Ads

Sunday, December 30, 2018

Rajawali Emas Jilid 119

Li Eng gembira, mendesak dengan tusukan digetarkan yang mengancam leher terus ke pusar lawan. Kali ini mau tidak mau Kong Bu harus melompat keluar lingkaran!

“Tranggg!”

Kong Bu benar-benar keluar lingkaran, akan tetapi pedangnya secepat kilat menangkis dari atas kebawah sambil mengerahkan tenaga sehingga pedang itu terlepas dari cekalan tangan Li Eng.

Kong Bu cepat mengambil pedang dan mengembalikan kepada Li Eng sambil berkata,
“Aku menyerah kalah, aku keluar dari lingkaran. Hebat benar ilmu pedangmu, Nona.”

Merah wajah Li Eng namun wajahnya berseri. Ia menerima pedang dan menjura berkata,

“Bukan, akulah yang kalah. Pedangku terpukul jatuh.”

Cui Bi bertepuk-tepuk tangan dan menari-nari.
“Hi-hi-hi, bagus… bagus! Kalian sudah saling mengalah, hi-hi, bagus! Lenyaplah benci, muncullah perasaan suci!”

“Idihhh… kau… ceriwis….!”

Li Eng melompat dan mencubit bibir Cui Bi, namun sekali mengelak serangan ini luput. Li Eng lalu lari meninggalkan tempat itu.

“Eng-moi, tunggu….!” Hui Cu yang kuatir kalau-kalau adiknya itu marah-marah lalu mengejar.

“Heeiii, kalian jangan pergi, nanti tersesat jalan. Tidak mudah jalan pulang!”

Cui Bi berseru, akan tetapi dua orang gadis Hoa-san-pai itu tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari, Li Eng lebih dulu, dikejar Hui Cu.

“Biarlah, anak-anak nakal itu tidak kapok kalau belum kebingungan dan tersesat disini. Hemm, biar mereka melihat kelihaian jalan rahasia Thai-san-pai!” kata Cui Bi. “Jangan kuatir,” katanya kepada Kong Bu, “Nanti mereka akan kucari.”

Setelah berkata demikian, Cui Bi menghampiri Kong Bu, menggandeng tangan pemuda itu diajak duduk dibawah pohon yang besar, agak jauh dari tempat sembunyi Kun Hong. Pemuda ini sekarang hanya dapat memandang dari jauh akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Ia hanya melihat mereka bercakap-cakap, kadang-kadang Cui Bi tertawa, kadang-kadang menggelengkan kepala dan kelihatan berduka. Apakah yang dipercakapkan oleh dua orang muda itu?

“Hi-hik Bu-koko, sekarang apakah kau mau menyangkal lagi? Jelas kau mengalah dan tidak tega melukai Enci Li Eng, itu hanya berarti bahwa kau sama sekali tidak membencinya, sebaliknya kau… mencintanya. Nah, coba kalau berani menyangkal sekarang!” kata Cui Bi sambil tertawa-tawa menggoda.

Kong Bu menarik napas panjang.
“Sudahlah, aku mengaku. Memang dia itu amat menarik hatiku, aku… aku kagum kepadanya.”

“Katakanlah cinta, masa hanya kagum?” desak Cui Bi.

“Kau anak nakal! Ya, baiklah, aku cinta kepadanya. Akan tetapi, jangan kau kira aku tidak tahu bahwa kaupun mencinta… kutu buku itu! Hayo, coba kalau kau berani menyangkal setelah pertemuan kalian malam tadi.”

Berubah merah wajah Cui Bi ketika dengan mata membelalak ia memandang kakak tirinya.

“Heee….?? Jadi bayangan itu… kaukah itu?”

Tiba-tiba Cui Bi menutupi muka dengan kedua tangan dan terdengar ia menangis terisak-isak. Kong Bu kaget dan memegang tangan adik tirinya itu,

“Eh, Bi-moi, kenapa kau menangis? Maafkan, aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, maafkan godaanku tadi.”

Sambil menangis tersedu-sedu Cui Bi menggeleng-geleng kepala,
“Tidak… kau tidak menggodaku… Bu-ko, memang aku… aku cinta kepadanya… tapi, ah, bagaimana takkan hancur hatiku karena aku dipaksa berjodoh dengan orang lain…?”





Saking sedih dan hancur hatinya Cui Bi menjatuhkan diri, menubruk Kong Bu dan menangis diatas dada kakak tirinya itu. Ayah dan ibunya hendak memaksa dia berjodoh dengan lain orang, sekarang hanya ada kakak tirinya inilah yang menjadi satu-satunya orang yang kiranya dapat ia sambati, dapat ia mintai tolong.

“Tenanglah, Moi-moi, tenanglah… nanti didepan Ayah, aku pasti akan bilang untukmu….”

Kong Bu dengan terharu mengusap-usap rambut kepala adiknya dan membiarkan gadis itu menangis dan menyembunyikan muka diatas dadanya.

Di tempat persembunyiannya, Kun Hong yang hanya dapat melihat adegan ini dari jauh tanpa dapat mendengar pembicaraan itu, seketika menjadi pucat dan seluruh tubuhnya gemetar, kepalanya terasa berputar matanya berkunang. Hampir ia tidak dapat mempercayai adegan yang dilihatnya. Dua orang itu, berpeluk-pelukan. Ah, jahat benar cucu Song-bun-kwi, sejahat kakeknya. Dan keji benar Cui Bi, setelah malam tadi demikian mesra sikapnya. Hemm, gadis keji ini hendak mempermainkannya rupanya.

Hati Kun Hong sakit sekali. Belum pernah selama hidupnya ia merasa sakit hati seperti ini. Kedua matanya yang berapi-api meneteskan dua butir air mata. Kong Bu, kau keparat….! Sudah jelas bahwa kau berusaha menarik hati Li Eng, jelas dalam pertandingan tadi kalian saling mengalah. Malah Cui Bi mengucapkan kata-kata menyindir tentang perasaan Kong Bu dan Li Eng. Tapi sekarang… ah, kalian dua orang berhati binatang. Tak bermalu!

Hampir Kun Hong tak kuat menahan hatinya, hampir ia melompat dan menerjang mereka dengan kata-kata pedas. Akan tetapi ia menahan hatinya ketika melihat dua orang itu bangkit berdiri, berjalan bergandengan tangan sampai dekat tempat ia bersembunyi.

“Bu-ko, biarlah sekarang kususul Enci Li Eng dan Enci Hui Cu. Akan kubawa kalian semua menghadap Ayah.”

Kong Bu hanya mengangguk dan Cui Bi lalu lari dari tempat itu, lenyap diantara pohon-pohon. Kun Hong yang sudah tak dapat menahan hatinya lagi, melompat keluar. Kong Bu memandang kaget,

“Eh, Saudara Kun Hong, kau disini?”

Kekagetan Kong Bu bukan hanya karena munculnya Kun Hong yang tak disangka-sangkanya itu, akan tetapi terutama sekali melihat pemuda “kutu buku” ini beringas mukanya, matanya berapi-api dan memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerahan.

Bengis sekali kelihatannya pemuda yang biasanya sopan santun dan lemah-lembut ini, wajahnya tersinar cahaya matahari pagi yang mulai menerobos diantara celah-celah daun pohon.

“Kong Bu, cabut pedangmu!” tiba-tiba Kun Hong berkata, suaranya menggeledek tidak seperti biasa.

Kong Bu makin kaget dan heran.
“Eh, apa maksudmu, Saudara Kun Hong?” tanyanya bingung.

“Jangan berpura-pura. Aku sudah melihat semua perbuatanmu yang tak senonoh dengan… Nona Tan Cui Bi. Kau… kau manusia rendah! Kau memikat hati Li Eng dengan kepandaianmu, kau memperlihatkan sikap mengalah dalam pertandingan sehingga ia jatuh dan mengira bahwa kau cinta kepadanya. Kiranya kau hanya mempermainkannya, diam-diam kau main gila dengan Nona Cui Bi! Hemm, Kong Bu, aku seorang penyabar, akan tetapi kali ini kita harus mengadu nyawa! Bersiaplah!”

Melihat ini, melihat sikap menantang dari Kun Hong, melihat pula cara Kun Hong memegang pedang seperti orang memegang pisau dapur, tiba-tiba Kong Bu tak dapat menahan gelak tawanya yang bergema disekitar tempat itu.

“Keparat, tak usah mentertawakan! Kalau memang jantan, cabut pedangmu!”
Makin panas hati Kun Hong, “Tak dapat aku membiarkan kau merusak hati Li Eng!”

“Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Hebat benar kau! Aku kagum melihat keberanianmu. Akan tetapi mengapa kau aku merusak hati Nona Li Eng? Katakanlah saja aku merusak hatimu, kau anggap aku merampas Cui Bi darimu! Ha, ha, apa kau kira aku tidak tahu akan pertemuanmu dengan Cui Bi malam tadi? Kau mencinta Cui Bi dan sekarang kau cemburu kepadaku.”

Wajah Kun Hong menjadi merah sekali.
“Hemm, apalagi kalau sudah tahu akan hal itu, berarti makin jahatnya hatimu dan rendahnya Bi-moi.”

“Tak boleh kau memaki Cui Bi!”

“Aku tidak memaki, kenyataan yang amat rendah membuktikan.”

“Eh, Kun Hong, kau makin menghina. Kau kira aku takut kepadamu?” Kong Bu mencabut pula pedangnya. “Mari, mari… kalau kau ingin main-main denganku, boleh!”

“Majulah, tak usah banyak cakap!” Kun Hong menantang.

Melihat betapa pemuda Hoa-san-pai itu memegang pedang dengan ujung pedang terseret diatas tanah, Kong Bu makin geli dan ia menggertak,

“Awas pedang!”

Cepat seperti kilat menyambar pedangnya menusuk ke arah dada Kun Hong. Akan tetapi secepat itu pula ia menarik kembali pedangnya ketika melihat betapa Kun Hong sama sekali tidak melakukan gerakan untuk menangkis maupun mengelak.

“Eh, benar-benarkah kau hendak mengadu pedang denganku?”

“Siapa mau main-main denganmu?” jawab Kun Hong.

“Kenapa kau tidak menangkis atau mengelak?”

“Hemmm, pedangmu belum menyentuh bajuku, kau sudah ribut-ribut? Hayo seranglah, kalau kau memang laki-laki!”

Kong Bu kembali menggerakkan pedangnya, kali ini membacok ke arah leher lawannya itu. Ketika pedangnya tinggal beberapa sentimeter lagi dari leher Kun Hong dan kali ini juga Kun Hong tidak menangkis maupun mengelak, Kong Bu terkejut sekali dan cepat merubah arah pedang sehingga membabat atas kepala Kun Hong.

Kun Hong tersenyum. Tentu saja ia sudah siap sedia dan ia dapat mengikuti gerakan pedang itu dengan baik sekali sehingga tak perlu ia menangkis atau mengelak sebelum benar-benar ia terancam.

“Mengapa tidak jadi menyerang? Apakah kau takut?” ejeknya.

Kong Bu benar-benar kagum sekali. Belum pernah ia menemui seorang yang begini besar keberaniannya, menanti datangnya pedang dengan mata tidak berkedip sedikit pun.

“Hebat! Kau benar-benar gagah berani, Saudara Kun Hong. Biarlah tak perlu aku menggodamu lebih lama lagi.”

Kong Bu menyimpan pedangnya.
“Ketahuilah, kau yang gagah dan cerdik ini, kali ini kau seakan-akan buta karena cinta kasih mengeruhkan hati dan pikiranmu sehingga kau tidak melihat kenyataan bahwa apa yang kau lihat antara aku dan Cui Bi itu bukanlah hal yang perlu kau ributkan. Ketahuilah, dia dan aku adalah saudara tiri, kami sama-sama anak Ayah Tan Beng San, dia lahir dari Ibu Cia Li Cu dan aku dari Ibu Kwee Bi Goat. Kau tahu apa yang kami bicarakan tadi? Dia menangis karena cintanya kepadamu!”

Lemas seluruh sendi tulang di tubuh Kun Hong. Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya dan memegang lengan Kong Bu yang kuat,

“Ah, Saudaraku, aku benar-benar buta! Aku layak kau maki, layak kau pukul. Hemm, orang macam aku ini mana ada harga untuk mencintanya?”

Kong Bu tertawa gembira.
“Sudahlah, Saudara Kun Hong, tak perlu kau merendahkan diri. Salah mengerti ini sudah dapat dilenyapkan, bagus sekali. Tentang adikku Cui Bi, tak usah kau kuatir, dia betul-betul mencintamu. Hanya aku masih sangsi apakah cintamu kepadanya betul-betul sebesar perasaannya terhadapmu.”

“Saudara Kong Bu,” kata Kun Hong bernafsu. “Biarlah bumi dan langit menjadi saksi, dan dengarlah sumpahku bahwa aku mencinta Bi-moi sepenuh jiwaku, aku rela berkorban nyawa untuknya!”

“Bagus! Aku menjadi saksi!”






No comments:

Post a Comment