Ads

Friday, November 2, 2018

Rajawali Emas Jilid 011

Mari kita ikuti Kui Lok dan Thio Bwee yang meninggalkan puncak Hoa-san-pai dengan perasaan hancur. Mereka terluka hebat di pundak mereka, terkena racun panah hijau yang amat berbahaya. Namun luka di hati mereka lebih hebat lagi. Mereka tidak saja telah dikalahkan secara mudah dan memalukan sekali, akan tetapi lebih daripada itu, mereka telah terhina. Di sepanjang jalan menuruni puncak Thio Bwee menangis, dan Kui Lok menghiburnya.

“Kui-koko, daripada mengalami penderitaan dan penghinaan seperti ini lebih baik aku mati saja… kenapa tadi kita tidak melawan terus saja sampai mati? Untuk apa hidup lebih lama menghadapi penghinaan seperti ini…?”

Saking sedihnya dan juga karena luka beracun di pundaknya membuat tubuhnya lemas, gadis ini terhuyung-huyung ke depan.

Kui Lok cepat mengejar dan merangkulnya. Ia merasa amat kasihan kepada gadis ini dan sinar matanya memandang penuh kasih sayang. Sejenak mereka berpandangan, akhirnya Thio Bwee menangis terisak-isak diatas dadanya. Kui Lok menggunakan tangannya dengan mesra dan halus mengusap air mata yang bercucuran membasahi pipi Thio Bwee.

“Bwee-moi, jangan berduka, jangan putus harapan. Selama kita masih berdua, kesukaran apa yang takkan kuat kita hadapi? Ah, Bwee-moi… setelah ini hari aku melihat Kwa Hong, baru terbuka betul-betul mataku betapa bodohku dahulu, tak dapat membedakan antara batu permata dan batu karang. Dia begitu jahat, begitu kejam dan ganas seperti siluman sedangkan kau… kau begini gagah perkasa, mulia dan halus. Bwee-moi, marilah kita pergi mencari Supek Lian Ti Tojin untuk mohon pertolongannya, tidak hanya kepada kita yang terluka hebat… tapi terutama sekali… untuk menyelamatkan Hoa-san-pai kita….”

Mendengar ini, Thio Bwee mengangkat mukanya, memandang dengan mata terbelalak.
“Pergi… ke… Im-kan-kok??” . .

Mau tak mau tersenyum juga Kui Lok melihat wajah kekasihnya begitu ketakutan. Ah, gadis yang tidak takut menghadapi kematian ini sekarang takut begitu mendengar nama Im-kan-kok!

“Bwee-moi, apa kau takut?”

“Tidak… tidak asal bersama engkau… tapi… aku ngeri juga, Koko….”

“Setelah keadaan kita seperti ini, apalagi yang harus ditakuti, Moi-moi? Hayo kita percepat usaha untuk mencari Supek.”

Keduanya lalu berjalan lagi bergandengan tangan, hati mereka telah bulat nekat untuk mencari supek mereka.

Yang disebut Im-kan-kok (Lembah Akhirat) adalah sebuah lembah gunung di Hoa-san yang amat mengerikan keadaannya dan tidaklah aneh kalau tempat yang terlarang bagi para anggauta Hoa-san-pai ini jarang atau tak pernah didatangi manusia. Kalaupun ada manusia kebetulan datang ke tempat itu, hendak apa dan mencari apakah?

Jurang yang amat luas dan dalamnya tak dapat diukur pandangan mata itu sunyi mengering di sebelah kirinya, penuh batu-batu karang yang merupakan lerengnya atau tebingnya, tajam runcing licin tak mungkin dituruni manusia. Di sebelah kanan lain lagi pemandangannya, penuh pohon-pohon dan diantara pohon-pohon yang tumbuhnya tidak karuan dan liar malang-melintang itu terdapat tiga buah air terjun yang amat tinggi. Keadaan di sebelah kiri dan kanan benar-benar merupakan pemandangan yang berlawanan sekali, padahal keduanya merupakan bagian dari Im-kan-kok itu.

Dengan susah payah Kui Lok dan Thio Bwee berjalan melalui jalan liar yang amat sukar, merayap-rayap melalui pinggir lembah. Kaki mereka sakit-sakit dan bagian tubuh yang tidak tertutup kain baret-baret terkena duri-duri tetumbuhan liar yang selalu menghadang didepan mereka.

Setengah hari mereka berjalan dengan penuh kesukaran ini, dengan hati berdebar-debar pula karena sebagai murid-murid Hoa-san-pai mereka maklum bahwa mereka telah memasuki daerah terlarang bagi orang-orang Hoa-san-pai.

Tentang Lian Ti Tojin di Im-kan-kok ini, hanya sedikit mereka mendengar dari mendiang Lian Bu Tojin. Ketua Hoa-san-pai itu hanya mengatakan bahwa Lian Ti Tojin telah memilih Im-kan-kok sebagai tempat untuk mengasingkan diri dan menghukum diri, dan Im-kan-kok dianggap sebagai tempat pelaksanaan hukuman.

Tidak diceritakan kesalahan apakah yang dilakukan Lian Ti Tojin itu maka dia menghukum diri sendiri disitu. Hanya berkali-kali Ketua Hoa-san-pai itu melarang murid-muridnya memasuki daerah terlarang ini dengan ancaman mati, malah berkata pula bahwa ilmu silat yang dimiliki oleh Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-san-pai yang amat tinggi, beberapa kali lebih tinggi dari pada ilmu silat yang dimiliki Lian Bu Tojin sendiri. Selain ini, juga ketika mengasingkan diri empat puluh tahunan yang lalu, Lian Ti Tojin mengancam bahwa siapa saja berani mengganggunya di Im-kan-kok pasti akan dibunuhnya!





“Lembah ini begitu luas, kemana kita dapat mencarinya?” bisik Tio Bwee kepada Kui Lok ketika mereka beristirahat di bagian yang penuh pohon-pohon yang merupakan hutan-hutan liar dan di depan mereka tampak air terjun pertama yang airnya berwarna-warni tertimpa sinar matahari.

“Memang sukar kalau harus mencari begitu saja. Akan tetapi jangan kau khawatir, Moi-moi. Dahulu aku pernah mendengar dari mendiang ayahku ketika ayah mendongeng tentang Supek di Im-kan-kok. Menurut ayah, dibagian terbawah dari air terjun yang berada ditengah-tengah dan yang terbesar, terdapat sebuah gua yang amat besar. Gua ini terletak di belakang air terjun dari atas. Nah, agaknya di situlah Supek Lian Ti Tojin bertapa.”

Thio Bwee memandang ke depan. Dari tempat itu sudah kelihatan air terjun yang paling besar itu, di tengah-tengah antara dua air terjun lainnya. Suara air terjun bergemuruh menimbulkan pendengaran yang menyeramkan dan melihat air terjun yang ratusan meter dalamnya itu membuat Thio Bwee merasa ngeri. Tak terasa lagi ia memegang tangan Kui Lok erat-erat.

“Aduh,..!” Kui Lok mengeluh.

Thio Bwee kaget dan menengok. Ternyata ia tadi telah memegang lengan yang kiri dengan tangan kanannya dan lengan kiri Kui Lok telah agak membengkak dengan warna kehijauan. Bukan main kagetnya, apalagi ketika pada saat itu baru ia tahu bahwa tangan kirinya juga membengkak dan agak kehijauan, dan sakit sekali kalau ditekan. Ternyata bahwa luka di pundak kiri mereka telah makin menghebat, agaknya racun telah menjalar sampai ke lengan tangan.

Mereka berpandangan, maklum akan keadaan mereka itu yang amat berbahaya. Sinar mata mereka sudah banyak menyatakan isi hati mereka dan keduanya menjadi berduka sekali. Kui Lok menarik tangan kanan Thio Bwee diajak berdiri.

“Moi-moi….” katanya dengan suara gemetar, “kita harus cepat-cepat pergi dan cepat menjumpai Supek, kalau tidak… aku khawatir tak ada waktu lagi…”

Thio Bwee mengangguk dan kedua orang muda ini kembali berjalan dengan susah payah, menyelinap diantara tetumbuhan berduri, menuju kearah air terjun kedua. Akhirnya sampai juga mereka di tempat itu. Air selebar lima meter lebih terjun dari atas, berkilauan ditimpa sinar matahari.

Biarpun air itu terjun amat dalamnya, namun suara air menimpa batu-batu di bawah terdengar dari tempat itu, malah berkumandang di empat penjuru gunung. Ketika dua orang itu menengok kebawah, hati mereka berdebar menyaksikan betapa dalamnya lembah itu. Bagaimana mereka harus turun mendekati dasar lembah?

Setelah mencari-cari dengan pandang matanya, akhirnya Kui Lok berkata,
“Bwee-moi, terpaksa kita harus turun melalui pohon-pohon dan tetumbuhan, kita harus merayap ke bawah. Perjalanan ini amat sukarnya, dan amat berbahayanya, akan tetapi, Moi-moi, kali ini kita berjuang untuk nyawa kita.”

Thio Bwee menjenguk ke bawah lalu memandang kekasihnya sambil tersenyum pahit.
“Aku mengerti, Koko. Bersamamu aku akan kuat menghadapi apa saja.”

Mendengar pernyataan ini, dengan terharu Kui Lok lalu mengusap rambut kepala Thio Bwee kemudian berbisik,

“Mati hidup kita takkan berpisah lagi, adikku.”

Setelah berkata demikian pemuda ini lalu mulai menuruni tebing yang amat dalam dan curam itu, diikuti oleh Thio Bwee. Baiknya dua orang ini adalah orang-orang yang sudah terlatih semenjak kecil, tubuh mereka kuat dan ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi.

Andaikata mereka tidak terluka, kiranya pekerjaan menuruni tebing sambil bergantungan atau berpegangan pada akar-akar dan pepohonan ini akan merupakan hal yang amat mudah bagi mereka.

Akan tetapi keadaan mereka sekarang amat buruk. Selain tubuh lemas akibat penderitaan batin, juga tangan kiri mereka sakit dan hampir lumpuh sehingga untuk menuruni tebing hanya mengandalkan kedua kaki dan tangan kanan saja. Sedangkan tangan kiri mereka hanya dipergunakan untuk membantu belaka.

Dua jam lebih mereka merayap dan bergantungan diantara akar-akar pohon dan batu-batu, akhirnya mereka bergantungan pada pohon terakhir dan tidak bisa turun kebawah lagi! Bagaimanapun mereka mencari-cari, tidak ada lagi tempat untuk berpegang atau berinjak, jalan ke bawah sudah putus.

Ketika mereka menengok ke bawah, tampak oleh mereka air terjun itu menimpa dasar lembah dan menimbulkan uap air yang tebal. Samar-samar tampak air di bawah mereka, air yang berputaran seperti air mendidih tapi amat lebarnya seperti sebuah telaga kecil yang terjadi karena air terjun itu.

“Bagaimana, Koko?” tanya Thio Bwee terengah-engah kelelahan.

Kui Lok mengerutkan kening.
“Tidak mungkin turun lagi secara tadi, Moi-moi. Kembali naik juga lebih sukar. Jalan satu-satunya kita harus berani terjun kebawah.”

“Terjun ke air itu….?”

“Sedikit-sedikit kita dapat berenang, tak perlu takut, Bwee-moi. Mari, ikuti aku!”

Dengan nekat Kui Lok lalu meloncat ke bawah dan Thio Bwee segera mengikutinya. Dua orang muda itu melayang-layang turun dari tempat yang tingginya masih ada belasan meter akan tetapi yang keadaan bawahnya tidak dapat tampak nyata karena uap air yang tebal.

“Byurr! Byurr!”

Air muncrat tinggi ketika tubuh dua orang muda itu tiba di permukaan air yang luar biasa dinginnya. Akan tetapi alangkah kaget rasa hati Kui Lok dan Thio Bwee ketika mereka mendapat kenyataan bahwa air itu berputar amat kuatnya, merupakan ulekan (air berputar) besar, Tubuh mereka hanyut terseret oleh putaran itu, tenaga putaran demikian besarnya sehingga mereka tak berdaya, tak mampu berenang ke pinggir. Kui Lok maklum bahwa kalau terus-menerus begini, mereka akan celaka.

“Bwee-moi, tahan napas, menyelam terus berenang ke arah pinggir sana, kebelakang air terjun!” teriaknya dengan napas terengah-engah payah.

Setelah gadis itu memberi isyarat bahwa ia telah mengerti apa yang dimaksudkan oleh kekasihnya, mereka lalu menyelam dan benar saja, di bagian bawah ternyata tenaga putaran itu tidak hebat lagi dan dengan mudah mereka dapat berenang melalui air terjun.

Akhirnya keduanya dapat mendarat di belakang air terjun dengan napas hampir putus dan tenaga habis. Namun, bukan main girang hati mereka karena melihat kekasih berada di sampingnya. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut dan Thio Bwee tak kuasa menahan air matanya, Kui Lok memeluknya dan pada saat itu hati kedua orang muda ini makin bersatu dan rnakin teguh cinta kasih mereka.

“Bwee-moi, biarpun aku tahu kau amat lelah, akan tetapi terpaksa kita harus melanjutkan penyelidikan kita. Kita sudah sampai ditempat yang dimaksudkan.”

Keduanya berdiri dan memeriksa tempat itu. Dibalik air terjun ini benar saja terdapat gua yang amat besar dan dalam. Suara air terjun bergemuruh amat hebatnya sehingga kalau mereka ingin bicara, mereka harus saling berdekatan dan bersuara keras-keras.

Sambil begandeng tangan dua orangg muda ini merangkak-rangkak memasuki gua itu, kemudiari dengan berani dan nekat mereka terus maju memasuki lubang besar yang merupakan terowongan gelap.

Mula-mula terowongan yang panjang dan lebar itu gelap sekali dan amat licin sehingga dua orang muda ini harus meraba-raba dan merangkak, akan tetapi setelah masuk kurang lebih dua ratus meter, mulai tampak sinar terang dari depan dan jalan tidak begitu licin lagi.

Setelah membelok tiga kali mereka tiba di sebuah ruangan dibawah tanah yang amat luas dan terang karena sinar matahari masuk dari atas kanan kiri yang terbuka. Tempat ini bersih sekali dan kelihatan beberapa buah benda berbentuk meja kursi terbuat daripada batu. Malah di sebelah depan tampak dua buah lubang berbentuk pintu. Tak salah lagi, tempat seperti ini sudah pasti didiami manusia.






No comments:

Post a Comment