Ads

Friday, November 9, 2018

Rajawali Emas Jilid 030

“Li Cu, kau hendak mengkhianati suhengmu sendiri?” Beng Kui membentak marah sekali.

“Aku tidak punya suheng macammu!” Li Cu berteriak kembali sambil terus memberi petunjuk-petunjuk.

Sekarang Beng San tidak terdesak lagi. Ia tidak begitu menguatirkan penyerangan Beng Kui setelah mendapat penjelasan dari Li Cu, malah sebelum penyerangan datang ia sudah tahu lebih dulu kemana serangan musuh akan dilancarkan. Oleh karena ini, perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada empat orang lawannya yang lain.

Begitu mendapat kesempatan, gagang kipasnya berhasil menotok roboh Kim-thouw Thian-li yang tepat tertotok jalan darah di pundaknya, kemudian sebuah tendangan kilat berhasil merobohkan Oh Tojin yang terlempar sampai tiga meter dan tidak mampu bangun kembali karena tulang lututnya patah! Tosu yang terlepas sambungan tulang pundak dan patah tulang lututnya itu hanya mengeluh dan menangis seperti anak kecil.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Ho-hai Sam-ong segera menyerbu lagi. Beng San juga sudah lelah, terutama sekali darah yang mengucur dari pundaknya mulai mengering dan mendatangkan rasa nyeri dan perih. Akan tetapi ia mengamuk terus dengan nekat karena robohnya dua orang itu malah mendatangkan tambahan tiga tenaga lagi, yaitu Ho-hai Sam-ong yang malah lebih lihai.

Sementara itu, melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi pihaknya, padahal tadinya sudah berhasil baik sekali, Beng Kui menjadi marah. Semua gara-gara Li Cu yang sengaja memecahkan jurus-jurusnya dan membantu Beng San.

Beng Kui adalah seorang pemuda yang mempunyai ambisi (cita-cita) besar sekali. Dahulu di masa perjuangan, Ia rela berkorban apa saja untuk mencapai cita-citanya, yaitu menduduki tempat yang tinggal dalam pemerintahan baru. Siapa kira, kedudukan tinggi itu tidak bisa ia dapatkan karena ia kurang mendapat penghargaan dari Ciu Goan Ciang. Oleh karena ini ia terpaksa bersekutu dengan Raja Muda Lu, menjadi mantunya dan hendak mengadakan pemberontakan. Inipun dldasari ambisinya yang besar.

Dan yang paling ia benci adalah orang yang hendak menghalang-halangi ambisinya ini, atau yang hendak mempersukar perjalanan kearah tercapainya cita-citanya. Ia menganggap Beng San seorang yang demikian itu, maka ia tidak ragu-ragu untuk mencoba membinasakannya.

Sekarang melihat sikap Li Cu, timbul marahnya. Sekali meloncat ketika mendapat kesempatan, Ia sudah berada di dekat kursi yang diduduki Li Cu. Pedangnya berkelebat dan Li Cu sudah meramkan mata menerima kematian. Akan tetapi melihat wajah Li Cu yang cantik jelita, agaknya timbul kembali cinta dan nafsunya. Beng Kui tidak jadi membunuh Li Cu, melainkan gadis ini malah ia lepaskan dari kursi, kemudian ia pondong dan ia bawa lari keluar dari tempat itu!

Bukan main kagetnya hati Li Cu. Tadi ketika ia melihat Beng Kui menghampirinya dengan pedang diangkat, ia hanya meramkan mata menanti maut tanpa mengeluarkan suara, sedikitpun tidak gentar. Akan tetapi sekarang merasa dirinya dipondong pergi dalam keadaan masih terbelenggu, wajahnya berubah pucat sekali dan jantungnya berdebar-debar ketakutan.

“Beng San… tolong….!!” teriaknya berulang-ulang dengan sekuat tenaga jeritnya.

Beng San bukanlah seorang pemuda yang suka berkelahi atau suka menang. Iapun tidak suka menaruh hati dendam. Maka begitu mendengar jerit suara Li Cu, ia cepat menengok. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Li Cu dipondong oleh Beng Kui dan dibawa lari.

Kedatangannya di tempat itu sama sekali bukan untuk bertanding dengan Ho-hai Sam-ong dengan Hek-hwa Kui-bo atau dengan yang lain-lain. Kedatangannya khusus untuk menolong Li Cu. Sekarang Li Cu dibawa lari oleh Beng Kui dan hal ini terang sekali terjadi di luar kehendak Li Cu yang menjerit-jerit minta tolong kepadanya.

Bagaimana ia bisa tinggal diam saja? Sekali ia menggerakkan tangan dan kaki, ia telah memukul runtuh pedang dari tangan Hek-hwa Kui-bo, kemudian tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat untuk mengejar Beng Kui.

Matanya terasa sakit ketika dari ruangan yang terang itu ia kini tiba di luar rumah yang amat gelap. Tidak kelihatan bayangan Beng Kui, tapi ia melihat beberapa orang penjaga dengan tombak di tangan menjaga tempat itu. Bagaikan seekor burung saja Beng San melayang dan setelah dekat, sekaligus ia menotok roboh dua orang penjaga dan mengempit seorang diantaranya dibawa pergi ke tempat gelap. Gegerlah para penjaga ketika melihat seorang kawan roboh dan yang seorang lagi lenyap tak berbekas.

“Katakan kemana perginya Tan Beng Kui ciangkun yang membawa wanita tawanan tadi!”

Dengan suara ditekan Beng San memaksa tawanannya sambil meraba jalan darah yang menimbulkan rasa nyeri tak tertahankan. Penjaga itu meringis-ringis, lalu dengan suara terputus-putus memberitahukan bahwa orang yang dimaksudkan itu telah pergi menunggang seekor kuda menuju ke arah selatan.





Beng San melepaskan korbannya dan cepat ia berlari-lari dalam gelap mengejar ke selatan. Ia maklum bahwa kakak kandungnya itu tentulah bertempat tinggal di Nan King, di kota raja yang baru bersama ayah mertuanya, raja muda she Lu itu. Maka ia mengambil jalan ini dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian ginkangnya untuk berlari cepat, tanpa mempedulikan tubuhnya yang amat lelah dan darah segar yang mengucur keluar lagi dari luka di pundaknya karena gerakah-gerakannya ini.

Usahanya mati-matian ini ternyata tidak sia-sia. Menjelang pagi ia sudah mendengar suara kaki kuda di sebelah depan, mulai memasuki hutan terakhir dalam perjalanan jauh ke kota raja itu. Hatinya masih ragu-ragu. Betulkah suara kaki kuda itu adalah kuda yang ditunggangi oleh Beng Kui? Tiba-tiba semangatnya bangkit ketika lapat-lapat ia mendengar jeritan.

“Beng San….!l”

Dipercepatnya larinya dan tak lama kemudian benar saja ia melihat Beng Kui membalapkan kudanya sambil memangku Li Cu yang masih tak berdaya karena terbelenggu kaki tangannya. Sambil meringankan kakinya sehingga tidak terdengar suara larinya, Beng San makin mendekati dan akhirnya ia mendengar suara Beng Kui mentertawakan, bahkan menghina.

“Li Cu, kau sekarang tergila-gila kepada Beng San? Heh-heh, benar-benar lucu. Tadinya kau marah-marah melihat aku kawin dengan puteri Raja Muda Lu dengan dasar politik, karena aku ingin merebut kedudukan tinggi kelak. Tapi cintaku masih kepada dirimu, Li Cu. Kalau kelak aku menjadi kaisar, atau setidaknya menjadi raja muda, apa salahnya kalau aku beristeri dua? Kau tetap akan menjadi isteriku yang tercinta. Kenapa kau tidak sabar dan tidak mau mengerti, lalu marah-marah? Kenapa kau sekarang malah kelihatan lebih mencinta adikku yang gila itu?”

“Dia seribu kali lebih baik dari padamu, kau laki-laki palsu, kau pengkhianat, awas kau Ayah pasti akan membalaskan sakit hatiku!” Li Cu berteriak-teriak.

Beng Kui tertawa mengejek,
“Kau bilang Beng San lebih baik daripadaku? Ha-ha, Li Cu, kau tidak mengerti. Dia itu seorang iblis pengrusak wanita. Tak tahukah kau betapa murid Hoa-san-pai yang bernama Kwa Hong itu telah dirusaknya, kemudian ditinggalkannya pergi, malah dia menikah dengan anak seorang penjahat yang terkenal Song-bun-kwi? Tentang ayahmu… hemm, suhu tentu akan memaklumi pendirianku….”

Tiba-tiba suaranya berhenti karena pada saat itu kuda yang ditungganginya terjungkal sehingga dua orang itu terlempar dari atas punggung kuda! Beng Kui terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil mencabut sepasang pedangnya, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan Beng San!

“Kau… lagi….?? Seperti iblis saja kau, kenapa selalu mengikuti aku?” teriak Beng Kui marah.

Beng San tersenyum mengejek.
“Bukan aku yang mengikuti kau, tapi kejahatanmu yang memaksa aku datang. Tidak boleh kau menculik seorang gadis, biarpun dia itu sumoimu sendiri.”

Sambil berkata demikian, Beng San lalu melangkahkan kaki menghampiri Li Cu yang rebah diatas tanah. Ketika terjatuh dari punggung kuda tadi, gadis ini masih dalam keadaan terbelenggu, maka jatuhnya lebih parah dan pakaiannya sampai robek-robek. Ia benar-benar dalam keadaan setengah pingsan, akan tetapi cukup sadar untuk dapat menangkap percakapan antara kakak beradik itu.

Selagi Beng San melangkah menghampiri Li Cu, Beng Kui yang sudah tak kuat menahan kemarahannya itu serentak menerjang dari belakang, menggerakkan sepasang pedang Liong-cu-kiam secepat kilat.

“Awas… Beng San… belakang….!”

Li Cu yang melihat ini menjerit. Akan tetapi gerakan Beng San malah mendahului jeritannya, karena pemuda ini sudah membalik, kedua tangannya bergerak, kakinya bergeser dengah langkah-langkah aneh. Secara otomatis tubuhnya menyelinap diantara sambaran dua pedang, tahu-tahu kedua tangannya sudah “memasuki” celah-celah pedang dan mendorong kearah sepasang pundak lawan.

Terdengar Beng Kui mengeluh sebelum tangan Beng San menyentuh pundaknya, sepasang pedangnya hampir terlepas dan di lain saat kedua pedang itu sudah berpindah ke tangan Beng San!

Hebat sekali gerakan ini dan dari kedua tangan Beng San itu samar-samar tampak mengebulnya uap putih. Inilah sebuah gerakan dari ilmu silat mujijat yang dahulu di jamannya Pendekar Sakti Bu Pun Su disebut Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih)! Karena kemahirannya dalam Im-yang-sin-kun, otomatis Beng San dapat mewarisi sebuah gerakan dari ilmu itu dan ternyata hasilnya hebat luar biasa.

Beng Kui memandang dengan muka pucat dan mata melotot. Beng San untuk sesaat juga memandang dengan muka marah dan mata berkilat, tapi ia lalu menyerahkan pedang yang panjang itu kembali sambil berkata,

“Aku sudah berjanji meminjamkan Liong-cu-kiam sepasang ini kepada kau dan Nona Cia Li Cu selama tiga tahun. Janji itu tetap berlaku. Tiga tahun setelah janjiku aku pasti akan mengambil kembali Liong-cu-kiam jantan ini dari tanganmu.”

Masih tertegun oleh kehebatan adik kandungnya yang secara mujijat dapat merampas sepasang pedangnya, Beng Kui mengeluarkan tangan menerima pedangnya kembali, kemudian setelah memandang, dengan mata melotot beberapa saat lamanya, ia menoleh ke arah Li Cu sejenak lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Beng San menarik napas panjang, menghampiri Li Cu, dan sekali pedang Liong-cu-kiam pendek itu bergerak di tangannya, kilat menyambar dan sekaligus belenggu yang mengikat kaki dan tangan Li Cu putus semua tanpa terasa sedikitpun oleh gadis itu, Li Cu meloncat bangun, mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang.

Baiknya Beng San cepat mengejarnya dan menyambar pundaknya. Alangkah kagetnya ketika pemuda ini melihat Li Cu sudah meramkan mata, tak ingat orang lagi, pingsan dalam pelukannya.

Beng San bingung. Ia meraba pergelangan lengan gadis itu dan maklumlah ia bahwa gadis ini tidak apa-apa. Hanya karena banyak mengalami ketegangan, kemarahan dan kekuatiran, ditambah lagi terlalu lama tadinya ia tertotok dan terbelenggu, maka begitu ia dibebaskan, dalam batin dan pikirannya terjadi pukulan yang tak kuat ia menahannya sehingga membuatnya pingsan.

Terpaksa Beng San memondongnya dan membawanya berlari keluar dari hutan itu. Ia merasa kuatir kalau-kalau Beng Kui akan datang bersama kawan-kawannya. Akan payah juga kalau ia dikeroyok lagi orang-orang pandai sementara Li Cu masih pingsan. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Belum juga ia berlari, ia melihat kuda yang tadi ditunggangi Beng Kui, sekarang sudah sembuh dan sedang makan rumput. Memang tadi ketika merobohkan kuda itu, Beng San tidak mempergunakan serangan mematikan, melainkan menotok dengan lemparan kerikil ke arah lutut kuda sehingga kuda itu terjungkal saja.

Dengan girang kini Beng San menghampiri kuda yang masih lengkap dengan pelana dan kendali itu, lalu ia melompat ke atasnya sambil merangkul Li Cu. Dengan perlahan ia lalu menjalankan kudanya kearah utara.

Matahari telah naik tinggi ketika kuda yang ditunggangi Beng San sampai di tepi Sungai Huang-ho sebelah barat, Beng San membelokkan kudanya ke barat, menyusur sepanjang pantai sungai memasuki sebuah hutan yang segar kehijauan dan teduh.

Hari itu panasnya bukan kepalang. Kudanya biarpun tidak dibalapkan telah berpeluh dan napasnya terengah-engah. Beng San merasa kasihan dan menghentikan kuda itu dibawah sebatang pohon besar dimana air Sungai Huang-ho tampak kehijauan indah.

Li Cu baru saja siuman dari pingsannya. Gadis ini merasa pening sekali, matanya berputar-putar. Mulai membuka sedikit kedua matanya, kembali karena sinar matahari yang menerobos dari celah-celah daun memasuki matanya. Lalu ia teringat betapa indahnya daun-daun pohon diatas tadi, maka dibukanya kembah matanya. Memang indah!

Daun-daun pohon yang kecil dengan bentuk sempurna ditimpa matahari, bersusun-susun rnenimbulkan warna hijau yang dihias sinar kuning emas dan kehitaman bayangan. Bagaikan benang-benang sutera kuning emas sinar matahari meluncur turun diantara celah-celah daun, kadang-kadang berubah kedudukan karena daun-daun itu bergerak oleh angin.






No comments:

Post a Comment