Ads

Wednesday, November 7, 2018

Rajawali Emas Jilid 021

Pedang Liong-Cu-kiam terlibat oleh saputangan itu, tak dapat ditarik kembali sedangkan pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo secara tiba-tiba sekali menyambar dari kanan kekiri menyerimpung sepasang kaki Li Cu. Kalau terkena sambaran ini, kiranya kedua kaki Li Cu sebatas lutut akan menjadi buntung.

Pedang di tangan Li Cu masih terlibat saputangan sedangkan sekarang lawannya menyerangnya dengan pedang, sungguh keadaan yang amat sulit. Namun, gadis ini biarpun masih muda belia, kepandaiannya sudah hebat sekali.

Melihat gerakan lawan sebelum pedang bergerak ia sudah tahu bahwa ia akan diserang bagian kakinya. Li Cu maklum bahwa dalam menggerakkan pedang menyerangnya, tentu tenaga tangan kiri Hek-hwa Kui-bo yang memegang saputangan itu berkurang, maka ia mengerahkan tenaga dikumpulkan di tangan kanan, dan pada saat pedang lawan menyambar ke arah kedua lututnya, gadis perkasa ini mengenjot kakinya meloncat keatas sambil membetot pedangnya. Gerakan ini selain cepat tidak terduga, juga amat kuatnya.

“Brettt!”

Saputangan yang melibat pedang itu terputus menjadi dua dan kedua kaki Li Cu selamat terluput dari pada ancaman pedang yang ganas tadi!

“Kurang ajar, kau merusak saputanganku?”

Hek-hwa Kui-bo membentak marah akan tetapi Li Cu tidak memberi kesempatan lagi kepadanya. Gadis ini segera mengerahkan ginkangnya dan melakukan serangan bertubi-tubi mengandalkan kegesitan dan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut.

Pedang tunggal di tangannya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang, sinarnya berkeredepan dan bergulung-gulung mengeroyok Hek-hwa Kui-bo. Nenek ini juga marah sekali, biarpun saputangannya tinggal sepotong, namun tidak dibuangnya dan masih ia pergunakan untuk membantu pedangnya melakukan serangan-serangan balasan.

Tiba-tiba Li Cu terkejut mendengar keluhan Thio Ki dan melihat orang muda itu terhuyung-huyung. Ternyata ia telah kena dihantam dadanya oleh suling di tangan Giam Kin sehingga pedang yang dipegangnya terlepas dan ia terhuyung-huyung ke belakang. Sambil tertawa-tawa Giam Kin menendang lututnya maka robohlah Thio Ki.

“Bunuh dia, bikin mampus saja!” seru Kim-thouw Thian-li girang, Giam Kin masih tertawa-tawa ketika ia meloncat maju dan menusukkan sulingnya ke arah kepala Thio Ki.

Pasti akan berlubang kepala orang muda itu kalau terkena tusukan ini. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih diikuti bayangan merah.

“Trangggg!”

Ujung suling Giam Kin patah terbabat pedang Liong-cu-kiam yang tadi cepat digerakkan oleh Li Cu dalam usahanya menolong nyawa Thio Ki! Giam Kin terkejut dan meloncat mundur dan segera Hek-hwa Kui-bo yang tadi ditinggalkan Li Cu sudah mengejar pula lalu saling serang dengan gadis perkasa itu.

Thio Ki yang sudah terluka parah tubuhnya bergulingan di atas genteng, terus terguling kebawah dan baiknya tidak sampai terjatuh dari atas, melainkan terhenti oleh wuwungan sebelah bawah.

“Enci Kim Li, jangan kau bunuh Si Manis itu!, biar kau berikan kepadaku…ha-ha-ha!”

Giam Kin tertawa-tawa untuk menutupi malu dan kagetnya ketika sulingnya terbabat ujungnya oleh Li Cu tadi. Mendengar ini, Li Cu gelisah sekali, apalagi ketika ia mengerling, ia melihat betapa sucinya sekarang dikeroyok dua, payah sekali keadaannya.

Memang demikianlah. Menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang saja sudah berat sekali bagi Lee Giok, sungguhpun ia selama itu masih dapat melindungi diri dan mempertahankan, namun sama sekali ia sudah tidak mampu untuk balas menyerang.

Sekarang melihat suaminya terluka dan roboh, hatinya makin risau dan bingung, apalagi setelah Giam Kin maju mengeroyoknya sambil nyengar nyengir dan mengeluarkan kata-kata memuakkan.

“Trangg… tranggg…..!!”

Pedang di tangan Lee Giok terlepas dan jatuh ke atas genteng dengan bunyi berisik ketika pedang itu digempur dari kanan kiri oleh golok Kim-thouw thian-li dan suling buntung Giam Kin. Nyonya muda itu kini sudah tidak bersenjata lagi!





“Ha-ha, Enci Kim Li, kurasa lebih baik kau membantu gurumu mengalahkan bidadari Thai-san itu, biarlah janda muda ini aku yang melayaninya….”

Kim-thouw Thian-li memang sudah menguatirkan gurunya maka ia lalu meloncat dan mengeroyok Li Cu. Adapun Lee Giok dengan muka merah dan dada panas hampir terbakar menghadapi Giam Kin. Suaminya terluka dan kini ia dihina, disebut janda muda. Hati siapa takkan sakit?

“Manusia berwatak iblis! Binatang, hari ini aku Lee Giok akan mengadu nyawa denganmu!” teriak Lee Giok yang cepat menubruk maju sambil menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah ulu hati lawan disusul tendangan yang ditujukan kepada pusar.

Kedua serangan susul menyusul ini merupakan serangan maut yang nekat karena dengan melakukannya, Lee Giok sebetulnya juga telah “membuka” beberapa bagian tubuhnya tidak terlindung lagi. Namun dia sudah tidak peduli lagi karena saking marah dan putus asanya, nyonya muda ini betul-betul sudah berlaku nekat dan ingin membunuh lawannya.

Namun sayang sekali bagi Lee Giok, lawannya terlampau kuat baginya. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam Kin, murid tunggal dari Siauw-ong-kwi tokoh pertama dari utara itu.

Dengan tertawa mengejek Giam Kin menangkap pergelangan tangan Lee Giok yang memukul sambil menggeser kaki mengelakkan tendangan, kemudian sebelum nyonya muda itu sempat meronta, Giam Kin telah menotok jalan darahnya membuat ia tak dapat berkutik lagi.

“Ha-ha-ha, Enci Kim Li dan Hek-hwa Locianpwe, aku akan pergi lebih dahulu saja….!” katanya sambil memondong tubuh Lee Giok dan membawanya lari pergi dari tempat itu!

“Bangsat Giam Kin, lepaskan suciku!” bentak Cia Li Cu marah sekali melihat Lee Giok hendak diculik, akan tetapi Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menghadangnya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan pengejaran kepada Giam Kin.

Bukan main marahnya Li Cu ketika melihat betapa Giam Kin telah menghilang di dalam gelap membawa pergi Lee Giok. Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa kerena dia sendiri sedang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li.

Ternyata bahwa selama ini Kim-thouw Thian-li telah menerima latihan-latihan dari gurunya sehingga kepandaiannya sudah meningkat cepat. Maka agak repot juga Li Cu dikeroyok dua oleh guru dan murid ini.

“Lepaskan Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Kembang)!” tiba-tiba Hek-hwa Kui-bo berseru kepada muridnya.

Dua orang guru dan murid itu gemas juga ketika menghadapi kenyataan bahwa biarpun mereka mengeroyok, tetap saja ilmu pedang yang dimainkan Cia Li Cu tak dapat mereka gempur dan pecahkan, maka sekarang tiba-tiba mereka menggerakkan tangan kiri berulang-ulang.

Li Cu kaget sekali. Gadis ini cukup maklum akan bahayanya senjata rahasia yang keji dari dua orang lawannya ini. Ia maklum bahwa Kim-thouw Thian-li sudah amat terkenal dengan racun kembang yang menjadi keistimewaan Ngo-lian-kauw. Maka iapun segera menutar pedangnya dengan gerakan yang disebut Sian-li-thouw-so (Sang Dewi Menenun), Runtuhlah belasan batang jarum halus yang dilepas oleh dua orang lawannya itu.

Akan tetapi sekarang kedudukan Li Cu lemah sekali karena ia harus menghadapi serangan dan desakan dua orang lawannya itu sambil menjaga kalau-kalau ada pelepasan senjata rahasia lagi. Ia mulai terdesak dan mulai mundur!

Pada saat yang amat berbahaya bagi diri Li Cu itu, tiba-tiba dari bawah berkelebat bayangan orang. Gerakannya demikian ringan seperti seekor burung terbang saja dan begitu tiba diatas genteng, orang ini berseru,

“Kim-thouw Thian-li dan gurunya, dimana-mana mengacau saja!”

Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang datang ini, akan tetapi Cia Li Cu biarpun selama hidupnya baru dua kali bertemu dengan orang ini, masih mengenal suara dan diam-diam ia menjadi girang sekali.

Wajahnya tiba-tiba berubah merah dan dadanya berdebar, akan tetapi ia tidak mau mengeluarkan suara apa-apa melainkan terus mendesak dua orang lawannya seakan-akan tidak tahu akan datangnya bala bantuan.

Hek-hwa Kui-bo marah sekali karena tadinya dia dan muridnya sudah mulai mendesak hebat kepada Li Cu. Datangnya orang ini merupakan gangguan, maka cepat ia mengggerakan pedangnya membacok kepala orang yang baru datang sedangkan saputangannya yang tinggal sepotong itupun diarahkan ke arah perut orang.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika saputangan potongnya hanya mengenai angin dan tiba-tiba saputangannya terbetot oleh orang itu dan terlepas dari pegangannya! Dengan tangan kosong orang itu dapat merampas saputangannya dan menghindarkan serangan pedangnya!

“Siapa kau?” bentaknya marah.

“Hek-hwa Locianpwe, lupakah kau kepadaku? Aku tidak saja belum lupa kepada Locianpwe, malah tiga macam ilmu Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee yang kau ajarkan dulupun masih teringat baik olehku!”

Bukan main kagetnya Hek-hwa Kui-bo. Sekarang ia mengenal laki-laki muda ini.
“Beng san… Kau….? Kim Li, hayo kita pergi”

Hek-hwa Kui-bo menarik tangan muridnya dan dua orang wanita itu maloncat lenyap di malam gelap.

Mengapa Hek-hwa Kui-bo nampaknya begitu takut kepada orang muda yang ternyata adalah Tan Beng San itu? Sebetulnya, Hek-hwa Kui-bo sudah mengenal Beng San semenjak jago pedang ini masih kecil. Dalam cerita Raja Pedang sudah diceritakan dengan jelas betapa di waktu kecilnya saja Beng San sudah “menerima kebaikan” dari Hek-hwa Kui-bo, yaitu diberi latihan Thai-hwee (Api Besar), Siu-hwee (Simpan Api) dan Ci-hwe (Keluarkan api), padahal tiga macam ilmu diberikan sebetulnya dengan niat mencelakakan Beng San yang pada waktu itu tubuhnya sudah penuh dengan tenaga Yang-kang sehingga ilmu ini bisa menewaskannya.

Kemudian setelah Beng San dewasa dan memiliki ilmu tinggi, Hek-hwa Kui-bo sudah pula melihat kepandaiannya ketika diadakan pertemuan memperebutkan gelar Raja pedang di Puncak Thai-san. Maka, kedatangan pemuda yang memiliki ilmu tinggi ini tentu saja membuat ia maklum bahwa melawan terus takkan ada gunanya sehingga ia segera mengajak muridnya lari saja.

Cia Li Cu baru dua kali selama hidupnya bertemu dengan adik dari suhengnya ini, yaitu adik dari Tang Beng Kui. Akan tetapi dalam dua kali pertemuan itu ia mendapat kesan hebat akan diri Beng San, maka ketika tadi ia mengenal suaranya, hatinya menjadi girang sekali.

Anehnya, entah mengapa, ia merasa malu juga bertemu dengan Beng San. Hal ini mungkin sekali karena ayahnya pernah menyatakan bahwa Beng San adalah “lebih baik” daripada Beng Kui yang menjadi tunangannya, atau mungkin ia merasa malu karena Beng San adalah adik Beng Kui.

Entahlah, sesungguhnya bagaimana ia sendiri tidak tahu sebabnya. Pokoknya ia merasa malu bertemu dengan Beng San. Maka melihat dua orang lawannya kabur, Li Cu segera mengejar. Bukan hanya karena tidak ingin bertemu lama-lama dengan Beng San, akan tetapi terutama sekali karena ia hendak menolong sucinya, Lee Giok yang sudah terculik oleh Giam Kin.

Orang muda yang baru datang dan dalam segebrakan saja sudah dapat mengusir orang-orang yang memusuhi keluarga Thio Ki itu, memang benar adalah Beng San Si Raja Pedang.

Seperti kita ketahui, orang muda ini dari Hoa-san-pai melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Sin-yang untuk mencari Thio Ki dan memberitahukan tentang keadaan Hoa-san-pai yang dirusak oleh Kwa Hong. Hati orang muda ini masih perih dan bukan main sedihnya setelah pertemuannya yang mengharukan dengan Kwa Hong di Hoa-san-pai itu.

Pedih dan sakit rasa hatinya kalau ia teringat betapa perbuatannya dengan Kwa Hong dahulu itu telah mengakibatkan terjadinya hal-hal yang demikian hebatnya. Kwa Hong telah mengandung dan hati wanita itu rusak binasa, membuatnya seperti gila dan berubah menjadi manusia yang ganas karena kepatahan hatinya. Dan semua itu karena dia!

Beng San melakukan perjalanan siang malam, maka ketika ia tiba di Sin-yang pada waktu malam, ia tidak berhenti dan langsung ia mencari rumah Thio Ki dan mengunjunginya.






No comments:

Post a Comment