Ads

Tuesday, November 13, 2018

Rajawali Emas Jilid 032

“Aku telah berdosa besar kepada Kwa Hong, aku telah merusak hidupnya. Dan aku lebih berdosa lagi kepada isteriku yang belum tahu akan hal itu. Seharusnya dahulu aku mengaku di depan Bi Goat, tapi aku pengecut… aku takut kehilangan dia, jadi aku seakan-akan menipunya. Ah, dosaku bertumpuk-tumpuk, Nona Cia. Sudah sepatutnya kalau orang semulia engkau membenciku, menganggap rendah kepadaku seperti dikatakan oleh suhengmu itu….” Demikian Beng San menutup ceritanya.

Li Cu sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka sebentar pucat sebentar merah. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, mendengar akan penuturan Beng San tentang pengalaman dengan beberapa orang gadis cantik ini, dadanya terasa panas dan ingin sekali ia marah-marah! Ingin sekali ia menampar muka Beng San. Tapi juga ingin sekali ia menangis!

“Kau… kau… laki-laki mata keranjang!” makinya dengan suara serak sambil berdiri dan berlari pergi dari tempat itu.

“Nona Cia….! Ini pedangmu, bawalah….!”

Beng San juga berdiri dan sekali ia meloncat, ia telah berada di depan Li Cu, pedang pendek Liong-cu-kiam telah ia cabut dan ia angsurkan kepada gadis itu. Herannya bukan main ketika ia melihat muka yang jelita itu basah oleh air mata yang bercucuran.

Li Cu menggunakan tangan kiri mengusapi air matanya, tanpa mengeluarkan kata-kata dan tanpa memandangi muka Beng San ia menyambar pedang itu lalu berlari pergi lagi. Isaknya terdengar memilukan ketika tubuhnya berkelebat di depan Beng San. Pemuda ini berdiri bengong memandang ke arah tubuh berpakaian merah yang berlari cepat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan seperti patung ia memandang ke depan sampai bayangan merah itu lenyap ditelan kejauhan.

“Ha-ha-ha-ha, puteri Bu-tek Kiam-ong itu cinta kepadamu, Adikku!” tiba-tiba suara itu terdengar di belakang. Beng San kaget sekali, cepat berputar dan… ia berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh raksasa yang gagah sekali dan yang berdiri sambil tersenyum lebar dan bertolak pinggang.

“Twako….!” Beng San berseru girang dan maju merangkul laki-laki gagah perkasa itu.

“Ha-ha-ha, Beng San adikku. Dimana-mana kau selalu menghadapi keruwetan dengan wanita. Ah, kau bikin aku mengiri saja.”

“Tan-twako, jangan menggoda aku. Bagaimana keadaanmu? Kemana saja selama ini kau pergi?”

Beng San menjadi gembira kembali setelah bertemu dengan laki-laki tinggi besar itu. Siapakah dia? Bukan seorang biasa, melainkan seorang bekas pejuang yang sudah terkenal namanya sebagai pemimpin dari perkumpulan Pek-lian-pai yang banyak jasanya dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan pemerintah Mongol.

Namanya adalah Tan Hok dan semenjak dahulu menjadi sahabat baik Beng San, malah Tan Hok menganggap Beng San sebagai adik angkatnya sendiri (baca kisah Raja Pedang). Tan Hok juga seorang gagah yang memiliki ilmu silat tinggi. Sebetulnya yang membuat ia amat dikagumi Beng San bukanlah ilmu silatnya, melainkan jiwa kepatriotannya yang luar biasa besarnya.

Dalam hal perjuangan, Tan Hok tak dapat disamakan dengan orang seperti Beng Kui yang berjuang karena ada pamrih memetik buah dari hasil perjuangannya itu untuk keperluan dan kesenangan diri pribadi. Perjuangan yang dilakukan Tan Hok dengan perkumpulan rahasianya adalah perjuangan suci tanpa pamrih. Kalaupun ada pamrih, maka pamrih itu hanya ingin melihat rakyatnya terbebas daripada belenggu penjajahan. Jadi pamrihnya bukan untuk kepentingan diri pribadi, melainkan demi kesejahteraan rakyat.

Oleh karena inilah setelah pemerintah Mongol tumbang, Tan Hok dan teman-temannya tidak termasuk bekas-bekas pejuang yang ikut gontok-gontokan untuk memperebutkan kedudukan dan kemuliaan di kota raja!

“Tan-twako, kau hendak pergi kemanakah?”

Kembali Beng San bertanya, untuk sejenak ia lupa akan penderitaan batin yang sedang mengamuk di hatinya ketika bertemu dengan orang yang amat disayangnya ini.

“San-te (Adik San), sebetulnya tidak sengaja aku dapat bertemu dengan kau disini. Pagi tadi aku melihat kau naik kuda sambil memangku seorang nona yang tampaknya sakit atau pingsan. Tadinya aku curiga melihat keadaan Nona itu maka aku tidak menegurmu dan diam-diam mengikutimu. Maafkan kecurigaanku ini. Kemudian aku melihat bahwa dia adalah Nona Cia Li Cu puteri Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan.”





Tan Hok berhenti sebentar, kemudian dengan muka sungguh-sungguh ia berkata lagi,
“San-te, sebetulnya pertemuan ini amat menggembirakan hatiku dan kebetulan sekali. Andaikata kita tidak bertemu disini, agaknya akupun akan mencarimu di Min-san untuk minta bantuanmu.”

Girang hati Beng San bahwa teman baiknya ini tidak melanjutkan bicaranya tentang Li Cu. Ia sudah merasa malu sekali kalau orang bicara tentang gadis-gadis yang pernah membuat hidupnya kacau-balau. Dengan penuh gairah ia lalu berkata,

“Katakanlah, Twako. Apakah urusan yang mengganggumu? Tentu adikmu ini dengan hati lapang siap sedia membantumu.”

“Kalau hanya menghadapi urusan pribadi, mana aku berani mengganggumu, Adik Beng San? Hanya ada satu macam urusan yang memaksaku minta bantuan siapapun juga.”

“Urusan negara?” Beng San menduga, tahu akan watak laki-laki raksasa itu.

Tan Hok mengangguk.
“Patriot-patriot palsu itu benar-benar menjemukan. Mereka kini mengacau dan berusaha merampas kedudukan Kaisar Thai Cu, merasa bahwa mereka lebih berhak daripada bekas pahlawan Giu Goan Ciang. Hemm, benar-benar tidak ubahnya dengan anjing-anjing yang memperebutkan bangkai srigala yang tadinya mereka keroyok!”

“Aku sudah mendengar juga tentang itu, Twako. Malah sudah bertemu dengan Ho-hai Sam-ong yang bersekongkol dengan Raja Muda Lu Siauw Ong. Aku mendengar tentang rencana mereka yang akan bergerak dari luar dan dari dalam.”


“Bagus!”

Tan Hok melompat bangun, lalu duduk kembali di atas akar pohon.
“Jadi mereka sudah bersekongkol pula? Lebih mudah kalau begitu untuk sekaligus menghancurkan mereka. Adikku, karena inilah maka aku minta bantuanmu. Aku dan teman-temanku dari Pek-lian-pai sudah siap dan malah Kaisar telah memberi pula bantuan pasukan untuk merampas para pemberontak tak tahu malu itu. Sin-te, dengan kau di sampingku, aku akan merasa kuat untuk menghadapi mereka yang tak boleh dipandang ringan itu. Dan…perlu kuberitahukan kepadamu, yang kau sebut Lu Siauw Ong tadi, dia itu adalah mertua dari kakak kandungmu Tang Beng Kui. Jadi… kalau kau membantuku, kau tentu akan berhadapan dengan Tan Beng Kui sebagai musuh!”

Beng San mengangguk.
“Hal itupun aku sudah tahu, Twako.”

Kemudian secara singkat Beng San menuturkan pertemuannya dengan kakak kandungnya itu di rumah Ho-hai Sam-ong. Hanya soai Li Cu tidak ia ceritakan.

Tan Hok senang mendengar ini.
“Kalau begitu, mari kau ikut denganku. Kita akan bergerak dari utara, membersihkan pemberontak-pemberontak yang datang dari sana. Ho-hai Sam-ong takkan berani sembarangan bergerak kalau komplotan-komplotannya dari utara belum kuat benar membantunya.”

“Aku bersedia membantumu, Twako. Hanya saja… aku masih belum tahu pasti, belum yakin akan tujuan pergerakanmu sekarang ini. Orang-orang itu saling memperebutkan kedudukan dan semua yang kudengar menyatakan bahwa Kaisar sekarang ini, bekas pemimpin pejuang Ciu Goan Ciang adalah seorang yang tidak adil. Sekarang ternyata kau membantu Kaisar, apakah menurut pendapatmu Kaisar Thai Cu yang betul dan mereka yang tidak puas itu salah?”

“Adikku Beng San, kau tidak mengerti tentang keadaan negara, memang hal ini tidak aneh karena kau tidak mempedulikannya. Akan tetapi aku yang selalu mengikuti perkembangannya, dapat melihat dengan nyata. Dengarlah kata-kataku ini, Adikku. Sudah jelas bahwa dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan Mongol, pemimpin besar Ciu Goan Ciang membuktikan bahwa dialah seorang pemimpin yang pandai dan hanya dia yang akan dapat memimpin rakyat dan memajukan negara yang baru saja terbebas dari belenggu penjajahan. Andaikata bukan Ciu Goan Ciang yang dalam perjuangan dapat menyatukan semua unsur kekuatan rakyat, mana perjuangan melawan Mongol bisa tercapai?”

Tan Hok berhenti sebentar untuk meredakan gelora dalam dadanya, lalu disambungnya perlahan dan tenang,

“Bahaya yang mengancam keadaan negara masih belum lenyap. Bangsa Mongol yang melarikan diri keutara setiap waktu tentu hendak mencoba merampas kembali tanah jajahannya. Belum lagi bangsa-bangsa lain yang hendak mengambil keuntungan dari keadaan kacau-balau sehabis perang. Kita semua membutuhkan bimbingan seorang yang kuat lahir batin, sedangkan perjuangan membuktikan bahwa hanya Ciu Goan Ciang yang mempunyai kemampuan untuk tugas berat itu. Pengangkatan dirinya sebagai Kaisar sudah disetujui oleh semua pemimpin para pejuang.” Kembali ia berhenti.

Akan tetapi Beng San mengemukakan pendapatnya.
“Mengapa kalau begitu, masih banyak orang merasa kurang puas dan menganggap dia kurang adil karena tidak memberi kedudukan kepada para bekas pejuang?”

“Memang kalau menurutkan pendapat setiap orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, di dunia ini tidak akan pernah ada keadilan. Mana bisa timbul keadilan kalau semua orang menghendaki bahwa yang enak-enak dan yang baik-baik itu seyogianya diberikan kepadanya saja? Soal kedudukan bukanlah hal semudah orang bicarakan. Tentu saja Kaisar harus memilih orang dengan hati-hati untuk didudukkan atas suatu pangkat, disesuaikan dengan kecakapan orang itu. Bagaimana nanti jadinya kalau seorang bekas kepala perampok diangkat menjadi menteri yang mengurus kekayaan negara? Bagaimana akan jadinya kalau seorang yang hampir tak pandai menulis diangkat menjadi menteri kebudayaan? Seorang yang buta akan urusan pemerintah diangkat menjadi menteri urusan negara? Tentu akan menjadi makin kacau kalau hal-hal semacam itu dilakukan hanya untuk memenuhi pamrih bekas-bekas pejuang yang menganggap diri sendiri paling berjasa itu.” Kembali Tan Hok bicara penuh semangat.

“Kalau begitu, menurut anggapan Twako, Kaisar Thai Cu atau bekas pejuang Ciu Goan Ciang itu adalah seorang yang sempurna dan semua rakyat harus saja mentaati apa yang ia kehendaki?”

Tan Hok tertawa.
“Adikku. Tidak ada seorang manusia yang sempurna sama sekali di dunia ini! Para dewa sekalipun masih belum sempurna karena masih tak luput dari kesalahan. Tentu saja Kaisar tidak terkecuali. Aku takkan membantah kalau ada orang yang dapat mengemukakan kesalahan-kesalahan, cacad-cacad atau kekurangan-kekurangan Kaisar. Setiap manusia sudah pasti mempunyai kekurangan-kekurangan dan cacad-cacadnya, Akan tetapi dalam hal kenegaraan, adalah keliru kalau menilai kedudukan seseorang dari tabiat pribadinya. Seharusnya dilihat pelaksanaan dari tugasnya, hasil dari pekerjaannya, dan kemampuan dari dirinya. Kiraku tidak ada orang yang lebih pandai dan lebih bijaksana dan lebih tepat untuk menduduki singgasana daripada Kaisar yang sekarang ini. Oleh karena mengingat bahwa dia adalah pusat dari kekuatan kerajaan yang baru, pusat dari pemerintahan sesudah kaum penjajah jatuh, maka sudah seharusnyalah kalau kita mendukung dan membantunya. Bukan semata-mata membela pribadi Ciu Goan Ciang yang sekarang sudah menjadi Kaisar Thai Cu, melainkan mendukung dan membela pemimpin dari bangsa kita. Kalau tidak kita bela, lalu pimpinan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak bijaksana, tidak mampu, apalagi yang jahat seperti bekas-bekas kepala rampok macam Ho-hai Sam-ong, ah, akan bagaimanakah jadinya dengan negara kita?”

Setelah mendengarkan penjelasan dan penuturan Tan Hok secara panjang lebar, akhirnya Tan Beng San menyatakan suka ikut dan membantu Tan Hok untuk menggempur dan menghalau para pemberontak yang hendak mendatangkan kekacauan itu.

Hal ini bukan semata-mata karena bangkitnya semangat oleh uraian Tan Hok, melainkan untuk melupakan atau menghibur kehancuran hatinya. Ia merasa malu untuk pulang ke Min-san, untuk berhadapan muka dengan Bi Goat, isterinya yang tercinta itu.

Memang kadang-kadang hatinya penuh rindu, perasaannya hancur kalau ia teringat betapa Bi Goat sudah mengandung ketika ia tinggalkan ke Hoa-san. Sudah mengandung beberapa bulan. Inilah sebabnya mengapa ia melarang ketika Bi Goat menyatakan keinginan hatinya hendak ikut pergi dengan suaminya itu ke Hoa-san.

**** 032 ****





No comments:

Post a Comment