Ads

Tuesday, November 13, 2018

Rajawali Emas Jilid 031

Sampai lama Li Cu terpesona oleh keindahan pemandangan yang belum pernah diperhatikan sebelumnya itu. Kemudian terasa olehnya pergerakan napas dan bunyi berdetik di pinggir telinganya. Makin lebar matanya dibuka dan yang mula-mula tampak adalah sebuah hidung dan sebuah mulut dari muka yang putih.

Yang paling jelas adalah bentuk dagu yang keras. Ia makin mengerahkan perhatian, memandang kepada muka itu. Tahulah sekarang ia bahwa yang berdetik-detik itu adalah bunyi jantung dalam dada dimana ia bersandar. Ia dipangku orang, diatas sebuah pelana kuda! Dan muka itu… muka Beng Kui!

“Bedebah kurang ajar kau!”

Li Cu seketika timbul tenaganya, kedua tangannya meraih ke atas lalu dipukulkan dua kali ke muka itu, muka yang dibencinya, muka yang dahulu pernah dicintainya Muka Beng Kui!

Potongan tubuhnya yang terlatih semenjak kecil. Li Cu sudah berhasil memukul sambil terus meloncat menjatuhkan diri ke pinggir, lalu berjungkir-balik dan dilain saat ia sudah berdiri tegak di depan kuda, siap untuk menyerang lagi. Ia melihat orang yang dipukul mukanya tadi meloncat turun terus duduk diatas akar pohon sambil menutupi mukanya.

Beng San tak dapat mengelak ketika tadi. Memang diapun seperti Li Cu terpesona oleh cahaya matahari yang secara indah menghias hutan itu dengan sinar benang emas, akan tetapi warna kuning emas itu mengingatkan ia akan burung rajawali emas dan sekaligus mengingatkan ia kembali kepada Kwa Hong.

Terngiang di telinganya kata-kata tuduhan Beng Kui bahwa ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. Beng Kui tidak tahu keadaan yang sebenarnya, akan tetapi memang tuduhannya itu tak dapat disangkal pula. Memang ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. la telah berdosa besar, besar sekali.

Pada saat itulah Li Cu memaki dan memukul mukanya dua kali, yang pertama mengenai pinggir jidatnya dan yang kedua mengenai pinggir mulutnya. Darah mengucur dari kedua tempat itu, sakit rasanya. Akan tetapi hati Beng San lebih sakit oleh makian tadi. Ia dapat menahan pukulan itu, lalu meloncat turun dan menjatuhkan diri duduk diatas akar pohon, menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang berloncatan keluar. Akan tetapi tanpa disengaja kedua tangannya itupun menyembunyikan jidat dan bibir yang mengucurkan darah.

Setelah kini agak reda peningnya, pandang mata Li Cu makin terang. Ia memandang terbelalak kepada orang yang duduk menutupi muka di bawah pohon itu. Sejenak Li Cu bingung. Ia teringat betul bahwa yang dipukulnya tadi adalah Beng Kui. Tapi orang itu… pakaian itu dan… dan pundak yang terluka itu….!

“Beng San….!”

Li Cu menahan jeritnya, tangan kirinya menutupi mulut, lalu ia melangkah maju tiga tindak mendekat.

Beng San menurunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Darah mengucur deras dari luka di jidatnya. Memang bagian tubuh yang teratas ini paling banyak mengeluarkan darah kalau terluka. Pandang mata Beng San kabur dan ia melihat seakan-akan Kwa Hong yang berdiri di depannya sekarang ini.

“Kau… kau boleh pukul aku lagi kalau kau suka… bunuhpun boleh….” katanya perlahan.

Meremang bulu tengkuk Li Cu melihat muka yang berlumuran darah dan mendengar suara yang tak berirama ini, seperti suara dari balik kubur. Ia menyesal bukan main. Kenapa ia malah memukul Beng San yang telah menolongnya dari bahaya yang lebih ngeri dari pada maut? Timbul penyesalan dan kasihannya.

“Ah, jadi kaukah yang kupukul tadi?” tanyanya dengan penuh sesal sambil cepat maju menghampiri.

Setelah dekat barulah Beng San ingat kembali bahwa gadis ini sama sekali bukan Kwa Hong biarpun pakaiannya serba merah, melainkan Cia Li Cu.

“Nona Cia, ini pedangmu… ambil… ambil… ambillah sendiri….” katanya lemah.

Pedang Liong-cu-kiam pendek itu telah ia selipkan di belakang punggung.
“Siapa bicara tentang pedang? Mukamu itu… harus diurus dulu,” kata Li Cu dan dengan cepat gadis ini sudah berlutut di depan Beng San, lalu dengan cekatan ia membersihkan darah dari luka di bibir dan jidat itu.





Tanpa ragu-ragu lagi dan sama sekali tidak jijik Li Cu mempergunakan saputangannya dari sutera yang harum untuk mengusap darah. Saputangan itu sudah penuh darah, dan luka di kening masih terus mengucurkan darah.

“Tunggu sebentar aku mencari air,” kata Li Cu dan cepat gadis ini lari ke tepi sungai dan mengambil air dengan mempergunakan daun yang lebar.

Kemudian ia datang lagi dan dicucinya luka-luka itu. Cekatan sekali ia bekerja tanpa ragu-ragu dan jari-jari tangannya dengan mesra membersihkan luka yang diakibatkan pukulannya sendiri tadi.

“Wah, darahnya mengucur terus. Jidatmu harus dibungkus,” bisik Li Cu perlahan dan agak bingung karena tidak ada obat penghenti darah disitu. Ia mencuci saputangannya dan mempergunakannya untuk membalut jidat Beng San.

Tentu saja untuk pekerjaan ini ia harus mengangkat kedua lengannya dan seakan-akan memeluk kepala Beng San.

Selama itu, jantung Beng San berdebar tidak karuan. Lenyaplah bayangan Kwa Hong yang selama ini mengikutinya dan membuat ia merasa berdosa hebat. Malah bayangan isterinya, Kwee Bi Goat, isterinya yang tercinta yang selama ini dirindukannya, tidak tampak pada saat itu.

Bukan main cantik jelitanya gadis ini, demikian ia mendengar bisikan-bisikan di belakang telinganya, seakan-akan batang pohon yang ia sandari itulah yang berbisik-bisik. Cantik bagai bidadari. Mata yang bening redup itu, mulut kecil mungil dengan hidung yang mancung. Rambut yang panjang hitam awut-awutan. Kadang-kadang memperlihatkan kulit leher yang putih kuning. Ketika gadis itu membalutkan saputangan ke belakang lehernya ia merasa seakan-akan dipeluk dan Beng San meramkan matanya. Ganda sedap mengharum membuat ia seperti mabok dan ketika ia membuka matanya, ternyata pekerjaan gadis itu sudah selesai.

Li Cu masih berlutut di depannya, mukanya amat dekat, terlalu dekat seakan-akan ia dapat merasai tiupan napas gadis itu. Dua pasang mata bertemu, saling pandang, saling terkam dan sukar terlepas lagi. Mulut Li Cu agak terbuka, matanya redup dan bulu mata yang panjang itu bergerak-gerak. Bisikan di belakang telinga Beng San makin mendesak. Dia cantik bukan main. Dan agaknya suka kepadamu.Hemm… tunggu apalagi?

Li Cu menjerit kecil sambil melompat mundur. Hampir berbareng disaat itu juga Beng San sambil duduk membalikkan tubuhnya dan tangan kanannya yang terkepal memukul batang pohon besar di belakangnya.

“Blukk!”

Saking kerasnya ia menghantam, kepalan tangan itu melesak ke dalam batang pohon sampai ke pergelangan tangannya!

“Eh… ah… kenapa….? Kenapa kau memukul pohon….??” Li Cu yang kini sudah berdiri, memandang dengan mata terbelalak terheran-heran.

Beng San perlahan-lahan bangkit berdiri, menarik napas berkali-kali. Ia masih sempat mendengar suara yang berbisik-bisik tadi seperti mentertawakannya dari jauh. Setelah ia dengarkan betul-betul, itu sebenarnya adalah suara daun-daun pohon tertiup angin. Ia bergidik.

Alangkah bahayanya bisikan-bisikan tadi. Bisikan iblis yang setiap saat menggoda manusia. Untung ia dapat mengalahkannya tadi dan biarpun kepalan tangannya terasa sakit, ia merasa lega hatinya. Kini tanpa ragu-ragu ia dapat mengangkat muka memandang wajah Li Cu.

“Beng San… kenapa kau memukul pohon….?” tanyanya sekali lagi.

“Ah, tidak… tidak apa-apa, Nona.”

“Mukamu tadi menakutkan sekali….”

“Bukan salahku. Mukaku memang buruk….”

“Sekarang tidak lagi,” buru-buru Li Cu memotong. “Tadi, sedetik sebelum kau memukul pohon. Aku sampai kaget dan menjerit. Beng San, kenapa mukamu bisa berubah-ubah?”

“Sudah nasibku, Nona. Ketika kecil aku dipaksa makan racun. Apakah sekarang mukaku masih menakutkanmu?”

Li Cu memaksa senyum, matanya bersinar-sinar lagi.
“Tidak lagi. Sekarang tidak. Hanya tadi sebentar… ah, membikin aku teringat akan kata-kata Beng Kui tadi. Kau disebut iblis pengrusak wanita.”

“Memang aku iblis… bukan hanya iblis malah kau tadipun menyebutku bedebah dan kurang ajar… memang demikianlah aku….”

Beng San menunduk dan menarik napas, merasa betapa memang ia tepat sekali disebut demikian setelah apa yang ia akibatkan pada diri Kwa Hong. Ia berdosa kepada Kwa Hong dan lebih-lebih lagi kepada Bi Goat.

“Aku tadi mengira kau Beng Kui, maka aku memaki demikian.”

Kembali Beng San menarik napas panjang.
“Memang tidak banyak selisihnya, Nona Cia. Kami berdua… ahh, kami bukan orang baik….”

Li Cu memandang dan menjadi terharu. Muka itu kurus benar, tapi kulitnya sekarang putih dan… hemm, tampan sekali. Apalagi alis yang berbentuk golok itu, dan sepasang mata yang tajam luar biasa. Rambutnya tidak terpelihara, pakaiannyapun hampir menyerupai pakaian jembel. Memang jauh bedanya terlihat lahirnya saja dengan Beng Kui yang mentereng dan rapi. Tapi jauh nian bedanya.

“Beng San….” katanya setelah mereka berdua tercekam oleh suasana hening. “Malam tadi diatas genteng, kenapa kau menangis?”

“Apakah aku menangis? Aku sudah lupa…”

“Sebelum kau muncul untuk menolongku, kau menangis. Tangismu memilukan sekali biarpun hanya terdengar sebentar.”

“Boleh jadi. Aku menangisi keadaanku, keadaan dia yang dulu kuagungkan, kukagumi sebagai kakakku yang mulia dan perkasa. Kiranya ia sama dengan aku….”

“Kau kenapa? Kau… kau baik sekali, Beng San.”

Ucapan ini terdengar lantang dan terus terang. Ketika Beng San mengangkat muka memandang, kembali dua pasang mata bertemu dan Beng San melihat pandang mata yang jujur dan tahu bahwa pernyataan nona ini keluar dari hatinya. Ia menarik napas.

“Bukan, sayang sekali. Benar seperti yang dikatakan olehnya, aku seorang jahat, perusak hati wanita, aku seorang penuh dosa….”

“Tak-percaya! Aku tidak percaya!”

Suara Li Cu makin keras penuh kesungguhan. Gadis ini diam-diam merasa aneh. Sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya. Biarpun sudah lama sekali ia bertunangan secara resmi dengan Beng Kui, namun hubungannya sama saja dengan hubungan kakak beradik, seorang suheng dan sumoi. Belum pernah jantungnya menggetar, seperti tadi ketika ia membalut kepala Beng San. Malah belum pernah berdekatan seperti tadi dengan Beng San. Apakah artinya semua ini? Dan ia sama sekali tidak mau percaya kalau Beng San seorang jahat, seorang perusak wanita.

Beng San memandang dengan melongo dan tiba-tiba ia merasa jantungnya berdebar keras. Penuh keharuan dan kengerian ia memandang kepada wajah jelita itu. Sudah terlalu sering ia melihat wajah gadis-gadis yang mencintanya, terutama sekali wajah Kwa Hong dan isterinya Kwee Bi Goat.

Sinar mata dan wajah mereka itu seperti wajah Li Cu sekarang ini, demikian mesra, demikian jelas cinta kasih terbayang pada sepasang mata yang bening itu. Tak boleh ini! Sekali-kali tidak boleh! Ia tidak mau berlaku sembrono seperti dulu. Tak mau melukai hati gadis, apalagi gadis seperti Li Cu. Dulu sudah banyak gadis-gadis terluka hatinya olehnya.

“Nona Cia, aku harus berterus terang kepadamu. Memang aku seorang laki-laki penuh dosa dan apa yang dikatakan suhengmu tadi semua betul belaka.”

Kemudian dengan suara tegas jelas, sama sekali tidak ragu-ragu dengan pengakuannya itu ia hendak meringankan dosanya yang menindih isi dada, ia menceritakan kepada Li Cu telah melakukan perhubungan dengan Kwa Hong kemudian meninggalkannya karena ia sudah jatuh cinta dengan Kwee Bi Goat dan kemudian ia ikut bersama Bi Goat ke Min-san dan menjadi suami isteri disana.

Diceritakannya pula betapa Kwa Hong menjadi rusak hatinya dan seperti gila, apalagi setelah ternyata bahwa perhubungan mereka itu telah mengakibatkan Kwa Hong mengandung.






No comments:

Post a Comment