Ads

Tuesday, January 8, 2019

Rajawali Emas Jilid 140

Kong Bu bangkit berdiri, memegang lengannya.
“Saudara Kun Hong, jangan gelisah. Akulah wakilmu!”

Sebelum Kun Hong sempat menjawab, tubuh Kong Bu sudah melayang naik ke atas panggung. Dengan muka keren dan pandang mata tajam pemuda ini membentak,

“Hwesio tua, sepanjang ingatanku, saudara Kwa Kun Hong adalah seorang yang tidak suka berkelahi, pantang membunuh dan selalu mengalah. Bagaimana seorang pendeta seperti kau ini mendendam kepadanya? Biarpun dia itu seorang murid Hoa-san-pai, namun ia mempelajari ilmu sastra saja, tidak suka akan ilmu silat. Apakah tantanganmu ini tidak merendahkan dirimu sendiri dan sekaligus membuka watakmu yang tak tahu malu, menantang kepada seorang pemuda yang hanya tahu ilmu sastra dan pengobatan? Kalau memang kau hendak berlagak, akulah tandinganmu!”

Tok Kak Hwesio marah sekali. Ia mengenal pemuda ini yang kemarin telah membantu Beng San dalam pengeroyokan, dan sepanjang pendengarannya, pemuda ini katanya cucu Song-bun-kwi. Bagaimana bisa begini dan apa artinya semua ini?

“Eh, orang muda, sebenarnya kau ini siapakah? Pernah apa kau dengan Ketua Thai-san-pai dan apamu pula Kun Hong itu?”

“Hwesio, aku tahu bahwa kau adalah Tok Kak Hwesio yang berjuluk Kauw-jiauw-kang Si Cakar Monyet, bekas perampok besar! Kau belum kenal aku? Aku adalah putera Ketua Thai-san-pai, namaku Tan Kong Bu.”

“Ha-ha-ha, semua mengaku putera Ketua Thai-san-pai? Orang bilang kau cucu Song-bun-kwi…. Berapa orang sih isteri Ketua Thai-san-pai?”

“Benar! Mendiang ibuku adalah puteri tunggal Kakek Song-bun-kwi. Nah, kau sudah tahu jelas, apakah kau masih berani melawanku sebagai wakil saudara Kwa Kun Hong seorang sahabatku yang baik?”

“Keparat, kau sombong benar. Lihat seranganku!”

Hwesio itu sudah marah sejak ia dimaki-maki sebagai perampok besar tadi, maka tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang mempergunakan cengkeramannya yaitu Kauw-jiauw-kang. Lihai sekali ilmu ini, kedua tangannya sudah digembleng, gerakannya cepat, penuh tenaga Iwee-kang dan sekali lawan kena dicengkeram, pasti kulitnya hancur dagingnya robek tulangnya remuk!

Kemarin dulu ketika Kong Bu menolong ayahnya dari pengeroyokan, sudah melihat ilmu kepandaian hwesio ini, maka ia tidak berani berlaku sembrono menghadapi serangan ini, ia mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Yang-sin-hoat, ilmu silat yang berdasarkan tenaga keras sehingga pukulannya mendatangkan hawa panas.

Kong Bu semenjak kecil digembleng hebat oleh Song-bun-Kwi dan karena Song-bun-kwi tadinya bercita-cita supaya cucu ini kelak bertanding melawan Beng San, tentu saja ia menurunkan seluruh kepandaiannya. Siapa kira sekarang cucunya bukan melawan ayahnya, malah sebaliknya di atas panggung ini mempertahankan nama baik Thai-san-pai.

Setelah belasan jurus saling serang, diam-diam Tok Kak Hwesio mengeluh di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar yang sakti dan yang jauh lebih tinggi ilmunya daripada dia sendiri, akan tetapi sungguh ia tidak mengira bahwa cucunya, seorang pemuda yang usianya baru dua puluhan tahun, sudah memiliki kepandaian begini tinggi dan tenaga yang begini kuat.

Dilain pihak, Kong Bu juga merasa sukar untuk menjatuhkan hwesio itu karena dia tak pernah berani melakukan tangkisan terhadap cengkeraman lawan. Dengan cara mengelak tiba-tiba ia dapat balas memukul sehingga biarpun ia dapat mendesaknya dengan hujan pukulan, namun masih kurang cepat dan selalu dapat dielakkan oleh hwesio kosen itu. Apa pula kalau hwesio itu menangkis sambil mencengkeram, ia selalu harus menghindarkan tangannya dan menarik kembali pukulannya.

Tiba-tiba ia mendengar suara lirih di dekat telinganya,
“Cengkeraman cakar bebek begini saja takut apa? Paling-paling membikin lecet kulit”

Kong Bu girang sekali. Itulah suara kakeknya! Sejak tadi ia melihat-lihat akan tetapi disitu tidak kelihatan kakeknya muncul, sekarang tahu-tahu ada suaranya yang dikirim dari tempat jauh. Tadinya ia ragu-ragu untuk membiarkan tangannya dicengkram lalu membarengi memukul, sekarang mendengar bisikan ini, hatinya menjadi tabah.

Ketika tangan kirinya menjotos dada, kakek itu menangkis sambil mencengkeram lengan Kong Bu. Pemuda ini sengaja berlaku lambat sehingga pergelangan tangan kirinya benar-benar dapat dicengkeram.





Tok kak Hwesio sudah menyeringai kegirangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras, dadanya terkena jotosan hebat dari tangan kanan Kong Bu. Hwesio itu berteriak, tubuhnya terlempar ke bawah panggung dan roboh terbanting, bangkit lagi lalu muntah darah segar, terus ngeloyor pergi dari situ!

Toat-beng Yok-mo marah sekali, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung. Akan tetapi sebelum Kong Bu menghadapinya, Kun Hong sudah berlari-lari naik ke panggung melalui anak tangga, terus menarik tangan Kong Bu yang kiri.

“Wah, kau terkena racun!” bisiknya sambil menotok beberapa jalan darah di lengan itu, mengurut sebentar lalu berkata, “Saudara Kong Bu, aku berterima kasih bahwa kau sudah mewakili aku, tapi aku tak senang kau atas namaku menjotos orang sampai muntah darah. Sekarang turunlah, minta Ayahmu supaya mengeluarkan darah di pergelangan tanganmu dengan melukainya, kemudian kau telanlah dua butir pel ini.”

Ia mengeluarkan dua butir pel hijau buatannya sendiri dari daun-daun yang khasiatnya memunahkan racun. Kong Bu mengangguk dan hendak turun panggung, tapi ia memandang ragu kepada Toat-beng Yok-mo.

“Saudaraku, apakah kau benar-benar dapat menghadapi iblis ini?” bisiknya.

“Biarlah, itu tanggung jawabku, kau turunlah,'” jawab Kun Hong.

Ketika Kong Bu menoleh kearah ayahnya, ia melihat ayahnya memberi isyarat supaya ia turun, maka iapun lalu melompat turun.

Adapun Toat-beng Yok-mo ketika melihat cara Kun Hong mengobati Kong Bu tadi, memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia mencak-mencak saking marahnya ketika ia mengenal bahwa cara pengobatan itu adalah pelajaran dari kitabnya.

“Pencuri, kau harus mampus di tanganku untuk menebus dosamu!” teriaknya marah.

“Nanti dulu, Toat-beng Yok-mo jangan sembarangan kau menuduh orang. Disini banyak orang gagah yang menjadi saksi, tak boleh kau menuduh sebagai pencuri. Coba katakan orang yang kecurian tentu kehilangan sesuatu, dan kau kehilangan apamukah?”

“Aku tidak kehilangan sesuatu, tapi kau tetap mencuri, mencuri ilmuku pengobatan. Hayo katakan, apakah kau tidak membaca habis kitab-kitabku tentang ilmu pengobatan? Jawab!”

Kun Hong menghadapi para tamu yang dengan penuh perhatian mendengarkan perdebatan itu.

“Cu-wi sekalian mendengar jelas bahwa kakek ini tidak kehilangan sesuatu, akan tetapi menuduh siauwte sebagai pencuri. Bukankah itu aneh? Yok-mo, kau membohong! Dulu ketika kau terluka, kau minta aku menolongmu, menggendongmu berhari-hari lamanya dan sementara itu, kau sudah memberi ijin kepadaku untuk membaca Kitab-kitabmu yang sudah kukembalikan pula. Jadi aku tidak mencuri baca kitab-kitabmu karena kau sudah memberi perkenan. Adapun tentang ilmu, ilmu itu bukankah milik pribadi siapapun juga. Siapapun dia orangnya yang suka mempelajari, akan memiliki ilmu itu, yang suka mempelajari akan mendapatkan ilmu, yang mengajar takkan kehilangan ilmu, karena ilmu bukanlah milik pribadi manusia dan akan lenyap bersama manusia, kembali ke tangan pemiliknya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Nah, sadarkah kau sekarang?”

“Sadar perutmu!” Toat-beng Yok-mo memaki. “Siapa yang pernah kuobati dia harus kubunuh siapa yang memiliki ilmu pengobatanku diapun harus kubunuh!”

“Wah-wah-wah, kalau begitu kau nyeleweng dari kebenaran. Kau nyeleweng dan tersesat jauh sekali, orang tua. Benar kata-kata kuno yang menyatakan bahwa segala sesuatu, baik buruknya tergantung dari manusla yang bersangkutan. Pisau tetap pisau, dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik misalnya pemotong sayur-sayuran di dapur sebagai alat pembuat perabot rumah tangga, dan lain-lain. Akan tetapi pisau yang itu-itu juga dapat dipergunakan untuk hal yang buruk misalnya menusuk perut sesama manusia! Segalanya tergantung kepada manusia yang memegangnya. Hemm, Toat-beng Yok-mo ilmu pengobatanpun demikian baik bentuknya tergantung kepada manusia yang menguasainya. Di tanganmu, ilmu itu menjadi alat kejahatan.”

“Sudah, aku bukan datang untuk mendengar kuliahmu, melainkan untuk mencabut nyawamu. Hayo berani kau melawan aku?”

“Berani dan tidak bagiku tergantung dari persoalannya. Kalau aku berada di pihak benar, aku takkan mengenal takut, sebaliknya kalau aku berada di pihak salah, aku tak mengenal berani. Dalam persoalan antara kita, aku tidak bersalah, tentu aku tidak takut, Yok-mo.”

“Keparat, lidahmu tak bertulang, bibirmu lemas seperti bibir perempuan, omonganmu berbelit-belit. Keluarkan senjatamu!”

“Apakah lidahmu bertulang? Bibirmu kaku?”

Kun Hong menjawab, akan tetapi karena maklum bahwa kakek ini berkepandaian tinggi, ia lalu mencabut pedangnya secara terbalik yaitu memegang gagang pedang dengan ujung pedang menghadang ke dalam seperti orang memegang sebilah pisau belati.

“Awas serangan!”

Yok-mo segera menerjang maju dengan tongkatnya, ingin sekali pukul menghancurkan kepala lawan, maka ia mengarah tubuh bagian atas ini.

“Wah, galaknya!”

Kwa Hong membungkuk dengan kaku, gerakannya lucu seperti gerakan orang yang tidak pandai silat, namun anehnya, pukulan itu tidak mengenai kepalanya. Tongkat itu lewat dan langsung membabat kembali menyerang dada.

Kun Hong terhuyung-huyung mundur, kakinya bergerak “set-set-set” dengan tubuh melengkung kesana kemari, kedua tangannya dikembangkan, kadang-kadang ia berdiri di kedua ujung jari kakinya, seperti penari ballet! Gerakannya lucu seperti badut menirukan penari-penari ballet, tapi hebatnya, semua serangan Toat-beng Yok-mu tak pernah menyentuh kulitnya

Sin Lee, Cui Bi, Li Eng dan Hui Cu biarpun sudah mengenal baik pemuda itu, kini tetap meragu dan gelisah.

“Wah, Saudara Kun Hong benar-benar gegabah sekali kakek itu lihai dan berbahaya.” kata Kong Bu perlahan.

Sin Lee melongo dan memandang dengan mata terbelalak.
“Aneh…. aneh….”

Ia mengucapkan kata-kata ini berkali-kali karena makin lama makin jelas melihat gerakan-gerakan yang menyerupai gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari ibunya. Kaki itu, tangan itu yang dikembangkan, memang agak berbeda dan tidak “aseli” lagi, tapi lebih praktis lebih hebat. Apakah hal ini kebetulan saja?

Akan tetapi orang-orang ini menjadi tenang ketika mendengar suara Beng San perlahan,

“Tak usah kuatir. Yok-mo takkan dapat menangkan Kun Hong. Hebat… Hebat orang muda itu…”

Toat-beng Yok-mo menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Ia merasa penasaran sekali, juga merasa dipermainkan di depan banyak tokoh kang-ouw. Tongkatnya bergerak makin cepat tenaganya dikerahkan sehingga tongkatnya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang yang menghadang dan menyerang tubuh Kun Hong dari segala penjuru.

Namun hebat sekali gerakan pemuda itu. Kelihatannya terhuyung-huyung, jongkok, berdiri, berloncatan ke kanan kiri, malah adakalanya membanting tubuh bergulingan, ada kalanya menari-menari dengan kedua lengan dikembangkan dan berdiri di ujung jari kaki, akan tetapi semua gerakan ini seirama dengan jurus-jurus penyerangan Toat-beng Yok-mo sehingga semua serangan itu gagal.

Menyerang pemuda ini sama susahnya dengan menyerang bayangan sendiri!
“Iblis! Siluman! Hayo balas serang kalau kau memang laki-laki!” terlak Yok-mo dengan suara keras, saking marahnya.

“Sudahlah, Yok-mo. Kau tidak bisa mengalahkan aku, tidak bisa merobohkan aku, apakah kau masih belum mau terima?” kata Kun Hong sambil mengelak lagi dari sambaran tongkat dengan cara aneh, yaitu tubuhnya bagian atas meliuk ke kanan kiri tanpa menggeser kaki, seperti sebatatg rumput alang-alang tertiup angin besar.

Para penonton mulai bersorak-sorak dan terheran-heran. Bahkan golongan tua yang menonton pertunjukan ini saling pandang tidak percaya, Apakah Yok-mo yang main-main ataukah mata mereka yang sudah tidak terang lagi? Benar-benar belum pernah mereka melihat hal semacam itu, bahkan teori persilatan yang manapun belum pernah mereka mendengar apalagi melihat.






No comments:

Post a Comment