Ads

Sunday, December 30, 2018

Rajawali Emas Jilid 118

“Wah, mana bisa? Malah aku akan girang kalau kau mau mengulang tamparanmu itu, untuk semua ucapanku yang kurang patut.”

Cui Bi melepaskan pegangannya, berkata lembut,
“Hong-ko duduklah.”

Kun Hong dengan kikuk duduk diatas batu, gadis itu duduk didepannya. Mereka saling pandang diantara cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap. Kun Hong merasa seakan-akan kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak karuan dan ia tidak tahu harus berkata apa. Kikuk sekali rasanya setelah berhadapan dengan sahabat baiknya yang ternyata seorang gadis itu.

“Hong-ko, sore tadi kau menyatakan amat girang bertemu denganku, Apakah kau sekarang juga masih merasa girang?”

“Aku girang sekali.”

“Hong-ko, kau… sukakah kau kepadaku?”

Bukan main gadis ini, pikir Kun Hong. Pertanyaan yang seperti todongan pedang tajam didepan ulu hatinya. Gadis yang jujur dan terbuka hatinya. Ia menggigit bibir lalu menekan debaran jantungnya dan menjawab, suaranya bersungguh-sungguh,

“Bi-moi, aku suka kepadamu, aku suka sekali kepadamu. Entah mengapa, dahulu ketika kau menampar pipiku dan merampas pedangku, aku benci sekali kepadamu. Aku benci dan selalu mendongkol kepadamu, setelah itu aku terheran sendiri mengetahui bahwa kebencian dan kemarahanku kepadamu itu bukan karena pribadimu, melainkan karena aku merasa bahwa kau tidak suka kepadaku! Aku tak senang karena kau tidak suka kepadaku, begitu perkiraanku dahulu. Setelah kita saling jumpa kembali, dan kau… kelihatan suka kepadaku, tidak membenciku, malah membelaku, aku… ah, sejak itu lenyap semua kebencianku kepadamu, menjadi suka sekali. Ketika kau pergi, ah… memalukan sekali, aku merasa rindu, ingin bertemu, ingin berdekatan. Kuanggap kau sebagai sahabat yang luar biasa, entah mengapa, rasa sayang memenuhi hatiku. Setelah sekarang ternyata kau seorang wanita, ah… tak tahu aku, aku bingung, Moi-moi.”

Bulan bersembunyi dibalik awan sehingga Kun Hong tidak melihat betapa mata gadis itu menjadi basah air mata, tapi mulut gadis itu tersenyum bahagia.

“Hong-ko, katakanlah terus terang, apakah kau sekarang, setelah melihat bahwa sahabatmu ini seorang wanita, masih sayang kepadaku?”

“Itu… itu… ah, mana aku berani begitu kurang ajar, Moi-moi? Mana aku berani menyatakan hal demikian kurang ajar? Kau puteri Paman Tan Beng San, kau berkepandaian tinggi, kau cantik jelita, sedangkan aku….”

“Kau seorang pemuda luar biasa, Hong-ko, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang seperti kau. Kau hebat, kau mengagumkan hatiku dan aku… aku amat suka kepadamu, Hong-ko Sayang…”

“Sayang… apakah, Moi-moi?”

“Hong-ko, benar-benarkah kau tidak mengerti ilmu silat? Enci Hui Cu dan Enci Li Eng bercerita banyak tentang kau, katanya kau mengerti banyak teori ilmu silat, tapi tidak pernah melatihnya. Betulkah?”

“Hemm, agaknya betul begitu.”

“Kalau begitu, mudah saja kau berlatih silat. Kau berbakat baik sekali, aku yakin, kalau kau sudah berlatih, aku sendiripun takkan mampu melawanmu!” Cui Bi nampak gembira sekali.

“Sstttt….!”

Tiba-tiba Kun Hong berdiri dan menoleh, Cui Bi juga menoleh dan masih dapat melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menghilang di dalam gelap.

“Ada orang….” kata Cui Bi, terheran-heran mengapa ia kalah dulu oleh Kun Hong melihat orang itu tadi.

Kun Hong juga sadar bahwa tanpa terasa ia telah memperlihatkan kelihaian matanya, maka cepat-cepat ia berkata,





“Aku kebetulan menengok dan melihat bayangannya. Adik Cui Bi, lebih baik kita berpisah, biarlah besok masih banyak waktu bercakap-cakap. Tak baik orang melihat kita bicara berdua disini.”

Cui Bi mengangguk.
“Dan… Hong-ko, apakah kau masih bersikeras hendak pergi meninggalkan aku?”

“Tidak, tidak nanti!” kata Kun Hong.

“Selamanya?” desak Cui Bi.

Makin berdebar hati Kun Hong, apalagi melihat gadis itu berdiri amat dekat. Tanpa serasa lagi ia memegang kedua tangan gadis itu, ditekannya erat-erat untuk beberapa detik sambil berkata,

“Selamanya tidak akan kutinggalkan kau….”

Lalu dilepaskannya pegangan tangannya dan gadis itu berdiri memasuki pondoknya, meninggalkan suara keluhan panjang, setengah tertawa setengah menangis. Untuk beberapa menit Kun Hong berdiri mematung di tempat itu, lalu perlahan berjalan pulang ke pondoknya dengan wajah berseri-seri. Wajahnya berubah dan menjadi merah ketika ia memasuki pondok, ia melihat Kong Bu sudah berbaring diatas dipan sambil memandang kepadanya dengan tersenyum,

“Kau sudah pulang….?” tanyanya untuk menyembunyikan kegugupannya.

Kong Bu tersenyum lebar,
“Sudah dari tadi. Aku menantimu, kemanakah kau pergi, Saudara Kun Hong?”

“Aku… aku pergi buang air keanak sungai disana….”

“Oh, begitukah?”

Kun Hong tidak mau banyak bicara lagi dan segera merebahkan diri diatas dipan yang lain, lalu pura-pura tidur. Padahal sampai jauh tengah malam ia tidak dapat tidur, wajah yang cantik itu terbayang-bayang terus didepan matanya. Lewat tengah malam barulah dapat tidur.

Pagi-pagi sekali Kun Hong terbangun karena mendengar suara orang diluar pondok. Ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat lagi Kong Bu, maka ia segera memburu keluar. Tersipu-sipu pemuda ini ketika melihat Cui Bi sudah berada diluar dengan pakaian pria. Ia tidak jadi keluar dan berhenti di belakang daun pintu. Ia mendengar Cui Bi berkata,

“Kalau kau tidak melayaninya dan mengalahkannya, ia akan selalu memandang rendah kepadamu, Bu-ko.”

“Aih, kau ini ada-ada saja. Bagaimana kalau terlihat oleh seorang tamu?”

“Tidak mungkin,” jawab Cui Bi, “aku yang akan membawa kalian ke tempat rahasia. Kau ikutlah.”

Kong Bu mengomel dan agaknya ragu-ragu, akan tetapi mereka lalu berjalan meninggalkan pondok. Kun Hong tertarik sekali, lalu diam-diam ia mengintai dan setelah dua orang itu pergi jauh, ia cepat menyelinap keluar dan mengikuti dari belakang.

Udara amat dingin dan masih agak gelap, memudahkan ia mengikuti mereka itu. Dua orang itu berhenti sebentar di depan pondok kedua dimana Li Eng dan Hui Cu telah menanti, kemudian empat orang muda itu berjalan cepat kearah utara, menjauhi kelompok pondok para tamu.

Kun Hong makin terheran-heran dan diam-diam ia terus mengikuti mereka. Ia melihat Cui Bi memimpin perjalanan, memasuki hutan. Heran betul ia melihat cara gadis itu membawa teman-temannya pergi. Pertama-tama masuk hutan baru lewat seratus meter itu membelok kekanan dan… keluar lagi dari hutan, lalu masuk lagi dan keluar lagi dari sebelah kiri.

Kun Hong amat cerdik. Ia tadi sudah curiga ketika Cui Bi bicara tentang tempat rahasia, maka diam-diam ia menaruh perhatian dan selalu mengikuti jejak mereka. Karena perhatiannya itu maka ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu selalu berbelok setelah melewati sembilan buah pohon besar. Setelah keluar masuk hutan sembilan kali, tibalah mereka di tempat terbuka, sebuah padang rumput yang luas. Cui Bi dan teman-temannya berhenti. Kun Hong juga berhenti tak jauh dari situ bersembunyi dalam segerombol pohon kembang, ia berjongkok dan mengintai.

Ia melihat Cui Bi membuat guratan diatas tanah, guratan yang merupakan garis kurung selebar sepuluh meter. Hebat gadis ini. Dengan jari telunjuk ia menggurat dan rumput di atas tanah seperti dicabuti, tampak nyata garis lingkaran itu seperti dipacul saja!

“Nah, kalian sudah berjanji kalau bertemu kembali akan mengadu kepandaian. Keduanya penasaran dan hal ini harus dilakukan untuk menentukan siapa diantara kalian yang lebih pandai. Aku tidak suka melihat kalian saling mendendam dan penasaran. Sekarang bertandinglah, lapangan luas tidak ada yang mengganggu. Siapa yang pedangnya jatuh terlempar atau badannya terdesak dari lingkaran ini dianggap kalah. Setuju?”

Tanpa menjawab Li Eng mengangguk dan mencabut pedangnya, dilintangkan didepan dada dan memandang tajam kepada Kong Bu. Pemuda ini mula-mula nampak ragu-ragu, lalu dengan sikap “apa boleh buat” dan menggeleng-geleng kepala serta menarik napas panjang, mencabut keluar pula pedangnya dan memasang kuda-kuda.

Kun Hong terheran-heran dan mendongkol. Mengapa Cui Bi seakan-akan hendak mengadu keponakannya itu dengan Kong Bu? Semua ini adalah gara-gara Cui Bi. Di dalam pondok, gadis ini menggoda Li Eng yang dikatakannya menyukai Kong Bu. Li Eng menyangkal, malah menyatakan ia akan menantang pemuda itu yang dijawab oleh Cui Bi dengan memanaskan hati katanya Li Eng takkan menang.

Demikianlah, dengan perantaraan Cui Bi lalu diajukan tantangan pertandingan ini. Kun Hong tidak tahu akan kecerdikan Cui Bi yang bermata tajam itu. Gadis ini sudah dapat menduga bahwa kakak tirinya dan Li Eng ini saling mencinta, akan tetapi Keduanya berkeras kepala menyangkal. Maka jalan satu-satunya untuk “saling menemukan” mereka hanyalah memancing mereka bertanding!

Dua orang muda itu sudah mulai menggerakkan pedang masing-masing dan terjadilah pertandingan pedang yang bukan main hebat dan serunya. Bayangan keduanya lenyap ditelan sinar pedang masing-masing dan sebentar kemudian terdengar angin bersuitan diseling suara nyaring kalau pedang itu bertemu mengeluarkan suara berdenting disusul muncratnya bunga api.

Tadinya Kun Hong hendak melompat keluar untuk mencegah, akan tetapi maksud hatinya ini ia batalkan, ia melihat sesuatu yang aneh dalam pertandingan itu. Ia memasang mata dan memperhatikan. Tak salah lagi, dua orang muda yang tampaknya bertempur mati-matian itu sebetulnya saling mengalah dan tidak rnenyerang dengan sungguh-sungguh!

Li Eng menang cepat, kalau mau mempergunakan kecepatannya, kiranya ia akan dapat melakukan serangan maut yang akan membahayakan keselamatan Kong Bu. Sebaliknya, dengan ilmu pedangnya yang ganas, yaitu Yang-sin Kiam-sut, pemuda ini sebetulnya menang setingkat.

Dengan geli hatinya Kun Hong melihat betapa setiap kali Kong Bu melancarkan serangan ganas dan ujung pedangnya sudah mengancam lawan, tiba-tiba pedangnya itu menyeleweng kesamping, tidak melanjutkan serangan. Kalau hanya terjadi sekali dua kali saja hal ini kiranya tidak akan kentara, akan tetapi karena terlalu sering, jelas bahwa hal itu ia sengaja karena ia tidak mau melukai lawannya!

Demikian pula di pihak Li Eng. Kecepatan pedangnya pada saat ditangkis lawan, demikian hebat sehingga kalau ia mau, menurut penglihatan Kun Hong yang tajam, pedang itu dapat dilanjutkan untuk terus menusuk lawan, namun kerap kali Li Eng hanya menarik pedang yang tertangkis, sama sekali tidak mau mencelakai lawan.

Dua ratus jurus telah lewat dan agaknya sikap mengalah itu diketahui juga oleh keduanya, buktinya muka mereka menjadi merah akan tetapi sinar mata mereka berseri. Ketika Kun Hong melirik ke arah Cui Bi, gadis ini pun tertawa-tawa, hanya Hui Cu yang tidak setinggi itu tingkatnya, memandang penuh kekuatiran dan tentu saja berdoa untuk kemenangan Li Eng!

Kong Bu mulai mundur teratur dan Li Eng dengan gembira mendesaknya. Memang maksud keduanya sama sekali tidak mau melukai lawan yang mereka “benci”, melainkan hendak mencari dengan mendesak lawan mundur dari lingkaran atau memukul jatuh pedangnya.

Terdesaknya Kong Bu ini bukanlah pura-pura lagi, karena memang saking terus-menerus mengalah dan memang kalah dalam kegesitan, akhirnya Kong Bu yang terdesak. Hui Cu berseri mukanya akan tetapi Cui Bi mengerutkan kening. Ia maklum bahwa kakak tirinya sebetulnya tidak kalah, kalau sampai keluar dari lingkaran, bukankah akan memalukan dia juga? Ia mengepal tangan menggigit bibir dan pada saat itu Kong Bu sudah tinggal selangkah lagi keluar dari lingkaran.






No comments:

Post a Comment