia sedang tidur sekalipun!

Melihat dirinya terancam bahaya, Cui Bi tidak menjadi bingung, malah ia menerjang dengan pedangnya menusuk ke arah ulu hati Giam Kin sambil diam-diam mengerahkan Iwee-kang pada punggungnya. Ia pikir, gerakannya tidak kalah dulu dan tidak kalah cepat, andaikata datangnya kedua senjata berbareng, pedangnya sudah pasti akan menembus ulu hati, sedangkan pukulan suling itu belum tentu akan berbahaya baginya karena sudah terjaga oleh pengerahan tenaga Iwee-kangnya!

“Ayaaaa….!”

Giam Kin kaget setengah mati dan tentu saja ia tidak mau menukar pukulan pada punggung dengan tusukan pada ulu hatinya karena selain rugi, juga sudah pasti nyawanya akan melayang! Secepat kilat ia membanting tubuhnya ke kiri untuk menghindarkan dirinya dari tusukan maut, akan tetapi otomatis pukulannya pada punggung lawan juga menjadi batal.

Cui Bi menjadi marah, selagi tubuh lawan bergulingan diatas papan, ia tidak mau memberi hati, terus menerjang maju, melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerakan pedang yang amat lihai.

Sambil bergulingan Giam Kin berusaha menangkis, tapi gerakannya kalah cepat. Sebelum ia meloncat bangun, Cui Bi sudah berhasil menusuk pergelangan tangan kanannya. Giam Kin mengaduh dan suling ularnya terlepas dari pegangan. Cui Bi menyerang terus, membuat Giam Kin bergulingan kesana kemari menghindarkan bacokan atau tusukan pedang.

Darah mulai mengucur ketika ujung pedang Cui Bi menembus baju mengenai pundak dan paha, akan tetapi Giam Kin bergulingan terus berusaha menyelamatkan dirinya.

“Bi-moi, jangan bunuh orang….!” tiba-tiba Kun Hong berseru sambil berdiri dari tempat duduknya.

Mendengar suara ini, Cui Bi menahan sebuah tusukan yang sedianya akan menamatkan riwayat Si Muka Setan itu, lalu kakinya menendang. Tubuh Giam Kin terlempar ke bawah panggung dibarengi jeritan kesakitan.

Tubuh itu terbanting di atas tanah, ia merangkak lalu lari terpincang-pincang dari tempat itu. Pada saat itu, pertempuran antara Kwa Hong dan Hek-hwa Kui-bo juga mencapai puncaknya. Dengan jurus Im-Sin Kiam-sut yang istimewa gayanya, Hek-hwa Kui-bo yang penasaran itu menyerang. Hebat serangan pedang ini sehingga biarpun Kwa Hong sudah cepat mengelak, tetap saja pundak kirinya tertusuk dan darah mengucur keluar.

Hek-hwa Kui-bo tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika pada saat itu Kwa Hong yang tidak mempedulikan pundaknya yang tertusuk, sempat mengerahkan cambuknya dan tiga diantara lima anak panah di ujung cambuk itu menyambar ke tiga bagian tubuh Hek-hwa Kui-bo.





Nenek ini masih dapat menangkis dua anak panah yang menghantam pusar dan dada, akan tetapi sebatang anak panah, yang sedianya menghancurkan kepalanya, biarpun telah ia elakkan, tetap saja menancap pada pinggir lehernya!

Hek-hwa Kui-bo melepaskan pedangnya yang masih menancap di pundak Kwa Hong, tangan kanannya lalu menghantam sekuat tenaga ke depan. Kwa Hong yang melihat hantaman ini, tak sempat lagi mengelak, tangan kirinya melepaskan cambuk dan sekali putar ia telah melancarkan pukulan Jing-tok-ciang menyambut pukulan Hek-hwa Kui-bo.

Terdengar suara keras dan tubuh kedua orang wanita itu terlempar turun panggung. Kebetulan sekali tubuh Kwa Hong terlempar ke arah Giam Kin, yang sedang merangkak bangun. Melihat musuh besarnya yang telah membuat wajahnya yang tampan menjadi seperti muka setan, Giam Kin girang dan menggunakan kesempatan itu untuk mengayun tangan kanannya memukul Kwa Hong yang jatuhnya dekat sekali dengan dirinya.

“Bukk!”

Pangkal leher Kwa Hong terpukul, tapi wanita ini sempat menggerakkan pedangnya dan “cesss!” pedang itu menusuk perut Giam Kin sampai tembus ke punggungnya. Si Muka Setan itu berkelojotan sebentar lalu diam, putus napasnya.

Kwa Hong juga terguling roboh. Di lain tempat, Hek-hwa Kui-bo yang jatuh terbanting berusaha bangun, tapi dua kali ia gagal, lalu roboh tak bernapas lagi, kiranya anak panah yang menancap di lehernya itu mengandung racun yang luar biasa jahatnya sehingga seluruh tubuhnya keracunan, tak dapat ditolong lagi.

Sambil berseru keras Sin Lee sudah melompat ke tempat ibunya, menyambar tubuh ibunya dibawa lari ke tempat rombongan tuan rumah. Segera Kwa Hong disambut oleh Beng San, Li Cu, dan Kun Hong. Yang lain-lain mendekati dan memandang kuatir. Keadaan Kwa Hong hebat sekali lukanya, parah, akan tetapi wanita ini tersenyum-senyum saja.

Melihat Sin Lee berlutut dengan muka pucat, Kwa Hong berbisik,
“Mana… mana dia….?”

Sin Lee maklum, menoleh kepada ayahnya, Beng San mendekat, berlutut.
“Hong-moi, bagaimana luka-lukamu….?” tanyanya, terharu.

“Tak usah bicara tentang aku, yang perlu anakku, Beng San, apakah kau benar mau menerimanya sebagai puteramu?”

“Sudah tentu, Hong-moi, Sin Lee memang puteraku.”

“Kau akan mendidiknya baik-baik seperti anak-anakmu yang lain?”

“Tentu!”

“Bersumpahlah!” suara Kwa Hong masih keras dan seperti marah-marah.

Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah bahwa ia akan menerima Sin Lee sebagai putera sendiri dan mendidiknya baik-baik.

Kwa Hong nampak lega.
” Mana…. Li Cu?”

Li Cu memang berdiri di dekat situ, maka mendengar ini iapun lalu mendekat dan berlutut.

“Li Cu, kau rela menerima Sin Lee sebagai anak tirimu?”

Li Cu mengangguk, terharu.
“Puteramu adalah putera suamiku, berarti dia itu puteraku sendiri, tiada bedanya.”

“Enci Kwa Hong, biarkan aku memeriksa lukamu….” Tiba-tiba Kun Hong berkata, mendekati wanita yang terluka parah itu.

“Siapa kau?” Kwa Hong membentak, suaranya ketus.

“Enci Hong, ayahku bernama Kwa Tin Siong, Ibuku Liem Sian Hwa, kita adalah saudara tiri.”

Sejenak Kwa Hong tercengang, lalu mengipatkan tangan Kun Hong yang menjangkaunya hendak melakukan pemeriksaan.

“Jangan sentuh aku! Aku anak…. Jahat, anak murtad.”

“Enci, Ayah tidak pernah marah kepadamu, rindu sekali dan berkasihan kepadamu.” Kata Kun Hong dengan suara halus.

Kwa Hong memandang tajam, agaknya tak percaya. Suaranya makin lemah dan parau ketika ia bertanya,

“Ayah…. Ayah mengampuni aku… ?”

“Sejak dahulu Ayah mengampunimu, Enci. Malah kau diharap-harap kembalimu ke Hoa-san. Enci, biarkan aku memeriksamu, barangkali aku dapat mengobatimu.”

“Benar, Hong-moi. Adikmu ini mempunyai kepandaian ilmu pengobatan, akupun telah mendapatkan pertolongannya.” Kata Beng San.

“Tidak! Biar aku mati…. Ah, aku seorang Jahat…. Li Cu, kau begini mulia, Ayahpun mengampuniku…. Semua orang baik-baik sedangkan aku… aku… Sin Lee… Jangan kau tiru Ibumu, Kau ikutlah ayahmu menjadi orang baik-baik….”

Tubuh ini menegang sebentar, lalu lemas, mulutnya tersenyum, matanya meram, napasnya terhenti.

Sin Lee menubruk ibunya, akan tetapi dua buah tangan kuat memegang pundaknya. Ia menoleh, melihat wajah ayahnya yang pucat, sepasang mata ayahnya yang tajam itu memperingatkannya bahwa tidak selayaknya seorang gagah terlalu menyedihkan kematian.

“Ibu… ibu… selamat jalan….” Sin Lee terisak lalu menguatkan hatinya, mundur.

Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya dan memberi perintah supaya jenazah Kwa Hong dibawa naik kepuncak dan dirawat disana. Semua berjalan dengan tenang dan para tamu dari tempat jauh tidak melihat nyata apa yang terjadi disitu.

Hanya setelah jenazah itu diangkat mereka tahu bahwa Kwa Hong yang dikenal sebagai wanita iblis itu telah tewas. Jenazah Hek-hwa Kui-bo telah diangkut oleh para anggauta Ngo-lian-kauw, sedangkan jenazah Giam Kin disingkirkan oleh Siauw-ong-kwi. Keadaan sementara menjadi sunyi.

Pada saat itu terdengar orang tertawa terkekeh-kekeh dan dua bayangan orang meloncat ke atas panggung. Mereka ini ternyata adalah Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio, Suara Toat-beng Yok-mo yang tertawa tadi dan sekarang Setan Obat itupun berkata nyaring dengan suaranya yang serak,

“Heh-heh-heh, Ketua Thai-san-pai. Kau benar-benar licik sekali. Semenjak tadi baru seorang anak murid Thai-san-pai maju, lalu kedua orang putera-puterimu. Kau mempergunakan orang-orang muda untuk melindungi muka Thai-san-pai, malah mengadu domba antara bekas musuh dengan musuh. Pintar! Aku memang tidak ada urusan penting dengan Thai-san-pai, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan pemuda Kwa Kun Hong yang berlindung di tempatmu. Kwa Kun Hong, kau telah menghina kami berdua dengan akal licik, hayo keluarlah memperhitungkan diatas panggung ini!”

“Toat-beng Yok-Mo!” suara Beng San amat keras menggeledek. “Tak usah kita bicara tentang pengeroyokan kemarin dulu, kau tidak menantang aku sudahlah. Akan tetapi kau menantang seorang pemuda, keponakanku dari Hoa-san-pai yang menjadi tamu terhormat, Apakah kalian berdua tua bangka hendak mengeroyok seorang pemuda?”

“Hi-hi-hi, sama sekali tidak mengeroyok. Biarlah aku turun dulu, menunggu giliran.” Ia menoleh kepada Tok Kak Hwesio “Hwesio yang baik, kau boleh memberi hajaran kepadanya, tapi jangan dibunuh, biarkan aku yang menghabisinya, heh-heh-heh!”

Setelah Toat-beng Yok-mo melompat turun, Tok Kak Hwesio berkata kearah Kun Hong.
“Siluman muda, hayo kau naik perlihatkan kepandaianmu!”

Kun Hong mengerutkan keningnya. Tak senang ia berkelahi, apalagi di tempat umum seperti itu, dijadikan tontonan! Ia ragu-ragu. Didiamkan saja, tentu memalukan, bukan memalukan namanya, terutama sekali memalukan Hoa-san-pai dan juga Thai-san-pai sebagai tuan rumah. Dilayani, ah, mengapa melayani orang gila yang mabuk nafsu membunuh?






No comments:

Post a Comment