Ads

Thursday, January 3, 2019

Rajawali Emas Jilid 123

Tadinya Kong Bu hanya menonton saja. Biarpun munculnya Kwa Hong mendatangkan rasa panas di hatinya karena teringat bahwa wanita inilah yang menyebabkan ibunya mati ngenes, akan tetapi karena Kwa Hong sedang berhadapan dengan ayahnya, ia tidak berani mencampuri dan menanti saat baik.

Sekarang saat itu tiba, yaitu setelah Kwa Hong bertempur melawan Li Eng, kekasihnya. Tentu saja ia tidak bisa tinggal diam, apalagi karena maklum bahwa wanita itu lihai sekali dan Li Eng bisa berbahaya kalau melawannya seorang diri saja.

“Kwa Hong wanita busuk, ibuku Kwee Bi Goat meninggal dunia karena merana akibat kejahatanmu. Lihat pedangku menamatkan riwayatmu!” bentaknya sambil menerjang.

Tidak heran hati Kwa Hong mendengar ini karena memang ia sudah tahu akan pemuda ini. Sudah lama juga ia mengikuti puteranya sehingga ia tadi mendengar bahwa pemuda gagah ini adalah putera Kwee Bi Goat. Tanpa berkata apa-apa ia menangkis dan menghadapi Kong Bu dan Li Eng dengan gerakan aneh dari pedang dan cambuknya.

Beng San susah sekali hatinya melihat pertempuran-pertempuran itu. Beberapa kali Li Cu hendak mencabut pedang dan menerjang maju, akan tetapi melihat betapa suaminya menjadi begitu sedih, ia tidak tega. Li Cu dapat menyelami sepenuhnya kesedihan hati suaminya. Siapa takkan sedih melihat kedatangan seorang putera yang datang-datang menjadi musuh?

Kun Hong yang bingung juga melihat Hui Cu dengan muka pucat berdiri memandang Sin Lee, merasa bahwa enci tirinya itu memang keterlaluan. Kalau ada urusan lama, mengapa diteruskan sampai sekarang, malah seorang anak disuruh melawan ayahnya sendiri. Tak terasa lagi kakinya melangkah mendekati pertempuran, langsung ia mendekati Kwa Hong dan berkata, suaranya lantang,

“Enci Kwa Hong, kalau Ayah melihat kelakuanmu hari ini, tentu akan marah sekali!”

Kwa Hong kaget dan melirik heran. Biarpun dikeroyok dua oleh Kong Bu dan Li Eng, ia masih sempat memperhatikan pemuda tampan yang aneh, yang berani menegurnya dan memanggil enci ini.

“Bocah, kau siapa?”

“Aku adalah adik tirimu, ayahku Kwa Tin Siong ibuku Liem Sian Hwa! Kelakuanmu hari ini tidak patut. Seharusnya kau mempertemukan anakmu dengan Tan Beng San Tai-hiap sebagai anak dan ayah dengan mengubur persoalan-persoalan lama.”

“Keparat, tutup mulut kau!”

Sebuah anak panah hijau di ujung cambuk menyambar pundak Kun Hong. Akan tetapi anehnya, anak panah itu tidak mengenai sasaran biarpun kelihatan sudah jitu tadi. Kwa Hong terkejut, apalagi ketika melirik kearah gerak kaki Kun Hong yang tidak karuan itu.

“Siapa namamu?”

“Kwa Kun Hong. Enci, kau turutlah permintaanku….” kata Kun Hong girang.

“Kun Hong, kau adikku, seharusnya kau membantuku. Tan Beng San jahat, dia harus membayar hutangnya.”

Terpaksa Kwa Hong memutar cepat cambuknya untuk mendesak Li Eng dan Kong Bu karena selagi ia bercakap-cakap, dua orang muda itu mendapatkan kesempatan untuk menekannya.

“Tidak bisa, Enci Hong. Kau yang tidak patut….”

“Setan, mampuslah!” kini dua batang panah menyambar, satu keulu hati satu lagi kearah kepala Kun Hong.

Serangan ini hebat sekali dan memang amat keji hati Kwa Hong, menyerang adik tirinya sendiri secara mendadak seperti itu. Akan tetapi kembali ia melengak karena dua batang anak panahnya itu tidak mengenai sasaran sedangkan Kun Hong hanya terhuyung-huyung saja.

Makin kuatir hati Kwa Hong. Baru orang-orang muda ini saja sudah begini hebat. Kalau sampai Beng San dan Li Cu turun tangan, jangan harap ia akan dapat membalas dendam, malah-malah sangat boleh jadi ia dan puteranya akan tewas di tempat itu!

Sementara itu, Beng San tak dapat menahan lagi melihat Kwa Hong dan puteranya terdesak. Betapapun lihainya, menghadapi Cui Bi yang marah itu Sin Lee mulai terdesak, sedangkan Kwa Hong juga payah menanggulangi kemarahan Kong Bu dan Li Eng yang amat lihai ilmu pedangnya. Tentu saja ia tidak ingin melihat pertumpahan darah terjadi diantara keluarganya sendiri.





“Berhenti….! Tahan senjata, hentikan pertempuran…!” serunya berkali-kali.

Ketika orang-orang muda itu nekat tidak mau berhenti, Beng San menggerakkan Kedua lengannya berkali-kali dan… angin dingin yang amat kuat menyambar kedepan dan membuat mereka yang bertempur itu terhuyung-huyung ke belakang.

Kwa Hong mengeluarkan bunyi lengking marah dan keccwa.
“Sin Lee anakku, hayo kita pergi saja!”

Ia menyambar tangan Sin Lee dan membawanya pergi melompat dari tempat itu. Setetah bayangan dua orang ini lenyap, terdengar suara Kwa Hong, melengking nyaring,

“Beng San manusia tak berjantung! Boleh kau tertawa atas kemenanganmu, akan tetapi tunggu saja pada hari pembukaan, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi Ketua Thai-san-pai, hi-hi-hik!”

“Bu-ko mari kita kejar dan bunuh mereka!” Cui Bi berseru.

“Hayo!”

Kong Bu menjawab dan keduanya berlari maju hendak mengejar, malah Li Eng juga tidak ketinggalan.

“Kong Bu….! Kenapa kau tidak melakukan perintahku?” tiba-tiba sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu seorang kakek tinggi besar bermuka bengis telah berdiri menghadang.

Li Eng sampai mengeluarkan teriakan saking kagetnya karena ia segera mengenal kakek ini yang pernah menculik dia dan Hui Cu.

“Kong-kong….!” Kong Bu juga berseru, girang dan kaget.

Sementara itu, ketika Beng San melihat munculnya kakek ini, wajahnya berubah, cepat ia mengangkat tangan menjura dan berkata,

“Gak-hu (Ayah Mertua)….”

Song-bun-kwi, kakek itu tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha, sebutan palsu itu masih saja kau pakai? Siapa tidak tahu akan kepalsuan hatimu? Eh, Kong Bu, kenapa kau berbaik dengan mereka ini?”

“Kakek, aku mengejar Kwa Hong, bukankah dia musuh besar kita?”

“Betul, akan tetapi kau melupakan laki-laki ini.” Dia menuding kearah Beng San.

“Dialah yang menjadikan ibumu tidak panjang usia. Dia tergila-gila wanita lain, meninggalkan ibumu sampai ibumu mati merana, Kita harus memusuhi dia!”

“Kakek… akan tetapi dia, ayahku….”

“Huh! Ayah macam apa! Kau kena dibujuk orang!” Matanya liar menyapu kekanan kiri. “Hayo pergi, tempat ini tak patut untukmu.”

“Tapi… Kong-kong….” Kong Bu meragu dan menoleh kepada ayahnya.

“Tidak ada tapi, hayo ikut aku pergi! Kau berat ayah keparat yang baru saja kau lihat sekarang ini ataukah kakekmu yang memelihara dan mendidikmu sejak kau masih bayi?” Suara Song-bun-kwi menggeledek dan matanya melotot.

Terjadi pertarungan dalam hati Kong Bu. Baru saja ia mengalami kebahagiaan bertemu dengan ayahnya, terutama sekali dengan Li Eng ditempat yang penuh perdamaian itu. Baru saja hatinya dipenuhi kebanggaan akan ayahnya, yang menyentuh hati baktinya untuk membela ayah dan memusuhi Kwa Hong.

Akan tetapi kemunculan kakeknya ini membuyarkan segala yang indah-indah itu sekaligus, membuka matanya bahwa disana masih ada arwah ibunya yang menghendaki ia menuntut balas, tidak hanya kepada Kwa Hong, akan tetapi juga kepada Beng San yang meninggalkan ibunya. Hati dan perasaan Kong Bu pada saat itu terbelah-belah, terbagi-bagi, sebagian besar condong kepada Li Eng, sebagian lagi kepada ayahnya dan sebagian pula kepada kakeknya.

“Kong Bu….!” Suara Song-bun-kwi menggetar penuh kemarahan. “Kalau kau tidak mau pergi bersamaku, biarlah mulai saat ini aku Song-bun-kwi bukan kakekmu lagi, melainkan musuh besarmu, biarlah lain aku mengadu nyawa denganmu!”

“Kong-kong….”

Tapi Song-bun-kwi sudah tidak mau menjawab lagi, melainkan membalikkan tubuh dan melompat pergi dari situ. Dengan muka pucat dan wajah sedih sekali Kong Bu terpaksa melompat juga mengikuti kakeknya, meninggalkan tempat yang disenanginya, orang-orang yang disayanginya.

Sunyi keadaan disitu setelah kakek dan cucunya itu lenyap bayangannya, Li Eng dan Hui Cu saling pandang dengan muka sedih dan kecewa. Kun Hong sejenak berpandangan dengan Cui Bi, akan tetapi segera menundukkan muka, ngeri melihat wajah Beng San yang berdiri disitu dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan bertumpang diatas dada.

Li Cu memandang suaminya dengan mata basah. Orang gagah ini berdiri tegak, mukanya yang tampan gagah itu merah sekali hampir hitam, alisnya terangkat, matanya menakutkan seperti mengeluarkan api dan kilat.

Sebuah tangan yang halus menyentuh pundak kirinya. Beng San melirik dan melihat wajah isterinya yang berusaha tersenyum membesarkan hati. Perlahan-lahan warna merah kehitaman pada mukanya itu berubah menjadi putih lalu kehijauan. Ia menarik napas berulang-ulang. Barulah ia menurunkan kedua tangannya dan memandang kearah Kun Hong, Li Eng dan Hui Cu yang sudah menghadap dengan sikap hormat.

“Inikah mereka anak-anak Hoa-san-pai?” terdengar ia bertanya suaranya masih agak gemetar karena pukulan batin tadi.

Cui Bi segera maju memperkenalkar tiga orang muda Hoa-san-pai itu kepada ayah bundanya dan tiga orang itu dipimpin oleh Kun Hong, segera menjura dan menghaturkan penghormatan mereka.

Kalau saja Beng San tidak baru saja menderita pukulan batin yang hebat, kiranya pertemuan ini akan menggembirakan sekali. Mereka ini adalah anak-anak para tokoh Hoa-san-pai yang dikenalnya baik, Akan tetapi karena perasaannya sudah terluka oleh peristiwa tadi, ia hanya berkata kepada Cui Bi,

“Kau ajaklah mereka masuk dan beristirahat di puncak.”

Cui Bi maklum akan keadaan hati ayahnya, maka ia lalu mengajak tiga orang muda itu melalui jalan terowongan menuju ke puncak, tempat tinggai ayahnya. Adapun Beng San dan Li Cu yang ditinggalkan mereka, saling pandang penuh pengertian dan keharuan.

“Aku harus menyusul mereka, aku harus dapat merubah kekerasan hati Hong-moi….” kata Beng San kemudian, seperti kepada diri sendiri.

Li Cu mengerutkan keningnya.
“Hatinya keras sekali, juga puteranya. Aku kuatir kau takkan berhasil. Kenapa tidak menanti sampai selesainya ucapara pendirian Thai-san-pai?”

Beng San menggeleng kepala.
“Justeru aku tidak mau dia muncul diwaktu upacara. Tentu dia akan menggunakan urusan itu untuk merusak nama dan menggagalkan pendirian Thai-san-pai, Soal namaku, aku tidak peduli, akan tetapi kalau Thai-san-pai gagal berdiri, hal ini lebih hebat daripada kehilangan nyawa.”

Li Cu memegang tangan suaminya.
“Akan tetapi, bagaimana kalau kau gagal? Kau akan dihina, kau… kau… biarlah aku ikut bersamamu.”

Beng San cepat memegang kedua lengan istrinya.
“Tidak! Jangan kau mencampurinya. Ini urusan antara aku dan Kwa Hong. Kalau perlu aku bisa menggunakan kekerasan. Kukira aku masih dapat mengatasi mereka ibu dan anak. Kau tidak boleh banyak bergerak, isteriku, kau ingatlah kandunganmu. Kau tunggulah saja dirumah dan percayalah kepadaku.”

Li Cu menatap wajah suaminya, terisak dan menjatuhkan kepala di pundak suaminya yang mengelus-elus rambutnya. Awan gelap menyelubungi sepasang suami isteri ini, awan gelap yang timbul dari urusan-urusan lama. Berkali-kali Beng San menarik napas panjang, hatinya penuh penyesalan kepada diri sendiri. Namun, sesal kemudian tiada guna.

**** 123 ****





No comments:

Post a Comment