Ads

Friday, November 2, 2018

Rajawali Emas Jilid 012

Tiba-tiba terdengar suara parau.
“Apa kalian mempunyai nyawa rangkap maka berani masuk kesini?”

Dua orang muda itu membelalakkan mata memandang tajam, namun mereka hanya melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu mereka roboh dengan pandang mata berkunang-kunang.Thio Bwee segera roboh pingsan, sedangkan Kui Lok sebelum pingsan masih sempat berkata perlahan,

“Teecu dari Hoa-san-pai….”

Entah berapa lama mereka berdua roboh pingsan, tahu-tahu ketika ia siuman, Kui Lok mendapatkan dirinya bersama Thio Bwee sudah berada didalam sebuah kamar batu yang kering dan berhawa hangat nyaman. Cepat ia bangun dan menolong Thio Bwee. Hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu juga sudah mulai sadar. Penerangan dikamar ini suram, hanya diterangi oleh sebuah lampu sederhana diatas meja batu.

“Ah, kiranya sudah malam….” pikir Kui Lok dan ia melihat Thio Bwee bergerak hendak bangun.

Dua orang ini berpandangan dan keduanya bersyukur masih dapat melihat masing-masing dalam keadaan selamat.

“Koko…. mana… mana dia?” bisik Thio Bwee.

“Tenanglah, Moi-moi. Siapa yang menempati tempat ini, tentulah orang baik-baik, buktinya kita tidak diganggu malah dibawa ke tempat ini. Lebih baik kita beristirahat dan memulihkan tenaga sambil menanti datangnya pagi.”

Dua orang muda itu yang maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi hal-hal yang hebat, mungkin hal yang amat berbahaya, segera duduk bersila dan bersamadhi untuk menjernihkan pikiran dan menenangkan hati serta memulihkan tenaga yang telah terlalu banyak dikerahkan ketika mencari gua ini.

Mula-mula memang sukar bagi mereka untuk bersamadhi, selalu saja timbul dalam pikiran mereka bayangan yang berkelebat tadi, dan terngiang di telinga mereka suara parau yang membentak marah. Akan tetapi karena dua orang ini adalah orang-orang gemblengan dari Hoa-san-pai, maka akhirnya dapat juga mereka menenangkan hati dan mendiamkan pikiran, duduk bersamadhi dengan tekun.

Menjelang pagi, diantara suara gemuruh air terjun, terdengar kicau burung dari luar. Kui Lok dan Thio Bwee sadar dari samadhinya dan menikmati pendengaran-pendengaran yang aneh itu. Suara air terjun, kicau burung, kokok ayam hutan, benar-benar mendatangkan ketenangan dan mendatangkan suara penuh damai dan tenteram didalam hati.

Yang mengherankan mereka, bagaimana suara-suara penghuni hutan itu dapat terdengar dari dalam kamar itu. Lama mereka masih duduk termenung, tidak merasa betapa matahari makin lama makin terang cahayanya.

Ada angin bertiup dari arah pintu dan lampu kecil itu padam. Tapi kamar ini tidak menjadi gelap karena ternyata bahwa cahaya matahari telah sampai juga ke tempat itu. Kui Lok merasa tidak enak kalau diam saja disitu, maka sambil memberanikan hatinya ia mengajak Thio Bwee untuk keluar dari kamar. Begitu keluar dari kamar mereka mendengar suara orang bicara, suaranya parau dan jelas,

“Kenapa tidak kau bunuh saja? Huh, kau sudah ingin keluar dari sini agaknya! Tua bangka bodoh!”

Mendengar ini, Kui Lok dan Thio Bwee bergidik. Namun dengan nekat mereka malah menuju ke arah suara dan didalam sebuah ruangan batu mereka melihat seorang kakek tinggi kurus sedang duduk bersila dan menuding-nuding ke arah hidungnya sendiri sambil memaki-maki! Kakek itu rambutnya panjang sekali, dibiarkan terurai sampai ke pahanya, pakaiannya sederhana dari kain kasar berwarna putih.

“Apa kau kasihan melihat pemuda ganteng? Ataukah jatuh hati melihat gadis cantik manis? Aha, tidak semua itu, kau tergila-gila untuk sekali lagi melihat manusia ramai! Waah, tak tahu malu, tua bangka gila!”

Orang tua itu seakan-akan tidak melihat kedatangan Kui Lok dan Thio Bwee. Dua orang muda itu cepat berlutut setelah mereka memasuki ruangan dan Kui Lok segera berkata,





”Teecu berdua Kui Lok dan Thio Bwee datang menghadap Locianpwe.”

Pemuda itu tidak berani menyebut supek karena selama hidupnya ia belum pernah bertemu dengan Lian Ti Tojin, mana dia tahu apakah kakek ini betul supeknya itu ataukah bukan?

Tanpa menengok ke arah mereka kakek itu tiba-tiba bertanya,
“Kalian masih ada hubungan apa dengan Lian Bu?”

“Beliau adalah Suhu teecu berdua….” kata Kui Lok, masih meragu apakah orang ini benar-benar tokoh aneh dari Hoa-san-pai yang selama ini merupakan iblis yang amat ditakuti oleh seluruh anggauta Hoa-san-pai.

“Jangan bohong! Lian Bu hanya lebih muda beberapa tahun dariku, sebagai Ketua Hoa-san-pai masa mempunyai murid-murid begini muda dan tidak becus apa-apa?”

“Teecu berdua… tadinya memang cucu-cucu murid, akhir-akhir ini berlatih langsung di bawah petunjuk Lian Bu Tojin suhu.”

“Tidak becus… tidak becus.., he, orang-orang muda, apakah gurumu tidak memberi tahu bahwa orang tidak boleh datang ke Im-kan-kok? Bahwa siapapun yang mendatangi tempat ini akan kubunuh mampus?” pertanyaan ini diucapkan dengan suara keren.

“Teecu memang sudah tahu… dan sekiranya Locianpwe ini benar adalah Supek Lian Ti Tojin, teecu berdua hanya mohon ampun….”

“Kalian sudah tahu tapi berani juga datang kesini?”

Sebelum Kui Lok dan Thio Bwee dapat melihat apa yang dilakukan kakek itu, tahu-tahu mereka berdua sudah terguling dan pingsan lagi!

Mereka tadi hanya melihat kakek itu menggerakkan lengan kanannya dan tahu-tahu mereka roboh tidak ingat apa-apa.

Ketika mereka sadar kembali, kakek itu masih duduk bersila seperti tadi dan Kui Lok segera menolong Thio Bwee. Keadaan mereka makin payah karena selain terluka pundak mereka dan dua kali dipukul roboh, juga semenjak kemarin perut mereka kosong sama sekali.

Kui Lok girang bahwa Thio Bwee juga segera sadar kembali dan agaknya pukulan jarak jauh dari kakek itu hanya membuat mereka roboh dan pingsan saja, tapi tidak teluka hebat. Kedua orang muda ini heran mengapa kakek itu tidak membunuh mereka.

“Anak murid Hoa-san-pai sampai terluka oleh Jing-tok-ciang (Racun Hijau)…, hemmm, memalukan sekali….!”

Kakek itu berkali-kali mengucapkan kata-kata ini seorang diri, sedikitpun tidak menoleh kearah dua orang muda itu. Mendengar ini, timbul harapan dalam hati Kui Lok. Serta-merta ia berlutut didepan kakek itu dan berkata,

“Teecu berdua datang menghadap Supek untuk memohon pertolongan Supek…. Hoa-san-pai terancam bahaya kemusnahan. Supek harap maklum bahwa Suhu telah tewas terbunuh orang….”

“Hemmm, tidak dulu-dulu terbunuh orang sudah amat mengherankan. Sebodoh dia menjadi ketua, hemmm….”

Bingung dan mendongkol juga hati Kui Lok melihat sikap orang yang menjadi supeknya ini. Benar-benar berwatak aneh dan luar biasa.

“Supek, tidak saja Suhu telah tewas, akan tetapi musuh besar itu juga menewaskan sepuluh orang suheng….”

“Gurunya tolol mana murid-muridnya tidak goblok? Mampus karena ketidak becusan sendiri, untuk apa kau ceritakan kepadaku?” kakek itu memotong tanpa menoleh kepada Kui Lok.

“Supek, musuh itu masih merampas pedang pusaka Hoa-san-pai dan sekarang malah menduduki Hoa-san-pai dan mengangkat diri sendiri sebagai ketua!”

Untuk sejenak kakek itu diam tak bergerak tak bersuara seakan-akan kaget juga dan berpikir akan tetapi segera ia mengangguk-angguk dan berkata,

“Biar, lebih baik begitu! Biarpun murid Hoa-san-pai sendiri yang menjadi ketua kalau tidak becus macam Lian Bu, untuk apa?. Biarlah dipegang orang lain, tentu lebih lihai dari Lian Bu dan lebih bijaksana!”

Kui Lok tercengang dan habis akal. Thio Bwee semenjak tadi diam saja akan tetapi hatinya panas bukan main.

“Sudahlah, Suheng, untuk apa bicara lagi kepada seorang murid Hoa-san-pai yang tidak berbudi ? Didengar kata-katanya apa sih bedanya dia dengan iblis betina Kwa Hong yang telah merampas kedudukan Suhu? Keduanya sama-sama murid Hoa-san-pai yang murtad dan khianat!”

Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah mereka dan dua orang muda itu hampir mengeluarkan suara jeritan saking kaget dan ngerinya. Muka kakek itu bukan muka manusia lagi, akan tetapi muka tengkorak! Muka itu sama sekali tidak ada dagingnya, hanya tulang tengkorak terbungkus kulit kering, mulutnya terbuka kosong, lubang hidungnya menjadi satu dan sepasang matanya bersembunyi amat dalam sehingga sepintas lalu seakan-akan kedua lubang matanya itu kosong saja!

“Apa kau bilang?” tanyanya dan sepasang biji mata yang bersembunyi dalam-dalam di kepala itu mengintai kepada Thio Bwee amat tajam menakutkan.

“Oh…. tidak… tidak….”

Thio Bwee memalangkan lengan kanan didepan muka sambil mundur-mundur ketakutan.

Mulut yang ompong kosong itu terbuka lebar mengeluarkan suara ketawa yang menyeramkan, kemudian disambung kata-katanya dengan suara keren,

“Bocah, coba katakan lagi. Betulkah yang menewaskan Lian Bu dan yang merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai adalah seorang murid Hoa-san-pai sendiri?”






No comments:

Post a Comment