Ads

Sunday, December 30, 2018

Rajawali Emas Jilid 116

Banyak juga tamu-tamu yang datang, sampai tidak kurang dari lima puluh orang yang mendapat istirahat di pondok-pondok darurat di kaki puncak. Akan tetapi rombongan-rombongan besar dari partai-partai terkenal seperti dari Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, adalah partai-partai yang dipimpin oleh orang-orang terkenal. Mereka ini tahu diri dan tidak suka mendesak-desak, maka sebelum tiba hari yang ditentukan, mereka tidak mau naik ke kaki puncak, melainkan berhenti di lereng-lereng dan mencari tempat peristirahatan didalam hutan-hutan yang indah pemandangannya dan sejuk hawanya.

Juga tokoh-tokoh besar perorangan belum ada yang muncul ke kaki puncak karena orang-orang seperti mereka inipun tentu saja bersikap “jual mahal” dan tidak muncul sebelum Ketua Thai-san-pai keluar dari sarangnya.

Pendeknya, biarpun yang kelihatan berkumpul di kaki puncak hanya ada lima puluh orang, namun di lereng-lereng Thai-san telah datang banyak orang yang masih menyembunyikan diri di tempat peristirahatan masing-masing, didalam hutan-hutan yang banyak terdapat diseluruh permukaan Pegunungan Thai-san itu.

Selama menanti datangnya hari penentuan itu, mereka yang datang ke Thai-san, baik yang sudah diterima oleh murid kepala maupun yang masih berdiam menanti di hutan-hutan, setiap hari berjalan-jalan menikmati pemandangan alam yang bukan main indahnya.

Mereka yang dalang dari gunung-gunung lain, membandingkan pemandangan disitu dengan tamasya alam di tempat masing-masing. Mereka memuji akan keindahan Thai-san dan diam-diam menyatakan kagum kepada Raja Pedang Tan Beng San yang pandai memilih tempat untuk dijadikan pusat perkumpulannya, ada yang memuji nasib baik Raja Pedang itu karena telah menjadi mantu Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan yang dahulu merajai daerah pegunungan ini.

Banyak diantara tamu yang merasa penasaran melihat bahwa tempat upacara dan pertemuan tidak diadakan di puncak, melainkan di kaki puncak.

“Hemmm, Ketua Thai-san-pai benar-benar tidak memandang kepada kita!” beberapa orang diantara mereka berkata, “Apakah puncak tempat tinggal mereka itu terlalu bersih sehingga takut dikotori kaki kita?”

Ada pula yang mengomel,
“Kabarnya jalan rahasia Thai-san-pai benar-benar amat hebat dan yang paling sulit dipecahkan diantara tempat-tempat rahasia di dunia ini. Aku ingin mendapat kesempatan ini untuk melihatnya. Siapa tahu, Ketua Thai-san-pai begini pelit tidak mau memperlihatkan puncak. Apakah ia takut kalau kita akan mencuri barang-barang yang berharga?”

Macam-macam pendapat orang, pada pokoknya banyak yang merasa penasaran. Malah perasaan ini mendatangkan kejadian bermacam-macam, dan ada yang hebat pula akibatnya, Beberapa kelompok malah berusaha untuk mencari sendiri jalan rahasia, bermaksud untuk mendaki puncak dan mencari jalannya.

Akan tetapi akibatnya, mereka ini berkeliaran di hutan-hutan, sesat tidak karuan dan selama dua hari baru dapat keluar dari hutan-hutan yang sulit dilalui, dengan tubuh lemas dan perut lapar, malah ada yang hampir mati dikeroyok ular atau binatang lain!

Lebih celaka lagi, ada yang pergi seorang diri, diam-diam mempergunakan kepandaian menawan seorang anak murid Thai-san-pai, menyeretnya kedalam hutan dan memaksanya untuk mengaku dan membuka rahasia jalan ke puncak. Orang ini terlalu memandang rendah anak murid Thai-san-pai. Biarpun murid yang ia lawan itu tidak sanggup melawannya karena kalah tinggi tingkat kepandaiannya, namun setiap orang murid Thai-san-pai adalah orang pilihan yang mempunyai kesetiaan luar biasa.

Murid Thai-san-pai itu tidak mau membuka rahasia pertanyaannya, biarpun ia disiksa oleh Si Penawannya, malah kemudian sampai tewas dan ditinggalkan mayatnya begitu saja didalam hutan itu. Si Penawan ternyata gagal mendapatkan rahasia Thai-san-pai dan dengan hati kecut ia meninggalkan orang tawanannya yang telah menjadi mayat, takut kalau-kalau akan ketahuan rahasianya. Dengan wajah biasa dan sikap tenang orang ini kembali diantara para tamu.

Ributlah para anak murid Thai-san-pai ketika mereka mendapatkan seorang saudaranya tewas didalam hutan. Namun mereka tidak memperlihatkan kegugupannya.
Dengan tenang Oei Sun yang mendengar tentang ini, menyuruh seorang murid melapor kepada suhunya yang membawa mayat saudara seperguruannya itu naik ke puncak pula untuk diperiksa ketua mereka.

Kejadian ini berlangsung tanpa banyak menimbulkan keributan, namun tentu saja berita ini tersiar luas diantara para tamu sehingga mereka ini diam-diam menjadi tegang karena menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat antara Thai-san-pai dengan orang-orang yang memusuhinya, diantaranya, orang-orang yang telah membunuh anak murid Thai-san-pai itu!





Lima hari sebelum bulan pertama, yaitu hari pendirian Thai-san-pai, datanglah Tan Cui Bi bersama Tan Kong Bu ke tempat penyambutan. Tentu saja para anak buah murid Thai-san-pai menyambut kedatangan Cui Bi dengan gembira,

Akan tetapi Oei Sun memandang sumoinya (adik perempuan seperguruan) ini dengan mata diliputi kemuraman, lalu menarik tangan sumoinya masuk kedalam pondok. Sambil tertawa ia memberi tanda kepada Kong Bu untuk ikut pula kedalam. Ketika Oei San melihat ini, keningnya berkerut, akan tetapi Cui Bi berkata,

“Oei-suheng, dia ini bukan orang luar. Dia… hemm, belum waktunya kau mengetahui hal ini. Aku dan Kong Bu-koko ini tidak akan segera naik menemui Ayah Ibu, karena kami berdua hendak menanti datangnya tiga orang murid Hoa-san-pai. Aku sendiri yang harus menyambut mereka dan setelah mereka mendapat pondokan yang baik, barulah aku akan menghadap Ayah Ibu. Eh, Suheng, kenapa kau kelihatan tak senang dan gelisah? Apakah yang terjadi?”

Biarpun Cui Bi merupakan adik seperguruan namun tentu saja Oei Sun menganggap gadis muda ini seperti atasannya karena gadis ini adalah puteri gurunya dan ia maklum bahwa dalam hal kepandaian, ia tidak ada setengahnya sumoinya yang nakal ini.

“Sumoi, aku merasa kecewa bahwa kau sama sekali tidak muncul lebih siang untuk membantu keperluan kita. Kau tahu, baru saja kemarin terjadi hal yang menggemaskan.”

Lalu murid tertua ini bercerita tentang tewasnya seorang murid Thai-san-pai secara aneh itu.

“Ternyata diantara para tamu terdapat musuh-musuh curang dari Suhu sehingga mereka itu melakukan pembunuhan sebelum Suhu sendiri turun dari puncak. Bukankah ini amat menggemaskan?” kata Oei Sun sambil membanting-banting kaki. “Thai-san-pai belum diresmikan pendiriannya saja sudah harus menelan penghinaan ini. Hemm, ingin aku mengetahui siapa yang melakukan perbuatan ini dan ingin aku berhadapan dengan dia!”

Tentu saja Cui Bi juga marah mendengar ini.
“Benar-benar jahat dan curang sekali! Kalau memang mau mencari perkara dengan kita, kenapa tidak terang-terangan saja? Hemm, coba dia berani memperkenalkan diri, takkan mau sudah aku kalau belum kupenggal batang lehernya. Suheng, biarlah sambil menanti datangnya teman-teman dari Hoa-san-pai, aku akan memasang mata. Kurasa, orang yang membunuh itu tentu telah menculik saudara kita itu untuk dipaksa memberi tahu tentang rahasia jalan ke puncak. Apakah di tubuh Suheng itu terdapat tanda luka-luka berat?”

Oei Sun memandang kagum. Memang harus ia akui bahwa sumoinya ini biarpun masih muda, namun memiliki kecerdikan luar biasa.

“Kau betul, Sumoi. Memang begitulah agaknya, namun derita yang diderita oleh Sute itu hebat, seperti ditusuki benda panas, tentu sebelum meninggal dia menderita sekali.”

Cui Bi lalu minta disediakan sebuah pondok yang berada menjauh dan tersembunyi karena ia hendak melakukan pengintaian selama menanti kedatangan Kun Hong dan Li Eng. Juga Ia mengharapkan kedatangan Hui Cu yang sampai sekarang belum ia ketahui bagaimana nasibnya itu. Sebentar saja kedukaan akan kematian seorang suhengnya telah tak berbekas pula. Di dalam pondok ia menggoda kakak tirinya.

“Bu-ko, hatimu tentu berdebar-debar, bukan?”

“Apa maksudmu? Kenapa kita harus menanti disini? Bukankah lebih baik terus saja, kepuncak menemui… Ayah?” Kaku juga pemuda ini menyebut ayah yang selamanya tak pernah ia lihat itu.

“Hish, benarkah kau begitu terburu-buru? Ataukah kau diam-diam ingin segera melihat kedatangan… dia?”

“Bi-moi, kau selalu menggodaku tentang Nona Kui Li Eng itu. Hmmm, tahukah kau apa yang akan terjadi kalau aku dan dia bertemu? Kami berdua sudah saling menantang, kalau sekali bertemu akan mengadu pedang!”

Akan tetapi Cui Bi tidak heran malah tertawa manis.
“Tentu saja, maksud dia itu hendak menjatuhkan hatimu, bukan pedangmu. Padahal, tanpa usaha itupun kau sudah jatuh. Bukan begitu?”

Kong Bu benar-benar merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi adik tirinya yang nakal ini.

“Sudahlah… sudahlah, Moi-moi. Siapa tidak tahu, bahwa kaulah yang rindu kepada… kutu buku itu?”

Seketika wajah Cui Bi berubah, matanya membelalak. Seakan-akan hal ini merupakan hal baru baginya, atau sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Hatinya berdebar keras, membuat wajahnya seketika menjadi merah sekali. Ia seorang gadis yang jujur, tak suka berpura-pura, apalagi terhadap kakak tirinya yang baginya sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu. Ia menunduk, termenung, tak dapat berkata-kata lagi, seakan-akan lupa bahwa kakak tirinya berada disitu.

Melihat adiknya tiba-tiba menunduk dan termenung itu, Kong Bu kuatir kalau ia membuat adiknya tak senang. Ia menyentuh pundaknya dan berkata,

“Kau kenapa? Aku hanya main-main, jangan marah. Kau tukang menggoda orang, kalau digoda sedikit saja, lalu ngambek!”

Akan tetapi ketika adiknya itu mengangkat muka memandangnya, hati Kong Bu tertegun. Adiknya ini tidak ngambek, tidak marah, kelihatan terharu dan bingung!

“Bu-ko, apakah kau pikir betul-betul aku rindu kepadanya?”

“Lho, mengapa urusan begitu kau bertanya kepadaku? Habis, kau sendiri bagaimana?”

“Aku… aku tidak tahu, Bu-ko, aku tidak tahu. Hanya terus terang saja, aku memang… Ingin sekali melihatnya. Lucunya ia mengira aku seorang laki-laki. Ah, Bu-ko, aku meragu. Apa yang harus kulakukan?”

Kong Bu terharu. Adik tirinya ini benar-benar seorang yang berhati polos, terhadap dia tidak mau menyimpan rahasia apa-apa, begitu jujur dan menaruh kepercayaan yang besar sekali. Hal ini membuatnya terharu dan makin mendalam rasa sayangnya kepada adik tiri ini. Aku harus membelanya, aku harus melindunginya, aku ingin melihat dia berbahagia, adikku sayang ini, pikirnya.

“Bu-ko, kau lihat orang she Kwa itu orang bagaimana?” tanya pula Cui Bi dengan mendadak.

“Hemm, mana aku tahu? Hanya sebentar aku bertemu dengan dia. Dia memang orang aneh, semuda itu kata-katanya mengandung filsafat-filsafat tinggi. Kau… kau yang sudah cukup lama melakukan perjalanan bersama dia tentu kau lebih mengenal sifat-sifatnya. Tapi dia itu… kutu buku yang lemah, seperti kau katakan sendiri. Apakah sifat ini sesuai dengan kau… seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi dan jiwa gagah perkasa?”

Cui Bi menggeleng kepalanya berkali-kali.
“Entahlah… entahlah… dia aneh, Koko. Ah, aku bingung….”

Kedatangan dua orang itu tidak menarik perhatian para tamu. Siapa memperhatikan dua orang muda yang bersahaja itu? Hanya dua orang pemuda yang ganteng, tidak ada apa-apanya yang aneh. Tentu saja tidak ada diantara mereka yang tahu bahwa seorang diantara dua pemuda itu adalah puteri dari Ketua Thai-san-pai dan tidak ada yang tahu pula bahwa pemuda yang seorang lagi adalah cucu yang tergembleng dari Kakek Song-bun-kwi!

Alangkah girangnya hati Cui Bi, dan diam-diam juga hati Kong Bu, ketika pada keesokan harinya tiba tiga orang muda yang bukan lain adalah Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu tiba di kaki puncak itu! Lebih besar kegirangan Cui Bi karena melihat bahwa Hui Cu juga sudah berada dengan pemuda itu dalam keadaan selamat. Berlari-larian ia menyambut kedatangan tiga orang itu, diikuti oleh Kong Bu yang agak meragu berjalan di belakangnya.

“Adik Cui Bi….!” Kun Hong berseru dan tanpa ragu-ragu lagi memegang kedua tangan sahabat ini. “Alangkah girangku melihat kau disini! Ah, adik yang nakal, kenapa tempo hari kau pergi begitu saja tanpa pamit? Aku… aku ingin memperkenalkan kau dengan keponakan-keponakanku. Ini dia Li Eng yang seringkali kuceritakan kepadamu, dan ini Hui Cu. Anak-anak, inilah pemuda aneh murid Thai-san-pai yang seringkali kuceritakan kepada kalian. Dia hebat!”

Diam-diam Cui Bi yang mukanya menjadi merah sekali itu bertukar pandang dengan Kong Bu yang juga sudah sampai disitu.

“Eh, kau juga disini? Bersama-sama Bi-laote?”






No comments:

Post a Comment