Ads

Tuesday, January 8, 2019

Rajawali Emas Jilid 138

Hek-hwa Kui-bo tertawa terkekeh-kekeh, wajahnya yang tua dan biasanya masih berbekas kecantikannya itu setelah terkekeh-kekeh kelihatan buruknya, mulutnya yang tak bergigi lagi kelihatan kehitaman dan matanya berputar-putar liar.

“He-he-he-he, kiranya kau anak haram. Ha-hah-heh-heh, memang sejak dulu Tan Beng San bukanlah orang baik-baik. Kapankah ia menikah dengan Kwa Hong? Kapankah ia menjadi ayahmu? Tentu melalui hubungan gelap. Coba sekalian yang hadir pikir yang baik-baik, orang yang mempunyai anak haram mana patut menjadi ketua sebuah perkumpulan silat?”

Sin Lee tak dapat menahan kemarahannya lagi, mukanya pucat matanya seperti mengeluarkan api. Biarpun ia dengan gagah berani mengakui kenyataan dirinya, akan tetapi kalau mendengar hinaan yang diucapkan di depan umum secara demikian merendahkan dan disertai kata-kata kotor, tentu saja ia tidak tahan mendengarnya.

“Iblis betina lihat pedangku!” Ia sudah menerjang dengan nafsu meluap.

Hek-hwa Kui-bo terkekeh-kekeh tapi cepat menangkis serbuan pemuda ini, lalu sambil melayani serangan Sin Lee yang bernafsu, ia masih sempat berkata,

“Kau bocah haram harus kubikin mampus dulu, baru kemudian tiba giliran ibumu yang tak tahu malu dan ayahmu yang hina!”

Makin naik darah Sin Lee dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menikam mati orang yang dibencinya ini. Dan inilah kesalahannya. Sebagai seorang muda, tentu saja ia berdarah panas dan tidak tahu akan siasat lawan yang jauh berpengalaman dan yang terkenal sebagai seorang tokoh besar penuh tipu muslihat.

Di samping sengaja menghina tuan rumah, memang Hek-hwa Kui-bo sengaja pula membakar hati orang muda ini sehingga sekarang Sin Lee lupa akan kewaspadaan dan menerjang dengan nekat.

Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, mengumbar nafsu amarah merupakan pantangan besar, Dalam bersilat, apalagi kalau menghadapi lawan berat, sekali-kali tidak boleh dihinggapi kemarahan, karena nafsu ini akan menyesakkan dada dan mengurangi ketelitian dan ketenangan. Apabila bermain silat dengan diamuk kemarahan, permainannya tidak tenang dan karenanya daya permainannya kurang kuat.

Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh kawakan yang sebelum mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut sudah merupakan tokoh jarang tandingannya, Apalagi setelah ia mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut, kepandaiannya menjadi hebat sekali dan orang-orang yang dapat menandinginya hanyalah tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi.

Biarpun Sin Lee juga merupakan seorang pemuda gemblengan, namun menghadapi Hek-hwa Kui-bo ia kalah setingkat, kalah akal dan kalah pengalaman.

Dalam dorongan nafsunya, memang kelihatannya Sin Lee mendesak Hek-hwa Kui-bo dengan penyerangan bertubi-tubi. Ia menggunakan ilmu silatnya yang aneh malah tangan kirinya beberapa kali ia putar-putar untuk melakukan pukulan Jing-tok-ciang.

Namun pukulan-pukulan ini dapat dibikin buyar oleh tangkisan Hek-hwa Kui-bo yang mempergunakan ilmu pukulan beracun Hwa-tok-ciang yang dilakukan dengan tangan kiri sekalian untuk mengebutkan sabuknya yang dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh itu.

Nenek ini sengaja main mundur karena ia sengaja memancing agar pemuda lawannya ini makin bernafsu sehingga akan terbuka kesempatan baginya untuk merobohkannya sekaligus tanpa meleset lagi.

Beng San memegangi tangan kursinya dengan erat, mukanya agak pucat, Celaka dia, pikirnya gelisah. Sebagai seorang gagah yang memegang aturan kang-ouw, tentu saja tak dapat ia melompat ke depan untuk menolong puteranya itu dan ia tahu betul betapa Sin Lee terancam maut.

Hanya Beng San seorang yang tahu akan hal ini, adapun orang-orang lain, bahkan juga Cui Bi, Li Eng dan Kong Bu yang berkepandaian tinggi, tidak dapat menduga akan hal ini. Mereka ini memperlihatkan muka gembira.

Hanya Kun Hong yang muram wajahnya karena ia juga mengerti seperti Beng San, melainkan pemuda itu merasa sedih sekali karena sekali lagi ia harus menjadi saksi dari pertempuran-pertempuran maut yang pasti akan membawa korban.

Pengertian Beng San akan hal ini adalah karena ia sudah menyelami keadaan kepandaian Hek-hwa Kui-bo, maka ia dapat mengerti bahwa nenek itu sedang mengintai kesempatan seperti maut mengintai korban. Betapapun juga, ia bersiap sedia menolong puteranya itu apabila nyawanya terancam. Ia tidak akan mengeroyok, hanya akan menyelamatkan Sin Lee.





Ketika kesempatan itu tiba, pada saat pedang Sin Lee menusuknya, Hek-hwa Kui-bo melihat pergelangan tangan pemuda itu tak terjaga. Cepat sabuknya yang beraneka warna itu menyambar dari samping sedangkan pedangnya menangkis.

Tentu saja Sin Lee hanya mengira bahwa serangannya ini akan dihindarkan lawan dengan tangkisan ini, tidak tahunya tangkisan ini hanya untuk memancing perhatiannya dan yang penting bagi nenek itu adalah sabuknya yang kini telah menyambar pergelangan tangan Sin Lee dan seperti seekor ular hidup telah melibat-libat pergelangan tangan berikut jari-jari yang memegang pedang!

Sin Lee kaget sekali, berusaha membetot tangannya, namun sabuk itu ternyata terbuat dari bahan aneh yang selain kuat dan ulet, juga dapat mulur maka tak dapat ia menarik putus. Dan pada saat itu, pedang Hek-hwa Kui-bo sudah berkelebat menyambar diatas kepalanya diiringi suara ketawa aneh nenek itu.

Pemuda itu tak dapat mengelak, tak dapat melompat pergi karena lengan kanannya telah terbelit sabuk, jalan satu-satunya baginya hanya menangkis bacokan itu dengan tangan kiri karena untuk menggunakan tangan kiri memukul, sudah tidak keburu lagi.

Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar lengking tinggi nyaring dan berkelebatlah bayangan orang didahului sinar kehijauan.

“Trangggg!”

Pedang yang akan membacok Sin Lee tertangkis oleh sebatang anak panah hijau dan kemudian lima batang anak panah yang terikat pada ujung cambuk yang berujung lima, menyambar-nyambar dan menyerang Hek-hwa Kui-bo.

“Jangan menghina orang muda, Hek-hwa Kui-bo siluman tua bangka, akulah lawanmu, lepaskan anakku!”

Hek-hwa Kui-bo cepat melepaskan sabuk yang membelit lengan Sin Lee dan melompat mundur sambil memutar pedang menangkis. Sementara itu orang yang baru datang ini yang bukan lain adalah Kwa Hong sendiri, mendorong pundak Sin Lee dan berkata,

“Pergilah kau kepada ayahmu, siluman ini akulah lawannya.”

Dorongan ini kuat sekali, tak dapat ditahan oleh Sin Lee yang terpaksa melompat turun dari panggung, menduduki lagi tempat duduknya dengan wajah pucat memandang ke atas panggung. Melihat betapa Kwa Hong menggantikan putranya menghadapi Hek-hwa Kui-bo, wajah Beng San dan semua keluarganya menegang, Beng San diam-diam merasa terharu sekali.

Ia maklum bahwa di balik kebencian Kwa Hong kepadanya, masih terdapat kasih terpendam dan akhirnya melalui putera mereka, Sin Lee, agaknya Kwa Hong menyingkirkan sakit hati dan dendamnya sehingga di depan umum Kwa Hong sekarang berhadapan dengan Hek-hwa Kui-bo yang sudah jelas datang dengan maksud buruk terhadap Thai-san-pai.

Memang mendongkol sekali hati Hek-hwa Kui-bo melihat Kwa Hong maju melawannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi ia marah bukan main, lalu memaki,

“Aha, inilah perempuan tidak tahu malu yang melahirkan pemuda tadi dari perbuatan hina! He-he-heh, kau murid Hoa-san-pai murtad, wanita iblis sombong, memang orang macam kau ini kalau tak dibikin mampus hanya akan mengotorkan dunia persilatan saja!”

Kwa Hong tidak menjawab, melainkan melengking keras dan tahu-tahu ia telah melakukan serangan serentak dengan lima buah anak panah di ujung cambuk dan dengan pedang di tangan kanannya.

Hebat sekali serangan ini karena Hek-hwa Kui-bo sendiri yang merupakan tokoh hebat dari selatan sampai berseru kaget dan cepat melompat mundur, ia merasa seakan-akan sekaligus diserang oleh lima enam orang lawan! Nenek ini maklum bahwa kepandaian Kwa Hong tak boleh dipandang ringan, maka ia tidak mau bicara lagi, cepat kedua tangannya bergerak, pedang dan sabuknya sudah menyambar-nyambar mengimbangi permainan lawan. Hebat sekali pertempuran kali ini.

Keduanya memiliki ilmu silat yang ganas dan tak mengenal kasihan. Hek-hwa Kui-bo segera merasa betapa ilmu pedang yang dimainkan oleh Kwa Hong itu ganas dan aneh bukan main, maka iapun lalu cepat mainkan Im-sin Kiam-sut untuk melawannya, sedangkan sabuknya juga merupakan lawan dari cambuk di tangan Kwa Hong.

Dua orang jago betina bertempur mempergunakan pedang dan senjata-senjata aneh yang mengandung racun, tentu saja pertandingan ini hebat dan seru, juga amat menegangkan hati.

Tiba-tiba terdengar suara parau,
“Heee! Hek-hwa Kui-bo, Iblis betina itu adalah untukku, jangan dibikin mampus dulu. Akulah yang berhak membunuhnya!”

Berbareng dengan teriakan ini tubuh seorang yang mukanya seperti setan melayang ke atas panggung. Sebagian besar para tamu tercengang dan merasa ngeri menyaksikan muka seorang laki-laki yang begini menyeramkan, mata kiri bolong, mulut robek, telinga kiri buntung dan tangan kiri kaku seperti cakar setan

“Iblis betina Kwa Hong, inilah Siauw-coa-ong Giam Kin! Kau telah membikin mukaku seperti ini, saat ini kau harus menebusnya!”

Seperti orang gila Giam Kin mainkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah suling ular, dimainkan dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya yang berbentuk cakar setan itu juga melakukan penyerangan yang hebat.

Dari pihak tuan rumah berkelebat bayangan yang amat gesit seperti burung terbang, disusul bentakan nyaring halus,

“Manusia muka setan, tidak boleh main keroyokan. Dasar curang! Hayo sekarang hadapi pedangku secara laki-laki!”

Tanpa memberi kesempatan lagi Cui Bi yang sudah berada di atas panggung segera menerjang Giam Kin dengan pedangnya.

Gadis ini menyerang penuh kebencian, maka gerakan pedangnya hebat bukan main, cepat dan kuat sekali. Giam Kin terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya, sulingnya terbuat dari logam yang kuat dan dengan mengandalkan Iwee-kangnya, ia ingin membuat pedang di tangan gadis itu terlepas.

Namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba pedang di tangan Cui Bi itu yang seperti hidup, melejit ke bawah dan melewati sulingnya terus menusuk ke arah lambungnya!

“Celaka….!”

Giam Kin membuang diri ke belakang dan bergulingan diatas papan untuk menghindarkan diri. Ia tidak mengira bahwa gadis itu demikian cerdik dan ilmu pedangnya demikian hebat. Memang sebelum melompat keatas panggung tadi, telinga gadis ini mendengar bisikan, suara ayahnya, “… jangan mengadu tenaga….” Pesan inilah yang membuat Cui Bi berhati-hati dan berlaku cerdik.

Ia dapat menduga maksud ayahnya dengan pesan ini. Tentu Si Muka setan ini memiliki tenaga Iwee-kang yang lebih kuat darinya, atau mungkin suling yang berbentuk ular itu mengandung senjata rahasia yang akan bekerja kalau senjata itu beradu dengan senjata lain.

Setelah meloncat bangun, Giam Kin menghadapi penyerangan gadis itu dengan hati-hati sekali, mempergunakan seluruh tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Namun hatinya kecut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa makin lama pedang gadis itu makin kuat dan membingungkan.

Hal ini takkan mengherankan hatinya kalau ia tahu bahwa Cui Bi untuk menghadapi orang yang dibencinya ini telah mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, yaitu Im-yang Sin-kiam-sut yang jarang tandingannya di dunia persilatan, Giam Kin mulai menyesal.

Tadinya ia menganggap dirinya sudah kuat benar malah ia ingin menonjolkan namanya dengan mengalahkan Beng San kalau bisa, karena ia sudah mendengar bahwa Ketua Thai-san-pai itu telah terluka parah. Siapa kira, menghadapi gadis puteri Ketua Thai-san-pai ini saja ternyata amat berat. Dan ia tahu pula betapa bencinya gadis ini kepadanya, gadis yang kemarin dulu hampir mati menjadi korbannya.

Para tamu memandang ke atas panggung dengan hati diliputi penuh ketegangan. Pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dan Kwa Hong sudah cukup hebat dan mengaburkan pandangan mata, apalagi sekarang ditambah dengan sebuah pertandingan lagi antara manusia muka setan dan gadis cantik itu, benar-benar membuat hati menjadi tegang bukan main.

Melihat munculnya tokoh-tokoh besar dan melihat ilmu silat yang demikian hebatnya, mereka yang tadinya ingin mempertunjukkan kepandaiannya di atas panggung, sekarang menjadi kuncup hatinya dan keinginan hati itu terbang jauh.






No comments:

Post a Comment