Ads

Sunday, November 4, 2018

Rajawali Emas Jilid 020

Akan tetapi ular-ular itu masih saja membanjir masuk, malah kini merayap dari celah-celah jendela dan pintu belakang, dan baunya yang amat amis tak kuat tertahankan oleh tiga orang muda itu lebih lama lagi.

“Keluar melalui jendela terus ke atas genteng….!” kata Li Cu mendahului melompat ke jendela.

Sekali tendang jendea terbentang lebar, pedangnya berkeredepan diputar di depan tubuh ketika tubuhnya melayang keluar, tangan kiri menyambar langkan lalu tubuhnya diayun terus keatas kearah genteng.

Perbuatannnya ini disusul oleh Lee Giok dan Thio Ki. Baiknya Li Cu yang berada di depan karena segera tampak sinar hijau dan putih menyambar ke arah mereka. Namun sinar-sinar senjata rahasia ini dapat ditangkis runtuh semua oleh pedang di tangan Li Cu!

Ketika mereka tiba diatas genteng dalam keadaan selamat, ternyata disitu telah berdiri dua orang wanita dan seorang laki-laki menghadapi mereka sambil tertawa mengejek. Tepat seperti yang diduga oleh Lee Giok, dua orang wanita itu bukan lain adalah Ngo-lian-kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li bersama gurunya, Hek-hwa Kui-bo.

Kim-thouw Thian-li yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih nampak cantik jelita seperti gadis remaja saja, sikapnya genit dan angkuh. Ini masih tidak aneh, malah gurunya, Hek-hwa Kui-bo yang usianya sudah enam puluhan tahun, masih nampak cantik, memegang saputangan sutera beraneka warna!

Adapun laki-laki itu adalah seorang pemuda ganteng, mukanya pucat, pakaiannya serba kuning dan di tangannya terdapat sebatang suling. Pembaca Raja Pedang tentu mengenal siapa orang ini. Bukan lain adalah Giam Kin yang berjuluk Siauw-coa-ong (Raja Ular Kecil), murid iblis dari utara Siauw-ong-kwi.

Selain berilmu tinggi, Giam Kin ini juga memiliki kepandaian hebat, yaitu dengan sulingnya ia dapat memanggil ratusan ekor ular yang dapat ia perintah untuk menyerang musuhnya. Juga ia pandai sekali dalam hal penggunaan racun ular yang berbahaya.

“Eh, kiranya ada Thai-san Sian-li disini!” kata Kim-thouw Thian-li. “Pantas saja tuan dan nyonya rumah begini tabah!”

Giam Kin memandang dengan mata melongo, penuh kekaguman kepada wajah yang disinari bulan yang sudah muncul sepenuhnya di langit, kemudian ia berseru sambil menarik napas panjang berkali-kali,

“Aduh… aduh… bidadari baju merah dari Thai-san… hemmm, makin cantik jelita saja. Bidadari kahyangan tidak menang….!” Kemudian ia menoleh kepada Hek-hwa Kui-bo. “Locianpwe, kalau kali ini dapat menangkapkan bidadari merah ini untukku, aku berjanji akan menyembah seratus kali kepadamu.”

Hek-hwa Kui-bo mengibaskan tangannya.
“Huh, laki-laki mata keranjang benar kau ini!”

Tentu saja hati Li Cu mendongkol bukan main mendengar omongan-omongan kotor itu. Akan tetapi ia memandang rendah kepada Giam Kin dan Kim-thouw Thian-li, maka ia tidak pedulikan mereka dan langsung ia menghadapi Hek-hwa Kui-bo sambil menudingkan jarinya.

“Hek-hwa Kui-bo, kau tergolong tingkatan tua yang sudah mendapat nama besar sebagai tokoh utama dari selatan. Kenapa kau melakukan tindakan yang amat rendah, mengancam enciku dan suaminya dan sekarang datang membawa dua orang manusia hina dina ini?”

Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek lalu berkata, suaranya mengandung sikap memandang rendah,

“Kau bocah masih ingusan berani bicara begini kepadaku. Ayahmu sendiri kiranya tidak sekurang ajar engkau! Muridku masih teringat akan permusuhan lama, bersama Giam-kongcu hendak membikin perhitungan dan pelunasan hutang-hutang lama. Aku hanya menonton kalau-kalau ada bocah ingusan lancang dan ikut-ikut campur!”

“Siluman betina tua bangka! Kau dan antek-antekmu hendak menghina Suci dan cihuku? Hemmm, selama disini masih ada Cia Li Cu, jangan harap kalian akan dapat berlaku sewenang-wenang!” bentak Li Cu sambil melintangkan pedangnya.

“Locianpwe, kenapa layani dia bicara? Pegang saja, ringkus dan berikan kepadaku habis perkara!” kata pula Giam Kin sambil tersenyum-senyum dan matanya yang sipit itu memandang kepada Li Cu dengan kurang ajar.





“Giam-ko, daripada banyak cerewet lebih baik turun tangan. Kau bereskan yang laki-laki, biar aku mampuskan budak she Lee ini!” kata Kim-thouw Thian-li yang tidak suka melihat Giam Kin tergila-gila kepada Li Cu. Giam Kin tertawa mengejek ketika ia mendekati Thio Ki.

Suami isteri ini maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi mereka tidak takut dan dengan kemarahan meluap mereka lalu menerjang maju, Thio Ki menyerang Giam Kin sedangkan Lee Giok memutar pedang menyerang Kim-thouw Thian-li. Juga Cia Li Cu yang maklum bahwa menghadapi tiga orang jahat itu tidak perlu banyak bicara lagi, lalu menggerakkan pedang di tangannya menerjang Hek-hwa Kui-bo.

Sambil tertawa-tawa Giam Kin menyambut serangan Thio Ki. Si Raja Ular Kecil ini memang amat tinggi kepandaiannya. Serangan pedang dari Thio Ki ia hadapi dengan permainan suling ularnya yang aneh gerakan-gerakannya. Tenaga Iwee-kangnya jauh lebih kuat daripada Thio Ki sehingga setiap kali pedang bertemu suling, tangan Thio Ki tergetar dan pedangnya hampir terlepas.

Namun Thio Ki bermodal kenekatan dan menerjang terus sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Betapapun juga dia adalah seorang murid Hoa-san-pai yang baik, pernah mendapat bimbingan dari Lian Bu Tojin sendiri maka setelah ia bertempur dengan nekat Giam Kin tidak berani main-main lagi.

Juga Kim-thouw Thian-li menghadapi perlawanan sengit dan nekat dari Lee Giok. Seperti halnya suaminya, Lee Giok mendapat lawan yang lebih lihai darinya. Kim-thouw Thian-li benar-benar hebat kepandaiannya. Dengan ilmu silatnya dari golongan hitam yang penuh muslihat dan keji, ditambah Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut yang sebagian telah ia warisi pula dari Hek-hwa Kui-bo, Ketua Ngo-lian-kauw ini benar-benar membuat Lee Giok tak berdaya.

Senjata di tangan Kim-thouw Thian-li adalah sebatang golok ditangan kanan dan sehelai selampai merah di tangan kiri. Saputangan atau selampai merah inilah yang amat berbahaya karena mengandung pelbagai racun jahat.

Akan tetapi karena ilmu pedang Lee Goat juga bukan ilmu pedang sembarangan, melainkan ilmu pedang yang ia warisi dari gurunya, Si Raja Pedang tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah dan bagi Kim-thouw Thian-li juga tidak begitu mudah untuk mendapatkan kemenangan dalam waktu singkat.

Yang paling ramai adalah pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dan Cia Li Cu. Harus diketahui bahwa nama Hek-hwa Kui-bo untuk daerah selatan adalah nama seorang jagoan kelas satu yang tak pernah terkalahkan, Ilmu silatnya tinggi sekali dan sebetulnya dahulu ilmu kepandaiannya bersumber kepada keahlian tenaga Thai-yang, sehingga setelah kepandaiannya rnenurun kepada Kim-thow Thian-li yang menjadi Ketua Ngo-lian-kauw perkumpulan inipun terkenal dengan keahlian mereka tentang Thai-yang.

Ilmu silat aliran selatan sudah dikuasai Hek-hwa Kui-bo, ditambah lagi pengalamannya yang puluhan tahun dan belum lama ini ia telah dapat merampas kitab Im-sin Kiam-sut dan telah menguasainya, maka kehebatannya bukan main.

Sayang, tenaganya bersumber kepada Yang-kang, sedangkan Im-sin Kiam-sut bersumber kepada Im-kang, maka ilmu pedangnya yang paling akhir dan paling hebat inipun tidak bisa mencapai puncaknya.

Di lain pihak, lawannya adalah Cia Li Cu, puteri tunggal Raja Pedang Tanpa Tan-ding Cia Hui Gan yang memiliki ilmu pedang keturunan dari pendekar wanita Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu.

Harus diketahui bahwa ilmu pedang keturunan dari Ang I Niocu disebut Sian-li Kiam-sut sesungguhnya masih satu sumber dengan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut dan Yang-sin Kiam-sut, karena kesemuanya itu asalnya adalah ilmu-ilmu ciptaan dari Pendekar Sakti Bu Pun Su.

Sebagai puteri tunggalnya, tentu saja Cia Li Cu telah mewarisi kepandaian ayahnya, maka biarpun usianya masih amat muda, namun ilmu pedangnya sudah hebat sekali. Kini menghadapi permainan pedang Im-sim Kiam-sut dari Hek-hwa Kui-bo, ia dapat melayani dengan baik.

Hebat sekali pertandingan antara nenek dan gadis remaja ini. Hek-hwa Kui-bo mempergunakan sebatang pedang dan dibantu dengan saputangan suteranya yang beraneka warna itu, yang kehebatannya tidak kalah oleh pedang di tangan kanannya. Akan tetapi Cia Li Cu justeru mempergunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh, yakni pedang pusaka Liong-cu-kiam yang pendek.

Di dalam cerita Raja Pedang telah diceritakan bahwa Liong-cu Siang-kiam sebetulnya merupakan sepasang pedang, yang sebatang panjang dan ada ukiran huruf Jantan, sedangkan yang kedua pendek dengan ukiran huruf Betina.

Tadinya sepasang pedang itu berada di tangan mendiang Lo-tong Souw Lee, seorang pendekar tua yang pernah diangkat guru oleh Tan Beng San, akan tetapi kemudian terjatuh ke dalam tangan Cia Li Cu.

Pada pertemuan puncak di Thai-san, sepasang pedang itu dapat dirampas kembali oleh Tan Beng San, akan tetapi kemudian oleh kakak kandungnya, Tan Beng Kui, pedang-pedang itu diminta atau dipinjam karena sepasang pedang itu menjadi lambang perjodohan antara dia dan Li Cu. Beng San memberikan pedang-pedang itu dan memberi pinjam selama tiga tahun.

Sekarang yang berada di tangan Cia Li Cu dalam menghadapi Hek-hwa Kui-bo adalah pedang yang pendek, yaitu yang Betina. Pedang ini dahulu adalah pedang pusaka pegangan Pendekar Bodoh, maka hebatnya bukan kepalang. Selain tajam, juga keras dan dapat mematahkan segala macam baja, lagi pula ampuhnya bukan kepalang.

Dua orang ini yang termasuk orang-orang pemilik ilmu silat tinggi, bertempur sampai tidak kelihatan lagi orangnya. Sinar pedang mereka bergulung-gulung membungkus bayangan tubuh mereka sehingga yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang diantara bayangan merah dari pakaian Li Cu diseling bayangan pelangi beraneka warna yang ditimbulkan oleh gerakan saputangan sutera di tangan Hek-hwa Kui-bo!

Setelah ratusan jurus berlangsung cepat sekali antara Hek-hwa Kui-bo dan Cia Li Cu, keduanya merubah permainan, kini tidak secepat tadi, bahkan amat lambat. Gerakan mereka seperti orang berlatih saja, lambat-lambat sekali sehingga mudah diikuti pandang mata siapapun juga.

Akan tetapi jangan salah sangka, pertempuran yang berjalan lambat ini sesungguhnya malah merupakan pertandingan yang jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka lenyap dibungkus gulungan sinar senjata mereka. Pertempuran lambat-lambat ini justeru merupakan pertandingan mati-matian dimana keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian aseli mereka disertai tenaga dalam yang paling kuat untuk merobohkan lawan.

Beberapa kali senjata mereka hampir mengenai tubuh lawan dan setiap kali pedang Li Cu bertemu dengan saputangan sutera, terjadi getaran hebat dan dua macam senjata itu seakan-akan menempel dan saling sedot.

Setelah bertempur seperti ini keduanya mengakui keunggulan masing-masing, Li Cu ternyata memiliki ilmu silat yang lebih murni, sebaliknya dalam hal tenaga dalam, ia kalah kuat oleh nenek tokoh persilatan dari selatan itu.

Karena merasa penasaran, tiba-tiba Li Cu melakukan tekanan dengan pedang Liong-cu-kiam, menggores ke arah ulu hati lawannya sambil mengeluarkan suara dari perut. Pedangnya perlahan-lahan sekali melakukan gerakan goresan dari kiri ke kanan, sedikit memutar ke atas.

Bukan main hebatnya serangan ini karena dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Jangan kira bahwa serangan yang amat lambat ini akan dapat dihindarkan dengan mengelak, karena yang berbuat demikian dan mengira bahwa serangan itu amat lambat, akan celakalah.

Pukulan yang penuh mengandung hawa karena daya tenaga dalam itu biarpun lambat namun angin pukulannya saja sudah cukup untuk mencelakakan musuh, apalagi mempunyai perubahan yang bukan main banyak lagi berbahaya. Ujung pedang di tangan Li Cu kelihatannya meluncur lambat, namun ujungnya tergetar menyilaukan dan sukar dilihat bagaimana perkembangan selanjutnya.

Hek-hwa Kui-bo tentu saja maklum akan kehebatan serangan ini sungguhpun itu tidak tahu bahwa gerak tipu ini adalah jurus Sian-li-hut-si (Sang Dewi Mengebutkan Kipas) dan tidak tahu pula apa pecahannya. Ia hanya tahu bahwa kali ini lawannya yang muda itu mengeluarkan gerak tipu yang amat berbahaya. Ia tidak berani menangkis dengan pedangnya, takut kalau-kalau pedangnya biarpun juga pedang yang ampuh, tidak akan kuat menandingi keampuhan Liong-cu-kiam. Maka ia lalu menggerakkan senjatanya di tangan kiri yaitu saputangan suteranya yang beraneka warna itu.

Jangan memandang rendah saputangan sutera yang halus lembek dan lebar ini. Biarpun kelihatannya beraneka warna dan indah seperti pelangi serta harum pula baunya, entah sudah berapa banyak nyawa diantarkan pulang oleh saputangari ini! Biarpun demikian halus dan lembek, namun sekali menotok jalan darah dengan ujung saputangan, atau sekali rnengebut kepala orang, Hek-hwa Kui-bo sanggup membunuh orang itu!






No comments:

Post a Comment