Ads

Wednesday, October 31, 2018

Rajawali Emas Jilid 008

Beberapa hari kemudian di Puncak Hoa-san. Pemberontakan melawan Pemerintah Mongol yang sekarang telah runtuh masih mendatangkan bekas-bekasnya pada perkumpulan Hoa-san-pai yang bermarkas di puncak gunung ini.

Dahulu-nya Hoa-san-pai dibawah pimpinan Lian Bu Tojin merupakan partai persilatan yang amat besar. Banyak sekali, lebih dari seratus orang, tosu (pendeta To) menjadi murid Lian Bu Tojin. Juga ketika itu Hoa-san-pai terkenal dengan nama Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san-pai) yang menjadi murid-murid utama Lian Bu Tojin.

Akan tetapi sekarang keadaan sudah banyak berubah, Hoa-san-pai tidak semegah dan sekuat dahulu lagi. Banyak sekali anggauta Hoa-san-pai yang gugur ketika mereka membantu kaum pejuang menumbangkan Pemerintah Kerajaan Mongol. Malah Hoa-san Sie-eng sudah tidak ada lagi.

Yang dua telah tewas ketika terjadi kesalah-pahaman dan permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Tinggal yang dua lagi, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, terjerumus kedalam jalinan asmara yang membuat mereka lari pergi dari Hoa-san.

Cucu murid dari Lian Bu Tojin yang sekarang berada di Hoa-san hanya dua orang, yaitu Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang saudara seperguruan yang sudah dijodohkan oleh Lian Bu Tojin. Oleh Lian Bu Tojin, dua orang yang ia anggap sebagai calon penggantinya ini digembleng dengan ilmu silat Hoa-san-pai yang paling tinggi dan ia berpesan supaya dua orang ini berlatih dengan giat.

Dalam cerita RAJA PEDANG telah dituturkan bahwa Thio Bwee memang sudah jatuh hati kepada suhengnya itu, sebaliknya tadinya Kui Lok hendak merebut hati Kwa Hong. Akan tetapi usahanya ini tidak pernah berhasil dan kemudian setelah ia dijodohkan dengan Thio Bwee dan melihat cinta kasih hati gadis ini terhadap dirinya, terbukalah hatinya dan iapun mulai menaruh hati kasih kepada Thio Bwee.

Karena murid Hoa-san-pai yang lain yaitu Kwa Hong telah minggat dan memberontak terhadap Hoa-san-pai, sedangkan Thio Ki telah menikah dengan murid Thai-san, yaitu Lee Giok, murid Raja Pedang Cia Hui Gan dan sekarang telah tinggal di Sin-yang menjadi piauwsu, maka mereka berdua dengan tekun memperdalam ilmu silat dan tinggal menemani guru besar mereka di Puncak Hoa-san.

Pada hari itu Kui Lok dan Thio Bwee sedang memberi petunjuk-petunjuk kepada para tosu yang juga dipesan supaya memperdalam ilmu silat untuk memperkuat kembali Hoa-san-pai. Mereka dengan gembira berlatih di halaman depan yang luas dan hawa udara amat sejuk dan indahnya di pagi hari itu. Tiba-tiba seorang tosu berseru,

“Suhu datang….!”

Kui Lok dan Thio Bwee menengok dan cepat mereka lari menyambut dengan hati gelisah. Kakek Ketua Hoa-san-pai itu nampak pucat dan jalannya terhuyung-huyung, terang sudah menderita luka hebat sekali. Kui Lok adalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tiga tahun, akan tetapi pandang matanya sudah tajam menandakan bahwa ia sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas.

Wajahnya tampan dan ada sifat-sifat nakal gembira, akan tetapi tarikan mulutnya membayangkan keangkuhan hati. Adapun Thio Bwee yang hitam manis itu wataknya lebih pendiam, sinar matanya membayangkan kekerasan hatinya. Dua orang muda ini segera memberi hormat lalu menggandeng lengan suhunya untuk dituntun ke ruangan dalam.

“Suhu kenapakah….!” Kui Lok tak dapat menahan lagi hatinya bertanya.

Lian Bu Tojin tidak menjawab, malah segera menjatuhkan diri duduk bersila diatas lantai sambil meramkan mata. Melihat suhunya mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan, para murid maklum bahwa suhu mereka itu sedang melawan serangan luka yang amat berbahaya, maka semua hanya duduk rnelihat dengan hati tidak karuan.

Ketika Lian Bu Tojin sudah bergerak lagi dan mengeluarkan tangan yang tadi disembunyikan ke dalam saku jubahnya, Thio Bwee mengeluarkan jeritan ngeri melihat tangan kanan gurunya sudah buntung itu.

“Suhu….! Tangan Suhu kenapakah…?” Thio Bwee menubruk gurunya, berlutut dan menangis.

“Suhu, siapa yang melakukan kekejian ini?”

Kui Lok juga menangis sambil bertanya, suaranya mengandung kemarahan dan sakit hati. Baru sekarang ia melihat pula bahwa pedang pusaka Hoa-san-pai yang tadinya dibawa oleh suhunya itu sekarang tidak kelihatan di punggung kakek ini, maka ia menjadi makin gelisah.





Lian Bu Tojin membuka matanya, menggeleng-geleng kepala perlahan sambil menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara yang amat lemah,

“Masih untung pinto kuat sampai disini….” Kembali ia meramkan mata agak lama, kemudian setelah membuka lagi matanya ia berkata, “Kui Lok… Thio Bwee… semua ini yang melakukan adalah Hong Hong… tapi kalian tidak usah menaruh dendam… pinto memang berdosa dan sudah sepatutnya menerima pembalasan ini. Hanya… pedang pusaka harus kalian minta kembali. Mintalah bantuan pada… Beng San di Min-san, hanya dia yang dapat menandingi Hong Hong dan Koai Atong. Mereka lihai sekali… malah Giam Kong juga tewas… pinto… bukan lawan mereka….”

“Suhu….!” Kui Lok sedih dan marah sekali. “Teecu pasti akan merampas kembali pedang pusaka!”

“Teecu akan mengadu nyawa dengan perempuan rendah Kwa Hong!” kata Thio Bwee sambil menangis.

Keadaan Lian Bu Tojin sudah payah sekali, napasnya memburu, akan tetapi ia masih sempat membuka mata dan berkata pula,

“… selain Beng San… mungkin hanya… supekmu…. Lian Ti Tojin… kalian coba minta tolong dia…., bilang pedang pusaka dirampas orang… ahh….”

Tak dapat lagi Lian Bu Tojin melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya roboh terguling dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuhnya! Dari saku jubahnya jatuh keluar sebuah benda kecil yang ternyata adalah buntungan tangannya yang sudah mulai mengering karena memang sengaja tadinya ditaruh obat oleh Lian Bu Tojin agar jangan membusuk.

Kui Lok dan Thio Bwee, juga para tosu tak dapat berbuat lain kecuali menangis sedih. Thio Bwee sampai pingsan melihat kematian suhunya yang amat mengenaskan hati ini. Dengan penuh kedukaan dan dalam suasana berkabung para tosu segera mengurus jenazah Ketua Hoa-san-pai itu.

Puncak Hoa-san diselimuti mendung tebal, mendung kemuraman hati para anggauta Hoa-san-pai yang kematian ketuanya secara demikian mengerikan.

Setelah upacara sembahyang dilakukan dan jenazah Ketua Hoa-san-pai itu di-masukkan dalam peti, penguburan ditunda untuk beberapa hari. Hal ini dilakukan karena para anggauta Hoa-san-pai hendak memberi kesempatan kepada para tamu yang hendak memberi penghormatan terakhir kepada Ketua Hoa-san-pai yang terkenal itu.

Dan orang-orang kang-ouw memang memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya. Dalam beberapa hari itu, puncak Hoa-san didaki banyak orang kang-ouw yang hendak menjenguk dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Lian Bu Tojin.

Akan tetapi tak seorangpun diantara mereka ini tahu akan sebab daripada kematian kakek ini, karena semua murid Hoa-san-pai merahasiakannya dan bila ada pertanyaan hanya menjawab bahwa guru besar itu meninggal dunia sewajarnya, yaitu karena usia tua.

Hal ini memang mereka sengaja karena yang menyebabkan kematian Lian Bu Tojin adalah Kwa Hong bekas murid Hoa-san-pai sendiri. Tentu saja hal ini amat memalukan kalau sampai terdengar oleh orang luar.

Sepekan kemudian jenazah Lian Bu Tojin dikebumikan dan Hoa-san-pai segera mengadakan rapat untuk membicarakan perkembangan dan keadaan perkumpulan mereka, juga untuk membicarakan tentang pesanan terakhir dari Lian Bu Tojin.

Para tosu serentak mengusulkan agar Kui Lok menggantikan kedudukan gurunya, yaitu mengetuai Hoa-san-pai. Hal ini mereka usulkan oleh karena biarpun Kui Lok dapat dibilang murid yang amat muda, akan tetapi dalam hal ilmu silat Kui Lok telah mewarisi kepandaian Lian Bu Tojin dan memiliki kepandaian paling tinggi diantara mereka.

Mendengar ini, Kui Lok dengan gugup berkata sambil mengangkat kedua tangannya,
“Ahhh…., para Suheng dan Susiok bagaimana bisa mengusulkan supaya siauwte yang masih muda dan bodoh menggantikan kedudukan mendiang Suhu? Bagaimana aku berani? Ah, aku sama sekali tidak berani menerima kedudukan itu, Hoa-san-pai adalah partai yang sudah ratusan tahun terkenal di dunia kang-ouw, dipimpin oleh orang-orang besar yang sakti. Bagaimana hari ini akan diletakkan di pundak seorang muda yang tidak berpengalaman seperti siauwte? Tidak, sekali lagi tidak, aku tidak berani menerima!”

Seorang tosu yang sudah tua dan bermuka sabar sekali segera berkata,
“Kui-sute harap jangan berkata demikian. Sudah semenjak dulu Hoa-san-pai disegani kawan ditakuti lawan karena ilmu silat yang diajarkannya. Oleh karena itu, mengingat bahwa diantara kita semua, diantara murid-murid Hoa-san-pai kiranya hanya Sute yang memiliki kepandaian paling tinggi pada waktu sekarang ini, maka siapa lagi kalau bukan Kui-sute yang menjadi pemimpin? Tentang kurang pengalaman, hal ini kiranya tidak perlu dirisaukan benar karena kita sudah biasa bekerja secara gotong royong, ada sesuatu boleh Sute rundingkan dengan kita bersama. Bukankah hal ini baik sekali?”

Kui Lok masih menaruh keberatan dan terjadilah perdebatan antara Kui Lok dan beberapa orang tosu tua yang mendesaknya supaya menerima kedudukan itu. Akhirnya Thio Bwee bicara, suaranya lantang dan nyaring,

“Para Suheng dan Susiok sekalian, harap suka mendengarkan pertimbanganku yang adil. Memang kalau dipikir, pendapat kedua pihak semua benar. Akan tetapi, mengapa hal pengangkatan ketua ini diributkan benar? Sepanjang pengetahuanku yang bodoh, seorang Ketua Hoa-san-pai adalah orang yang berhak memegang pedang pusaka kita, yaitu Hoa-san Po-kiam. Sekarang pedang pusaka itu berada di tangan orang jahat. Daripada ribut-ribut bicara tentang kedudukan ketua, kurasa lebih baik urusan pengangkatan ketua ini ditunda dulu. Kita bersama, tanpa ketua, berusaha merampas kembali pedang pusaka dan membunuh musuh yang telah mencelakai Suhu. Nah, setelah itu barulah kita bicara tentang ketua.”

Semua orang mengangguk-angguk setuju, karena memang kata-kata ini tepat sekali. Kui Lok juga girang mendengar ucapan ini, lalu ia berkata,

“Usul yang diajukan Thio-sumoi memang benar-benar amat tepat! Marilah kita bicara tentang usaha merampas kembali pedang pusaka kita.”

“Dan membunuh siluman betina Kwa Hong!”

Sambung Thio Bwee sambil menatap wajah tunangannya dengan pandang mata tajam. Kui Lok menarik napas panjang dan maklum akan isi hati tunangannya itu. Cemburu, apalagi? Memang sedikit banyak ada rasa benci dalam hati Thio Bwee terhadap Kwa Hong, karena bukankah dahulu Kui Lok jatuh hati kepada Kwa Hong?

“Kui-sute, pinto (aku) bersedia untuk pergi ke Min-san dan mohon bantuan Tan Ben San taihiap seperti yang dipesankan oleh mendiang Suhu….” kata seorang tosu.

“Mengingat akan hubungan antara Tan-taihiap dengan Hoa-san-pai, pinto rasa dia takkan menolak….”

Kui Lok mengerutkan keningnya. Terbayang di depan matanya semua pengalamannya dahulu. Tan Beng San merupakan seorang yang selalu ia anggap sebagai perintang hidupnya. Cinta kasihnya terhadap Kwa Hong dahulu gagal oleh karena Kwa Hong mencinta Tan Beng san! Dan beberapa kali pemuda itu muncul sebagai seorang yang lebih gagah daripadanya. Dan sekarang dia harus minta bantuan Beng San. Ah, ia tidak sudi! Terhadap diri Beng San ia sudah menanam perasaan tidak senang yang mendalam.

“Tidak, Siauwte tidak setuju sama sekali karena kita harus minta bantuan orang luar. Para Susiok dan Suheng harap ingat bahwa urusan ini adalah urusan dalam Hoa-san-pai. Pedang Hoa-san-pai dirampas oleh bekas murid Hoa-san-pai sendiri, mendiang Suhu dilukai oleh bekas murid Hoa-san-pai. Bagaimana kita ada muka untuk mencari bantuan orang luar? Bukankah dengan berbuat demikian nama besar Hoa-san-pai akan terjerurnus kedalam lumpur kehinaan?”

Para tosu itu menjadi kaget dan cepat-cepat menyatakan persetujuan mereka atas pandangan Kui Lok ini.

“Kalau begitu, satu-satunya jalan… kita harus ke Im-kan-kok….”

Keadaan menjadi sunyi, semua orang disitu merasa serem dan bergidik ketika mendengar sebutan Im-kan-kok ini. Im-kan-kok berarti Lembah Akhirat! Semua murid Hoa-san-pai sudah mengenal Im-kan-kok ini, karena lembah ini merupakan lembah gunung yang dipandang keramat dan juga menakutkan.

Ketika Ketua Hoa-san-pai masih hidup, yaitu Lian Bu Tojin, ketua ini berkali-kali memberi ingat kepada para murid agar sekali-kali jangan mendekati apalagi mencoba untuk memasuki Im-kan-kok, karena kalau ketahuan hukumannya adalah mati!






No comments:

Post a Comment