Ads

Thursday, January 3, 2019

Rajawali Emas Jilid 124

“Ibu, aku benar-benar tidak mengerti!”

Sin Lee mendesak ibunya. Mereka berdua duduk dibawah pohon di tengah sebuah hutan yang gelap karena penuh dengan pohon-pohon raksasa yang tinggi dan berdaun lebat.

“Kau banyak cerewet!” Kwa Hong mengomel. “Sudah kukatakan dia musuh besar kita, habis perkara.”

Sin Lee mengerutkan kening lalu menggeleng kepala.
“Aku ingin mengetahui duduknya perkara yang betul-betul, Ibu. Aku takkan suka diam kalau belum diberi penjelasan. Dia mengaku ayahku, bagaimana kau bilang dia musuh besarku dan harus kubunuh? Bukankah ini aneh sekali? Ibu, daripada berbohong kepadaku, lebih baik kau berterus terang, apa betul Tan Beng San itu ayahku dan suamimu, dan kalau betul demikian mengapa terjadi permusuhan ini?”

Kwa Hong meloncat bangun, membanting kaki sambil membentak,
“Kau kepala batu! Dulu kau tidak pernah begini cerewet!”

Sin Lee juga meloncat berdiri dan menghadapi ibunya dengan tegak.
“Sudah sepatutnya anak menanyakan ayahnya. Ibu yang terlalu jual mahal, kenapa menyimpan rahasia?”

Dua orang itu berdiri berhadapan, ibu dan anak yang sama keras hatinya, dua pasang mata yang sama saling tentang. Akhirnya Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu memeluk puteranya dan menarik tangannya diajak duduk kembali.

“Kau memang bandel seperti… seperti dia! Baiklah kau mendengar kalau hendak mengetahui. Tan Beng San itu memang ayahmu, tapi dia bukan suamiku.”

“Bagaimana pula ini? Dia ayahku tapi bukan suami ibu?”

“Karena dia itu tidak mau mengawiniku, dan meninggalkan aku untuk kawin dengan wanita lain anak Song-bun-kwi si iblis tua itu.”

Sin Lee adalah seorang yang cerdik, akan tetapi belum dapat ia menghubungkan cerita yang disingkat-singkat ini.

“Kau maksudkan Ayah tidak mau mengawini ibu, pergi menikah dengan lain wanita? Kenapa begitu? Apakah Ayah tidak suka kepada Ibu?”

Merah wajah Kwa Hong, matanya memancarkan sakit hati, ia menggeleng kepala.
“Dia tidak cinta padaku, hanya suka seperti seorang kakak terhadap adiknya.”

“Tapi… tapi Ibu cinta kepadanya?”

Kwa Hong mengangkat tangan hendak menampar, tapi ditahannya.
“Kau lancang mulut. Sudahlah. Pendeknya dia itu meninggalkan kau dalam kandunganku dan tidak mau peduli lagi, menikah dengan Kwee Bi Goat, malah ketika Bi Goat mati dia menikah dengan isterinya yang sekarang itu. Padaku ia sama sekali tidak mau peduli.”

Sin Lee berpikir keras.
“Jadi… dia telah melakukah perhubungan dengan ibu, kemudian Ibu mengandung aku dan… dan Ibu ditinggalkan begitu saja?”

Wajah Sin Lee sebentar pucat sebentar merah ketika melihat ibunya mengangguk dan dua titik air mata keluar dari sepasang mata ibunya.

“Si keparat… kalau begitu dia memang jahat….” kata Sin Lee dengan suara mendesis dan dengan hati penuh dendam.

“Kwa Hong, kau tidak adil! Kenapa tidak kau ceritakan, tentang racun yang memabokkan kita ketika itu?” tiba-tiba muncul Beng San, begitu tiba-tiba sehingga Sin Lee dan Kwa Hong terkejut sekali.

Wanita ini semenjak dahulu amat gentar menghadapi ilmu kepandaian Beng San, biarpun sekarang disitu ada puteranya, namun ia masih ragu-ragu apakah mereka berdua akan dapat menang menghadapi Beng San yang amat hebat kepandaiannya.

Namun, karena niatnya membalas dendam sudah ditahan-tahan semenjak bertahun-tahun, ia menjadi nekat dan cepat mencabut senjatanya, diturut oleh Sin Lee yang memandang Beng San dengan mata berapi-api.





“Hemmm, kau mengejar kami?” tegurnya, penuh selidik.

Beng San tersenyum pahit.
“Kwa Hong, semenjak dahulu kau selalu menyembunyikan diri, menyembunyikan anak kita, kiranya kau jejali dia dengan kebencian dan dendam terhadap diriku. Sekarang aku sudah datang, seorang diri, coba katakan, kau hendak berbuat apakah terhadap diriku?”

“Aku… aku hendak membunuhmu!”

“Kau kira begitu mudah? Hong-moi, kau tahu bahwa kau takkan mampu melakukan hal itu kepadaku.”

“Akan kucoba, bersama anakku. Kami akan mengadu nyawa! Sin Lee, hayo kita bunuh keparat jahanam ini, musuh besar kita!”

Sin Lee sudah menggerakkan pedangnya. Beng San bertanya,
“Hong-moi, sebelum kau dan anak kita bergerak, maukah kau pergi dengan tenang dan tidak mengganggu pendirian Thai-san-pai kalau nanti kalian berdua kukalahkan?”

“Tak sudi! Aku akan bunuh kau, akan kubuka semua rahasia busuk, hendak kulihat apakah kau ada muka menjadi ketua Thai-san-pai!” Kwa Hong berteriak-teriak dan mencak-mencak.

Beng San mengerutkan keningnya.
“Kwa Hong, dengarlah baik-baik! Sejak dulu aku sudah merasa menyesal dengan peristiwa yang terjadi antara kita. Kalau kau hendak menyalahkan aku, biarlah kuterima. Bahkan dulupun aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Akan tetapi, kau tahu, nama lebih berharga daripada nyawa bagi seorang gagah! Pendirian Thai-san-pai amat penting dan siapapun juga, juga kau sendiri, tidak boleh menghalanginya!”

“Kalau aku tetap hendak menggangunya, kau mau apa?”

“Kwa Hong, kesabaran manusia ada batasnya, aku sudah cukup mengalah, dan aku berjanji, kalau kau pergi sekarang dengan baik-baik, aku akan datang ke Lu-liang-san setelah selesai pendirian Thai-san-pai dan aku akan menurut apa kehendakmu kelak, biar kau bunuh sekalipun.”

“Aku tidak sudi.”

“Hemm.. hemm, tak ada jalan lain bagiku kecuali menggunakan kekerasan, mengalahkan dan menawan kalian sampai selesai upacara pendirian Thai-san-pai.”

Sambil berkata demikian, tangan Beng San bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya. Itulah Liong-cu-kiam yang amat ampuh!

“Beng San, jangan kau kira aku takut. Sin Lee, hayo serang!”

Ibu dan anak itu lalu menggerakkan senjata mereka, serentak mereka menyerang Beng San dengan hebat. Mula-mula Sin Lee masih ragu-ragu, merasa betapa ibunya agak keterlaluan tak mau mendengar janji orang yang sebenarnya ayahnya ini, akan tetapi begitu pedangnya terbentur pedang Beng San, tangannya kesemutan dan tahulah ia bahwa Ketua Thai-san-pai ini benar-benar lihai bukan main, maka iapun tidak ragu-ragu lagi dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengeroyok.

Namun, dengan rasa heran dan kagum, juga rasa penasaran memenuhi hatinya, Sin Lee merasa seakan-akan semua serangannya itu lenyap tak berbekas, seperti menyerang bayangan atau menyerang angin belaka. Jurus-jurus serangannya tertelan habis oleh gelombang permainan pedang Beng San, sama sekali tidak ada artinya.

Juga Kwa Hong yang mainkan pedang dan cambuknya, merasa betapa akan sia-sia saja ia dan puteranya mengeroyok orang ini, kebenciannya makin memuncak namun kekagumannya juga meningkat.

“Kwa Hong kau benar-benar kejam sekali, menyuruh anakku sendiri memusuhi aku. Kwa Hong, kau berdua takkan menang, lebih baik pulanglah. Kelak aku akan datang kepadamu, menerima hukuman….” berkali-kali Beng San membujuk sambil menangkis sambaran anak panah hijau yang mengarah bagian tubuh yang berbahaya.

Diam-diam Beng San gelisah juga kalau ingat bahwa tempat ini adalah tempat diluar dari jalan rahasia, sehingga setiap saat dapat saja datang tamu-tamu yang mengandung maksud jahat. Ia maklum bahwa diantara para tamunya, tentu tidak sedikit terdapat bekas-bekas musuhnya yang sengaja datang untuk mengacau atau untuk membalas dendam.

Oleh karena itu, ia membujuk agar Kwa Hong suka mengalah dan segera pertempuran itu selesai, Kalau ia mau, sudah tentu saja dengan mudah ia dapat merobohkan Kwa Hong dan Sin Lee, akan tetapi ia tidak menghendaki hal ini terjadi, karena selain ia harus melukai mereka, juga hal itu pastl akan menambah sakit hati Kwa Hong. Merobohkan dua orang lawan selihai mereka tanpa melukai, merupakan hal yang amat sukar, biar oleh dia sekalipun.

Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang aneh, disusul suara orang tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha, ini namanya sekali tepuk mendapat dua lalat ditambah seekor lalat cilik!” terdengar suara orang.

Mendengar suara suling ini Beng San kaget sekali, ia menahan serangan dua orang ibu dan anak itu, akan tetapi ketika ia melompat mundur, Kwa Hong dan Sin Lee yang sudah penasaran sekali terus saja menyerang. Terpaksa Beng San memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dan sementara itu ia memperhatikan orang-orang yang baru datang dan yang sekarang sudah berada di hutan itu.

Beng San menekan debar jantungnya ketika ia mengenal beberapa orang tokoh luar biasa yang ia tahu takkan mengandung maksud hati baik terhadapnya. Pertama-tama adalah Hek-hwa Kui-bo, nenek yang semenjak dahulu memusuhinya itu. Orang kedua adalah Siauw-ong-kwi yang sudah nampak tua namun sepasang matanya masih bergerak-gerak liar membayangkan kenakalan dan kejahatannya.

Kalau Hek-hwa Kui-bo merupakan tokoh nomor satu dari selatan, adalah Siauw-ong-kwi ini merupakan tokoh nomor wahid dari utara, keduanya merupakan iblis-iblis disamping tokoh besar seperti Song-bun-kwi.

Di samping dua orang ini ia mengenal tokoh yang tak kalah jahatnya, yaitu Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio, seorang perampok tunggal yang setelah tua menjadi hwesio dan yang telah ia ketahui pula macamnya.

Empat orang ini saja sudah merupakan lawan yang berbahaya, di samping Kwa Hong dan Sin Lee, apalagi disitu masih kelihatan seorang tosu tua sekali yang memakai kopyah seperti anak kecil, memegang tongkat berwarna merah dan kelihatannya lemah sekali, seakan-akan kalau ada angin besar bertiup, kakek ini tentu akan roboh terjengkang.

Namun, kakek yang belum pernah dikenal Beng San ini malah yang menimbulkan kekuatiran hatinya. Di samping ini, masih terdengar suara tiupan suling aneh itu, akan tetapi peniupnya tidak kelihatan. Tiupan suling itu mengingatkan Beng San akan seorang tokoh yang sering kali mendatangkan ular-ular dengan sulingnya, tokoh yang sudah belasan tahun tak pernah ia dengar, yang kabarnya sudah mati, yaitu murid Siauw-ong-kwi yang malah lebih jahat dari gurunya, bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin!

Akhirnya Kwa Hong tertarik pula perhatiannya oleh rombongan ini dan ketika ia menengok, wajahnya berubah. Cepat ia menarik tangan puteranya dan berseru,

“Mundur dulu!” Setelah Sin Lee melompat mundur di samping Ibunya, wanita ini berkata sambil tertawa,

“Kau lihat saja, Hi-hik-hik, hari ini keparat Beng San akan menerima hukumannya!”

Sin Lee tidak mengerti akan maksud kata-kata ibunya, ia hanya memandang dengan kening berkerut dan pedang tetap terpegang di tangan kanan.

Tadinya agak lega hati Beng San melihat Kwa Hong dan Sin Lee menghentikan serangan mereka, akan tetapi mendengar ucapan Kwa Hong itu, ia tersenyum perih. Terpaksa ia lalu menyimpan pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi rombongan itu.

“Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang mengunjungi Thai-san, harap maafkan siauwte tak dapat melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hari pendirian Thai-san-pai masih dua malam dua hari lagi, harap Cu-wi sekalian sudi bersabar dan menanti ditempat peristirahatan yang sederhana dan yang telah kami sediakan.”

Siauw-ong-kwi tertawa terkekeh-kekeh, juga Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio tertawa, kemudian orang-orang tua ini menggerakkan tubuh mengambil sikap mengurung. Jelas bahwa mereka ini berusaha memotong jalan keluar dari Beng San.






No comments:

Post a Comment