Ads

Sunday, December 30, 2018

Rajawali Emas Jilid 117

Kun Hong menegur kaget dan heran melihat Kong Bu berada pula disitu dengan sahabatnya itu. Namun yang ditegur hanya mengerling kepada Li Eng yang sebaliknya memandang kepadanya dengan mata merah! Panas rasa dada Li Eng.

Tentu saja panas melihat pemuda yang dibencinya itu berada bersama Cui Bi! Hemm, dia tak sebodoh pamannya. Akan tetapi terpaksa ia menahan panas hatinya itu karena Cui Bi sudah merangkapkan kedua tangan memberi hormat kepadanya dan kepada Hui Cu.

“Syukur kalian sudah datang!” seru Cui Bi gembira. “Aku sudah menyediakan sebuah pondok besar untuk kalian. Mari, mari silakan ke pondok beristirahat sambil bercakap-cakap. Hong-ko kita masih banyak waktu, masih empat hari lagi hari yang ditentukan. Kalian bisa beristirahat sambil menikmati keindahan tempat kami.”

Ia lalu menggandeng tangan Kun Hong ke pondok besar yang agaknya menyendiri letaknya, berdekatan dengan pondok Cui Bi sendiri. Memang dia sengaja memilih dua pondok berjajar yang agak terpisah jauh dari pondok para tamu itu untuk sahabat-sahabatnya dari Hoa-san-pai.

Ketika melihat bahwa pondok itu tidak mempunyai kamar-kamar terpisah. Kun Hong menjadi agak bingung.

“Ah, mengapa pondok ini tanpa kamar? Habis, bagaimaha kita bisa bermalam disini?” Ia memandang kepada dua orang keponakannya.

Li Eng tertawa, lalu berkata,
“Mengapa bingung? Aku dan Enci Hui Cu tentu saja tidur sepondok dengan dia! Hayo, Saudara Cui Bi, kita mengobrol di pondok yang satunya.”

Tanpa ragu-ragu lagi Li Eng menggandeng tangan Cui Bi, ditariknya memasuki pondok kedua diikuti oleh Hui Cu yang tersenyum-senyum.

Kun Hong melongo, kemudian membentak,
“Eng-ji, apa kau gila….??”

Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Cui Bi tidak menjadi marah atau malu, malah tertawa-tawa dan merangkul Li Eng, juga Hui Cu lalu mendekat dan merangkul sehingga tiga orang itu, Cui Bi di tengah-tengah, dirangkul oleh dua orang gadis keponakannya, memasuki pondok sambil tertawa-tawa!

“Gila…mereka gila semua… atau aku yang gila….?” Kun Hong berkata seorang diri dengan mata tetap terbelalak.

Diam-diam Kong Bu memperhatikan pemuda Hoa-san-pai itu dan ia menjadi geli hatinya. Pemuda Hoa-san-pai ini benar-benar tidak berpura-pura dan memang tidak pernah mengira bahwa Cui Bi adalah seorang wanita. Ia tidak terlalu menyalahkannya karena dia sendiri juga tadinya tertipu oleh adik tirinya yang nakal itu. Agaknya dua orang gadis Hoa-san-pai itu, karena sama-sama wanita, begitu bertemu sudah dapat mengenal keadaan sesungguhnya dari Cui Bi.

“Saudara Kwa Kun Hong bukan mereka yang gila, juga kau tidak gila, hanya kau itu telah tertipu. Adik Cui Bi bukanlah seorang pria, melainkan seorang gadis, puteri tunggal Ketua Thai-san-pai.”

“Ohhh….”

Kun Hong makin melongo, kemudian mukanya tiba-tiba berubah merah sekali karena ia teringat betapa tadi dalam pertemuan itu ia begitu girang dan memegang kedua tangan “pemuda” itu begitu mesra. Kalau ia tahu ia seorang gadis! Kalau tahu mau apa? Ia pernah ditempiling, pernah dihina dimaki. Tapi, mengapa gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia? Mau membelanya? Ah, apa artinya semua ini?

Kong Bu tertawa dan menepuk-nepuk Kun Hong.
“Tak usah heran, aku sendiripun pernah tertipu olehnya. Sudahlah, kau kelihatan lelah sekali, kau mengasolah, malam ini aku mempunyai tugas penting, tak usah kau menunggu aku. Nanti akan ada anak murid Thai-san-pai yang mengantar hidangan untukmu.”

Sebelum Kun Hong sempat bicara, pemuda itu telah meninggalkannya, keluar dari pondok, Kun Hong tidak berani mencegah karena ia belum mengenal betul pemuda cucu Song-bun-kwi itu. Otaknya diputar, dan banyak hal menimbulkan keheranan dan kebingungannya. Banyak hal hendak ia tanyakan kepada pemuda itu, namun pemuda itu telah meninggalkannya dan betul-betul ia merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh itu.

Benar saja, menjelang malam, seorang anak murid Thai-san-pai yang gagah dengan sikap hormat sekali mengantarkan hidangan sederhana. Anak murid ini pendiam sekali dan penuh hormat sehingga Kun Hong merasa tidak enak bahwa sebagai seorang tamu ia banyak bertanya-tanya, apalagi mengenai diri putera Ketua Thai-san-pai.





Ia makan seorang diri, lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu yang berada didalam pondok. Mengapa Hui Cu atau Li Eng tidak muncul? Apakah mereka juga lelah? Ah, aku harus mencari mereka. Tidak enak sekali rasa hatinya. Kalau ia teringat akan pengalamannya dengan Cui Bi yang disangkanya seorang pria itu, ia merasa amat malu.

Bagaimana ia akan berani berhadapan dengan Paman Tan Beng San? Kemana ia harus menaruh mukanya kalau nanti bertemu dengan Cui Bi? Malam itu terang bulan, akan tetapi banyak awan hitam di angkasa raya yang sebentar-sebentar menutupi bulan.

Kun Kong keluar dari pondoknya. Memang pondok ini agak jauh dari pondok-pondok lain yang penuh tamu. Pondok-pondok lain itu tidak kelihatan dalam kegelapan malam, hanya sinar api penerangan yang berkelap-kelip nampak dari jauh. Siapa tahu kalau-kalau dua orang keponakannya itu berada di luar pondok mereka, pikirnya dan ia berjalan hati-hati menghampiri pondok yang hanya terpisah beberapa puluh meter itu dari pondoknya. Sunyi di pondok itu, malah api penerangannya juga sudah padam. Agaknya tiga orang itu sudah tidur.

Kun Hong menghampiri hati-hati sekali dan ketika bulan menyinarkan cahayanya menembus awan tipis, hatinya girang melihat bayangan seorang gadis duduk di belakang pondok, diatas sebuah batu besar. Tak salah lagi, itulah Hui Cu, seorang diri melamun! Hui Cu duduk membelakanginya dan dengan hati-hati tapi cepat Kun Hong menghampirinya.

“Ssttt, Hui Cu, kau belum tidur?” bisiknya menghampiri.

Hui Cu diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya.
“Cu-ji (Anak Cu), celaka sekali….” Kun Hong kini mendekat dan berdiri di belakang gadis itu. “Kita harus lekas-lekas pergi meninggalkan tempat ini! Ah, celaka, tak mungkin aku dapat menghadap Paman Tan Beng San setelah semua kejadian ini. Tak dapat aku berhadapan dengan… dia. Ah, siapa tahu, kiranya ia seorang gadis….”

Terdengar Hui Cu tertawa perlahan, ditahan-tahan, tubuhnya bergerak sedikit akan tetapi mukanya tidak kelihatan jelas karena bulan tertutup awan hitam,

“Hui Cu, kau malah mentertawakan aku? Kau tidak tahu, betapa memalukan dan tak patut kelakuanku terhadap dia. Aku maki dia pemuda pesolek, aku menyatakan benci, aku marah dan dia agaknya benci kepadaku, dia menampar pipiku, memaki aku pemuda sombong. Ah, kau tidak tahu, Hui Cu, aku tidak ada muka untuk bertemu dengannya. Lekas kau beritahukan Li Eng, bangunkan perlahan-lahan dan kita pergi meninggalkan tempat ini. Kalau kau dan Li Eng tidak mau, terpaksa aku sendiri akan pergi, aku tidak berani bertemu dengan dia dan orang tuanya.”

Hui Cu sudah turun dari batu dan berdiri di depannya. Melihat keponakannya ini diam saja, Kun Hong memegang kedua tangannya diguncang-guncang dan ia berkata penuh permintaan,

“Hui Cu, jangan anggap hal ini sebagai main-main. Aku benar-benar malu, kenapa kau acuh tak acuh? Lekas masuk ke pondok dan beri tahu Li Eng, malam ini juga aku akan pergi.”

Perlahan-lahan awan hitam tertiup angin meninggalkan bulan sehingga perlahan-lahan sinar bulan menerangi tempat itu.

“Hui Cu, kenapa kau diam saja? Kenapa… aihhhh, kau ini siapa… ahhh…,”

Kun Hong terbelalak dan mulutnya ternganga memandang wajah gadis yang disangkanya Hui Cu itu. Wajah yang seperti bulan purnama itu sendiri, gilang-gemilang dengan sepasang mata bening bersinar-sinar, hidungnya kecil mancung diatas sepasang bibir yang setengah tersenyum mengejek, yang manis sekali, yang pernah membuat ia kehilangan rasa bencinya… wajah seorang gadis cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, wajah… Cui Bi!

“Aduh, celaka… aduh… aku tolol… ah….”

Kun Hong gagap-gugup akan tetapi lupa bahwa sejak tadi ia masih memegangi kedua tangan gadis itu!

“Hong-ko….” suara merdu yang sudah amat dikenalnya, terlalu dikenalnya, suara yang dahulupun ketika gadis ini disangkanya pria, sering mendatangkan rasa nikmat dan nyaman di hatinya. “Hong-ko, kenalkah kau padaku?”

“Hemm, eh, tentu saja, kau… eh, kau Bi-laote (adik laki-laki Bi).”

Cui Bi tertawa, suara ketawanya perlahan, ditahan-tahan menyatakan bahwa ia merasa geli sekali.

“Bi-laote….?” ia mengulang, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri tertimpa cahaya bulan keemasan. Bibirnya tersenyum lebar sehingga tampak gigi putih berkilau sebentar.

“Eh… Oh… bagaimana aku ini….? Kau… Nona Tan…” Kemudian Kun Hong yang hendak mengangkat tangan memberi hormat baru sadar bahwa sejak tadi ia memegangi kedua tangan orang! “Maaf… maaf sebanyak-banyaknya….” ia cepat melepaskan pegangannya dan menjura sambil membungkuk-bungkuk, “maafkan aku, Nona.”

“Hong-ko, apa-apaan kau ini? mendadak sontak menyebut nona-nonaan segala? Kalau begitu lebih baik kau seterusnya menyebut aku laote (adik laki-laki)!”

Suara Cui Bi terdengar merajuk dan manja. Juga sikap ini amat dikenal oleh Kun Hong dan suara inilah yang dahulu membuat ia memaki Cui Bi sebagai anak manja, anak pesolek!

“Maaf… habis, bagaimana….?”

“Kau lebih tua daripada aku. Kalau aku laki-laki, kau memanggil laote, kalau perempuan, masa kau tidak tahu Harus memanggil apa? Kau menyebut ayahku paman, bukankah aku ini adik perempuanmu adik misanmu?”

“Oh, ya… ya, baiklah Siauw-moi (Adik Perempuan Cilik).”

“He, aku sudah berusia tujuh belas kau masih menyebut siauw-moi? Apakah kau anggap aku ini masih bocah?”

“Bi-moi-moi….” Kun Hong membetulkan kesalahannya.

Cui Bi nampak puas, lalu tiba-tiba ia menyambar tangan Kun Hong, dipegangnya seperti tadi Kun Hong memegang tangannya, seperti dulu sebagai “Cui Bi pria” ia memegang tangan sahabatnya.

“Hong-ko, marahkah kau kepadaku? Aku sudah menipumu.”

“Tidak, tidak… kenapa mesti marah? Aku yang tolol.”

“Tidak senangkah hatimu mendapat kenyataan bahwa, sahabat baikmu itu ternyata adalah seorang wanita?”

“Tentu, senang… senang sekali, eh, aku….” Bingung Kun Hong teringat akan semua ucapannya tadi.

“Kau… apa? Kau datang ini hendak ke manakah? Hendak mencari Enci Hui Cu? Atau Li Eng?” Cui Bi melihat kebingungan pemuda itu sengaja menggoda.

“Tidak. Aku… aku tadi hendak… eh, mencari tempat buang air….”

Mendengar jawaban yang tak tersangka-sangka ini Cui Bi menahan gelak tawanya, membuat Kun Hong makin bingung.

“Aiih, perutmu sakit, Hong-ko? Disana itu, di belakang kelompok pohon kate itu, ada sebatang anak sungai, disana kau bisa buang air. Hendak kesanakah?”

“Ah, tidak… maksudku, eh, tidak jadi sakit Aku… aduh, Bi-moi, mengapa kau menggodaku? Bukankah kau sudah mendengar semua tadi? Aku malu, lebih-lebih sekarang aku malu sekali, Moi-moi….”

Cui Bi mempererat genggaman tangannya.
“Hong-ko, mengapa malu? Akulah yang seharusnya malu kepadamu, karena aku yang banyak berbuat tak baik terhadapmu.”

“Tidak, tidak! Akulah yang bodoh, yang buta, bagaimana aku berani kurang ajar terhadap puteri Paman Tan Beng San?”

“Aku sudah pernah menampar pipimu. Hong-ko, kau sudah berjanji takkan melaporkan hal itu kepada ayahku, tapi aku masih merasa salah kepadamu. Kau boleh menampar aku sekarang sebagai pembalasan.”






No comments:

Post a Comment