Ads

Wednesday, October 31, 2018

Rajawali Emas Jilid 009

Selain ancaman hukuman mati oleh tangan Lian Bu Tojin sendiri juga ketua ini pernah menceritakan bahwa di lembah ini merupakan tempat hukuman seorang Hoa-san-pai yang luar biasa tinggi kepandaiannya, jauh lebih tinggi daripada Lian Bu Tojin sendiri dan orang aneh luar biasa ini pasti akan membunuh setiap orang yang berani memasuki Im-kan-kok!

Dan sekarang, mendiang Lian Bu Tojin sendiri yang meninggalkan pesan agar supaya mereka mencari orang aneh ini yang bukan lain adalah suheng sendiri dari ketua itu, bernama Lian Ti Tojin yang sudah empat puluh tahun lebih menghukum diri sendiri didalam Lembah Akhirat ini.

Tak seorangpun diberi tahu mengapa orang-orang aneh itu menghukum diri di Im-kan-kok. Kui Lok mengajukan usul untuk mencari manusia aneh ini ditempat yang merupakan ancaman maut itu.

“Benar, memang kita harus mencari Supek di Im-kan-kok. Supek Lian Ti Tojin adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang menurut mendiang Suhu dulu, kepandaiannya amat tinggi, beberapa kali lipat lebih tinggi daripada kepandaian Suhu sendiri. Kalau kita Hoa-san-pai memiliki orang berkepandaian demikian tinggi, memalukan sekali kalau untuk urusan ini kita harus mencari bantuan dari luar.”

“Tapi… tapi…,” kata seorang tosu setengah tua, “Supek itu sudah empat puluh tahun lebih menghilang. Apakah… apakah kiranya beliau masih berada di tempat itu? Dan… dan diantara kita siapakah pernah melihatnya?”

Semua orang saling pandang. Memang hampir semua tosu belum pernah melihat orang yang dimaksudkan itu. Kui Lok memandang kepada seorang tosu yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang pekerjaannya memelihara kitab-kitab Hoa-san-pai.

“Kwi Bun-susiok yang terhitung sute dari Suhu, tentunya pernah bertemu dan melihat wajah Supek Lian Ti Tojin, bukan?”

Mendadak tosu tua itu menjadi pucat, bergemetaran dan menutupi mukanya.
“Tidak… pinto… eh, tidak… tidak pernah kenal…, tidak tahu….”

la menjadi ketakutan sekali dan akhirnya mendekam berlutut dan membaca mantera dengan tubuh menggigil.

Kui Lok dan Thio Bwee saling pandang dengan bulu tengkuk meremang. Mengapa tosu tua ini yang masih terhitung adik seperguruan Lian Ti Tojin sendiri kelihatan begitu ketakutan? Orang macam apakah Lian Ti Tojin itu? Dan rahasia apakah yang tersembunyi dibalik Lembah Akhirat? Melihat sikap tosu itu, para murid Hoa-san-pai yang biasanya amat takut mendengar Im-kan-kok itu, sekarang menjadi semakin ketakutan dan merasa serem sekali. Mereka duduk dan bersunyi, seakan-akan takut kalau mereka kesalahan besar karena membicarakan orang rahasia di Im-kan-kok itu.

Tiba-tiba semua orang terkejut ketika mendengar suara melengking tinggi menusuk telinga, suara melengking yang datangnya dari atas, dari langit! Semua muka menjadi pucat, malah Kui Lok dan Thio Bwee yang biasanya berhati tabah, kali ini meraba gagang pedang dengan mulut terasa kering, suara melengking makin lama makin tinggi dan nyaring sehingga orang-orang mulai merasa tidak kuat mendengarnya lagi lalu menutup telinga.

Tiba-tiba meluncur sinar yang menyilaukan mata, sinar kehijauan dan tahu-tahu lima orang tosu roboh terguling dan ternyata dada mereka telah terluka dan mereka tewas seketika itu juga!

Kwi Bun Tosu yang tadi ketakutan sekarang berbisik-bisik,
“Celaka… celaka… dia datang… ah, kita berbuat dosa….”

Setelah berkata demikian, tosu tua ini mencabut pedang sendiri dan menusuk dada sambil berseru,

“Lian Ti suheng…. siauwte berdosa besar… rela menerima kematian….” Tubuhnya terguling dan ia tewas dengan pedang masih menancap di dadanya!

Kejadian ini tentu saja makin mengejutkan dan menakutkan semua orang. Kui Lok segera meloncat keluar sambil mencabut pedangnya dan berseru keras,

“Tidak peduli siapapun yang datang, harap jangan main gila dengan Hoa-san-pai. Manusia atau iblis, perlihatkan dirimu dan mari kita bertempur sampai seribu jurus!”

Sikapnya gagah sekali dan sikapnya inilah yang membangkitkan semangat semua anak murid Hoa-san-pai. Malah Thio Bwee yang tadinya kaget dan ngeri sekarang juga meloncat sambil mencabut pedang, berdiri di dekat suhengnya itu.





Tapi tidak terlihat seorangpun manusia di sekitar situ. Selagi mereka terheran-heran dan merasa gelisah, tiba-tiba terdengar desir angin di atas kepala mereka dan diatas desir angin ini terdengar suara ketawa merdu!

Semua orang terkejut sekali karena mengenal baik suara ketawa merdu ini dan ketika mereka memandang keatas, ternyata Kwa Hong tertawa-tawa sambil menduduki punggung seekor burung rajawali besar yang terbang diatas kepala mereka tanpa mengeluarkan suara!

Ketika Kwa Hong menggerakkan tangan kiri, lagi-lagi ada lima orang tosu terguling roboh dan tewas. Kui Lok dan Thio Bwee hanya melihat sinar hijau menyambar dari tangan ini dan tahu-tahu lima orang teman mereka telah mati dengan dada terluka hebat.

Kemarahan Thio Bwee tak dapat ditahannya lagi. Memang ia sudah merasa tidak suka sejak dahulu terhadap sumoinya ini yang dianggap merampas cinta kasih Kui Lok, apalagi setelah Kwa Hong melukai Lian Bu Tojin.

Sekarang melihat keganasan Kwa Hong yang membunuh-bunuhi bekas saudara-saudara seperguruan sendiri, ia segera menudingkan pedangnya kearah burung yang terbang lewat sambil berkata nyaring,

“Siluman betina Kwa Hong! Kau turunlah untuk menerima hukuman di ujung pedangku!”

Adapun Kui Lok yang masih belum hilang cinta dan rindunya kepada Kwa Hong, hanya mengeluh,

“Hong-moi… kenapa kau begini kejam….?”

Kwa Hong tertawa merdu dan tiba-tiba burungnya itu menukik ke bawah dan hinggap diatas tanah tanpa mengeluarkan sedikitpun bunyi berisik. Kwa Hong meloncat turun dari punggung burungnya, gerakannya ringan sekali.

Semua murid Hoa-san-pai memandang dengan mata terbelalak. Wajah itu masih tiada bedanya dengan dahulu, wajah Kwa Hong yang cantik molek dengan sepasang mata seperti bintang pagi, jeli dan bersinar-sinar penuh daya hidup, hanya bedanya sekarang terdapat pemancaran sinar mata yang aneh dan mengerikan pada mata indah itu.

Pakaiannya masih seperti dulu, bagus dan dari sutera mahal, akan tetapi warnanya serba putih, tidak merah seperti dulu lagi. Pada punggungnya tergantung pedang pusaka Hoa-san-pai dan ditangan kirinya terpegang sebuah senjata yang amat aneh. Merupakan gagang cambuk yang berekor lima dan pada setiap ekor cambuk itu terikat sebatang anak panah hijau.

Tali sutera hitam membelit pergelangan tangannya dan ternyata cambuk itu gagangnya dipasangi tali ini sehingga agaknya selain dapat dipergunakan sebagai senjata dalam pertandingan, juga dapat dipakai untuk menyerang lawan secara ditimpukkan lalu ditarik kembali melalui tali.

Sebuah senjata yang luar biasa sekali, mengerikan dan tahulah Kui Lok dan saudara-saudaranya bahwa senjata inilah yang dalam waktu dua kali telah mengambil nyawa sepuluh orang saudara mereka!

“Hi-hi-hi, Enci Bwee! Kau makin hitam saja! Apakah kau sudah berhasil merebut hati Kui-suheng sekarang?”

Kwa Hong berkata dan meremang bulu tengkuk Thio Bwee ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Kwa Hong yang kalau dibanding dengan dulu seperti bumi langit bedanya. Didalam suara ini terkandung kesedihan besar bercampur dengan ejekan dan kebencian.

“Kau sudah menjadi siluman!”

Thio Bwee balas memaki dan menerjang maju dengan pedang di tangan. Kwa Hong hanya tersenyum mengejek tanpa bergerak dari tempatnya. Tiba-tiba sesosok bayangan besar menyambut gerakan Thio Bwee dan tahu-tahu burung rajawali itu sudah mencakar Thio Bwee dengan kaki kanannya.

Thio Bwee tidak gentar, cepat ia memutar pedang untuk memapaki kaki burung itu dengan maksud membabatnya putus. Akan tetapi mendadak sekali burung itu menggerakkan sayapnya, gerakannya tidak mendatangkan angin dan sama sekali tak dapat diduga oieh Thio Bwee, maka tahu-tahu tangannya terpukul sayap sehingga pedangnya terlempar jauh!

“Tiauw-heng, jangan pukul dia, kasihan… ha-ha-ha!”

Kwa Hong menyuruh burungnya mundur sambil tertawa-tawa. Muka Thio Bwee menjadi pucat sekali dan matanya memandang dengan marah, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Gerakan burung itu benar-benar hebat dan tidak tersangka-sangka, juga tenaganya besar sekali.

Dengan langkah lemah gemulai Kwa Hong menghampiri Kui Lok dan tersenyum lalu berkata,

“Kui-ko, kau tadi menantang-nantang seperti seorang pendekar besar. Agaknya kau sekarang sudah memperoleh kemajuan hebat dengan kepandaianmu, apakah kau sudah pandai bermain pedang dengan tangan kanan ataukah masih kidal? Hi-hi, Kui-ko, dulu kau pura-pura menjauhi Enci Bwee, kiranya sekarang kau mau juga. Dasar laki-laki!”

Wajah Kui Lok sebentar merah sebentar pucat dan untuk mengusir rasa malunya. ia berkata,

“Kau…, kau Hong-moi….jadi kaukah yang membunuh sepuluh orang saudaraku tadi? Hong-moi, kenapa kau membunuh mereka? Dan kenapa pula kau melukai Suhu dan… dan merampas pedang pusaka?”

Kembali Kwa Hong tersenyum lebar, senyum yang dulu meruntuhkan hati Kui Lok, akan tetapi yang sekarang membayangkan sesuatu yang amat mengerikan.

“Lian Bu Tojin berani mencelakaiku dan dia seorang ketua yang tidak baik, seorang guru yang mencelakai murid sendiri. Pedang pusaka ini memang patut berada di tanganku karena hanya akulah yang akan dapat mengangkat tinggi nama Hoia-san-pai. Tadi aku yang menjadi pemimpin dan ciang-bujin (ketua) baru Hoa-san-pai datang, kalian tidak mau segera menyambut dengan penghormatan. Maka sepuluh orang murid tadi kubunuh sebagai peringatan!”

Setelah berkata demikian, Kwa Hong memandang ke sekelilingnya dan semua orang tosu yang berada disitu mengkeret lehernya, menundukkan pandang matanya karena nyali mereka terbang lenyap begitu mereka bertemu pandang dengan Kwa Hong.
Pada saat itu terdengar sayup-sayup suara orang berteriak dari bawah gunung,

“Enci Hong… tunggu… jangan tinggalkan aku….!”

Suara itu berkumandang sampai di puncak gunung dan belum lama dengung suara lenyap, orangnya telah tiba disitu. Siapa lagi kalau bukan Koai Atong! Diam-diam Kui Lok dan Thio Bwee kagum dan terkejut sekali. Sebagai ahli-ahli silat tinggi dua orang muda ini dapat mengukur betapa hebatnya khi-kang dari Koai Atong sekarang, dari bawah gunung sudah dapat “mengirim suara” keatas dan gin-kangnyapun demikian hebat sehingga dalam sekejap saja sudah dapat mendaki puncak Hoa-san-pai.

Setelah tiba disitu, Koai Atong tertawa dan meringis gembira melihat Kwa Hong sudah berada disitu bersama burung rajawali. Didalam perjalanan, Kwa Hong naik burung dan membiarkan Koai Atong berlari-lari mengikuti bayangan burung,

“Ha-ha-ha, he-he-he, sudah kumpul semua disini, ha-ha!”

Tapi Kui Lok dan Thio Bwee tidak mempedulikan orang tinggi besar ini, karena mereka masih marah bukan main mendengar ucapan Kwa Hong tadi, Kui Lok segera membentak,

“Kwa Hong! Jadi kau hendak menggunakan kekerasan dan merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai? Jangan kau berlaku sewenang-wenang, mengingat bahwa kau adalah bekas murid Hoa-san-pai sendiri, hayo lekas kembalikan pedang pusaka dan berlutut menerima dosa.”

Mata Kwa Hong berkilat.
“Kui Lok, kau begini kurang ajar terhadap ketuamu? Hayo kau yang berlutut!” Sambil bertolak pinggang Kwa Hong memerintah.

“Suheng, mari kita bunuh siluman ini!”

Thio Bwee berseru keras dan biarpun ia sudah tak berpedang lagi, dengan nekat ia lalu menyerang Kwa Hong dengan pukulan maut yang amat keras. Akan tetapi dengan enak Kwa Hong miringkan tubuhnya dan sekali kakinya bergerak, Thio Bwee sudah kena ditendang roboh!






No comments:

Post a Comment