Ads

Thursday, January 3, 2019

Rajawali Emas Jilid 125

Adapun kakek yang tua renta bertongkat merah itu lalu melangkah maju, langkahnya gontai, ketika sampai didepan Beng San dalam jarak dua meter ia berkata, suaranya lirih agak menggigil seperti suara kakek yang sudah tua sekali,

“Inikah Raja Pedang pengganti Cia Hui Gan? Masih muda sekali… masih muda sudah menjagoi, selayaknya pinto (aku) memberi hormat!”

Kakek ini mengempit tongkat merahnya lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dengan sikap menjura.

Sambaran hawa pukulan yang menimbulkan angin halus mengejutkan Beng San. Ia tidak terkejut karena diserang secara demikian karena hal seperti ini sudah biasa terjadi di kalangan ahli-ahli silat tinggi. Yang mengejutkannya adalah angin halus sekali yang menyambar kearahnya, karena makin halus angin yang ditimbulkan oleh hawa pukulan, berarti makin hebatlah tenaga Iwee-kangnya. Cepat ia mengerahkan hawa murni di tubuhnya, balas menjura sambil berkata,

“Siauwte yang muda mana berani menerima penghormatan Locianpwe?”

Biarpun kelihatannya ia menjura dengan hormat, namun diam-diam Beng San menangkis pukulan tak kelihatan itu dan sebagai seorang calon ketua, tentu saja ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan sengaja ia menerima serangan gelap itu dengan keras lawan keras.

Dua pasang tangan diangkat ke depan dada, dua tangan tak kelihatan bertemu di udara dan biarpun kedua kaki Beng San masih tetap dalam kuda-kuda, namun ternyata ia telah tergeser mundur tiga jengkal! Juga kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, lalu cepat ia menggunakan tongkat yang tadi dikempitnya untuk menunjang tubuh sehingga ia tidak jadi terhuyung ke belakang. Sejenak mata yang tua itu terbelalak kagum, lalu katanya,

“Hebat… hebat… patut dipuji!”

“Ah, Locianpwe terlalu merendah. Bolehkah siauwte yang bodoh mengetahui nama besar Locianpwe?” tanya Beng San, diam-diam ia mengeluh karena kakek tua ini benar-benar merupakan lawan yang paling berat yang pernah ia jumpai selama ia berkecimpung di dalam dunia persilatan.

Kakek itu tertawa sehingga kelihatan gusi mulutnya yang sudah tak bergigi lagi.
“Ha-ha-ha pinto orang gunung mana ada nama? Di utara sana, pinto disebut Pak-thian Locu. (Nabi Locu dari Utara), tentu saja Sicu tidak pernah memdengarnya.”

Memang nama ini tak pernah dikenal Beng San, Siauw-ong-kwi segera berkata sambil mendengus,

“Thai-san cukup tinggi sehingga kadang-kadang membuat orang lupa bahwa diatas masih ada langit! Calon ketua Thai-san-pai sampai tidak mengenal twa-suhengku (kakak seperguruan tua), benar-benar sudah merasa diri paling tinggi.”

Beng-San terkejut. Kiranya kakek ini twa-suheng dari Siauw-ong-kwi. Pantas saja demikian hebat.

“Ah, maafkan… maafkan… ini hanya menunjukkan bahwa siauwte kurang pengalaman.”

“Tan Beng San, selama bertahun-tahun ini telah banyak kau menghina kami, dan secara pengecut kau menyembunyikan diri dibalik jalan-jalan rahasia. Sekarang dengan sombong kau hendak mengumumkan pendirian Thai-san-pai, heran, apakah kau sudah merasa dirimu menjadi guru besar?” kata Toat-beng Yok-mo sambil melangkah maju dan menggerakkan tongkatnya yang hitam.

“Hutangmu kepadaku belum kau bayar lunas!” pekik Hek-hwa Kui-bo sambil mengerling ke arah Kwa Hong dan Sin Lee. “Kalian anjing cilik tunggulah giliranmu,”

Nenek yang mengerikan ini sudah mencabut pedang dan selampai yang beraneka warna. Melihat betapa lima orang itu mengurungnya dan telah siap mengeroyoknya. Beng San tersenyum lalu berkata dengan nada mengejek,

“Aku tahu isi hati kalian! Dua hari lagi, diatas panggung, disaksikan semua tokoh kang-ouw, sudah pasti kalian takkan dapat maju mengeroyok, melainkan seorang lawan seorang. Hari ini sengaja kalian menggerebek disini dengan dalih membalas dendam sehingga kalian mendapat kesempatan mengeroyokku, bagus!”

Akan tetapi Hek-hwa Kui-bo sudah menyerbu dengan pedang dan selampainya, menyerang dari kiri dan dibarengi oleh Siauw-ong-kwi yang menyerang dari kanan.





Seperti biasanya, Siauw-ong-kwi ini mempergunakan sepasang lengan bajunya yang menerjang untuk melakukan totokan dengan ujung baju mengarah jalan darah, serangan ini tak kalah bahayanya dibandingkan dengan penyerangan Hek-hwa Kui-bo. Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio sambil tertawa juga menyerang cepat. Yok-mo menggunakan tongkat hitamnya sedangkan Tok Kak Hwesio mempergunakan kepandaiannya yang diandalkan, yaitu cengkeraman monyet.

Empat orang ini menyerang dari empat penjuru, mengurung diri Beng San. Sedangkan kakek tua renta tanpa menggeser kedua kakinya, dari tempat ia berdiri, ia mengirim pukulan-pukulan jarak jauh ke arah Beng San.

Beng San mengeluarkan seruan keras sekali dan mukanya berubah merah lalu kehitaman. Ini menandakan bahwa kemarahan mengganggu hatinya. Cara bertempur tokoh-tokoh hitam ini benar-benar licik dan curang sekali, menggunakan jumlah banyak untuk mengeroyok. Padahal mereka itu, satu demi satu, merupakan tokoh-tokoh yang amat terkenal dan tidak sepatutnya mengeroyok musuh, apalagi dengan begitu banyak melawan seorang lawan!

Pedangnya digerakkan, berubah menjadi segulung sinar berkeredepan yang mengeluarkan bunyi mengaung. Hujan serangan kelima orang lawannya itu semuanya tertangkis oleh sinar pedangnya, malah tangan kirinya yang bergerak-gerak mengeluarkan hawa pukulan dahsyat, selain menangkis serangan-serangan jarak jauh dari Pak-thian Locu, juga sekaligus menanggulangi serangan-serangan Siauw-ong-kwi dan Tok Kak Hwesio.

Kwa Hong dan Sin Lee berdiri bengong, penuh kekaguman melihat betapa Beng San mengeluarkan kepandaiannya menghadapi lima orang tokoh besar yang kesemuanya memiliki kepandaian tinggi itu. Terasa oleh ibu dan anak ini betapa kalau tadi Beng San betul-betul mengeluarkan kepandaiannya, mereka tentu sudah roboh olehnya.

Beng San maklum bahwa kalau ia membiarkan dirinya terkurung menghadapi sekaligus lima orang pengeroyoknya, sukar baginya memperoleh kemenangan. Maka sambil mainkan ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam-sut yang hebat, yang sekaligus dapat ia pergunakan untuk melayani serangan-serangan lawan yang dasarnya berbeda, baik serangan mengandalkan tenaga Yang-kang maupun tenaga Im-kang, ia mempergunakan kegesitannya melompat kesana kemari, menerjang dari seorang lawan kepada lawan lain sehingga ia terbebas dari pengurungan yang ketat.

Namun cara ini tidak dapat digunakan daya serangnya karena hanya sejurus saja lalu menghadapi lain lawan, sedangkan semua lawannya adalah orang-orang yang tidak mungkin dapat dirobohkan hanya dengan satu dua jurus serangan saja. Apalagi pukulan-pukulan jarak jauh dari Pak-thian Locu benar-benar hebat sekali, mendatangkan angin berdesir yang hanya dapat ia tolak dengan pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih.

Dengan pukulan yang setingkat dengan Pek-in Hoat-sut (Ilmu Gaib Awan Putih) inilah ia mampu membuat setiap pukulan kakek tua renta itu membalik, sehingga berkali-kali kakek ini mengeluarkan seruan memuji.

Pertandingan yang tak seimbang ini berjalan makin seru dan hebat. Beng San harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, barulah ia dapat mengimbangi pengeroyokan itu.

Makin lama seruannya makin nyaring, hawa pukulan yang menyambar dari sinar pedangnya makin kuat sehingga beberapa kali Hek-hwa Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo terpaksa meloncat jauh untuk menghindarkan diri dari hawa maut yang menyambar dari sinar pedang Beng San.

Juga Tok Kak Hwesio sudah dua kali terhuyung hampir jatuh karena tangkisan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang hebat, malah Siauw-ong-kwi pernah terpaksa menggulingkan tubuhnya keatas tanah ketika kedua ujung lengan bajunya membalik dan memukul dirinya sendiri karena tangkisan pendekar yang sakti itu!

Kwa Hong makin kagum, akan tetapi kekagumannya itu kalah oleh dendam di hatinya kepada orang yang paling dicintanya ini. Melihat betapa pengeroyokan lima orang itu ternyata belum cukup kuat untuk merobohkan Beng San, ia lalu berseru kepada Sin Lee,

“Anakku, kesempatan baik tiba, hayo kita serbu dia!” Ia sendiripun lalu menerjang maju dengan pedang dan cambuknya.

“Ibu….”

Sin Lee meragu, tetap tidak bergerak dari tempat ia berdiri. Memang ia ikut pula membenci Beng San karena pengaruh ibunya, akan tetapi wataknya yang menjunjung tinggi kegagahan itu tidak mengijinkan ia lalu melakukan pengeroyokan semacam itu.

Untuk membela ibunya, ia akan sanggup menghadapi Beng San dan mengadu nyawa dengan ayahnya yang telah menyakiti hati ibunya, ia rela mempertaruhkan nyawanya, Akan tetapi mengeroyok seperti ini? Ia tak sanggup melakukannya. Karena itu ia diam saja, tidak mau turun tangan biarpun Kwa Hong sudah menerjang hebat kearah Beng San.

Beng San sama sekali tidak menduga bahwa Kwa Hong akan menyerangnya sehebat itu dari belakang selagi ia tidak bersiap, tahu-tahu ujung pedang Kwa Hong yang sudah menyambar ke arah leher dan sebuah anak panah di ujung cambuk menghantam dadanya. Secepat kilat ia miringkan kepala, membiarkan pedang melewat didekat kulit lehernya sementara tangan kirinya menangkis anak panah yang tak mungkin dapat ia elakkan pula, juga tak mungkin ditangkis karena pedangnya pada detik itu sedang menangkis tongkat Yok-mo dan pedang Hek-hwa Kui-bo.

“Krakkk!”

Kwa Hong menjerit dan anak panah di ujung cambuknya patah-patah, telapak tangannya terasa sakit sekali dan hanya dengan melompat mundur ia dapat menguasai anak panah lain yang membalik tidak karuan.

Akan tetapi lengan Beng San luka membiru dan baju pada lengannya itu robek. Kalau lain orang yang terkena ujung anak panah hijau ini tentu akan terluka hebat yang akan mendatangkan kematian karena ujung anak panah ini mengandung racun hijau.

Namun di tubuh Beng San penuh dengan hawa Im juga, maka tangkisan itu tidak melukai kulitnya, hanya membuat kulit lengannya membiru dan terasa agak linu. Hal ini tidak mengecilkan hatinya, malah menimbulkan semangat perlawanan lebih hebat lagi, teriakan dan seruannya menggema di udara dan gerakan pedangnya makin hebat.

Kwa Hong melanjutkan pengeroyokanya, marah karena anak panahnya rusak sebuah. Akan tetapi ia lebih hati-hati lagi, menjaga agar jangan sampai senjatanya dirusak pula. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa mengerikan disusul ucapan nyaring,

“Beng San kau lihat, siapa ini? Menyerahlah, kalau tidak anakmu akan kuhancurkan didepan matamu!”

Beng San melirik dan seketika wajah yang merah menghitam itu berubah pucat dan hijau. Ia melihat seorang manusia yang mengerikan sekali, seorang laki-laki berpakaian kuning yang mukanya seperti setan. Mata kiri orang ini hanya tinggal lubangnya saja seperti mata tengkorak, tinggal mata kanannya yang liar merah, mulutnya robek melebar kelihatan giginya sebelah kiri, telinga kirinya juga buntung tinggal kulit sedikit di dekat lubang, tangan kirinya kaku dan jari-jari tangan ini seperti cakar burung, bukan tangan manusia lagi.

Meremang bulu tengkuk Beng San melihat orang ini akan tetapi berbareng hatinya terkejut bukan main karena orang yang sekarang ia kenal sebagai Giam Kin ini tangan kanannya menangkap Cui Bi yang agaknya pingsan, tubuh gadis ini lemas menggelantung pada lengan kanan Giam Kin!

“Giam Kin iblis laknat lepaskan anakku!”,

Dengan gelisah Beng San melompat kearah Giam Kin, namun ia dihujani senjata oleh para pengeroyoknya sehingga terpaksa ia menangkis dan tak dapat mendekati Giam Kin. Hatinya gelisah bukan main.

“Giam Kin pengecut, jangan ganggu anakku!”

“Ha-ha-ha-he-heh, baru sekarang kau ketakutan, ya? Kalau tidak ingin melihat anak gadismu yang cantik molek ini celaka, kau harus menyerah!” jawab Giam Kin dengan suaranya yang sekarang menjadi tidak karuan karena mulutnya sudah robek.

Lemas seluruh tubuh Beng San. Bagaimana ia dapat mengorbankan puterinya yang tercinta itu? Ia melompat mundur dan berkata lemah,

“Aku menyerah. Tetapi jangan ganggu puteriku….”






No comments:

Post a Comment