Ads

Tuesday, October 23, 2018

Raja Pedang Jilid 121

Sambil tertawa-tawa Giam Kin mencabut pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri, kemudian membentak keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan gerakan cepat sekali dia telah mengirim serangan bertubi-tubi ke arah Thio Ki dan Kui Lok.

Tentu saja dua orang pemuda Hoa-san ini segera menangkis dan balas menyerang. Namun segera dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah Giam Kin karena biarpun mengeroyok dua, segera sinar pedang Giam Kin mendesak dan menindih kedua pedang mereka.

Betapapun juga, karena dua orang pemuda ini sekarang bertempur dengan semangat menyala-nyala dan nekat, tidak mudah bagi Giam Kin untuk merobohkan mereka dalam waktu singkat.

Tadinya ketika melihat dua orang murid Hoa-san-pai itu saling serang untuk rnemperebutkan diri Kwa Hong, Beng San merasa amat kecewa dan muak sekali sehingga dia tidak ambil peduli. Bahkan kiranya dia akan mendiamkan saja andaikata melihat dua orang pemuda itu tewas di tangan musuh.

Akan tetapi sekarang, melihat perubahan sikap mereka, dia menjadi terharu dan girang serta kasihan juga. Melihat betapa mereka berdua sekarang mati-matian mempertahankan diri dari serangan Giam Kin yang ganas dan keji serta maklum bahwa tak lama lagi mereka tentu akan roboh, Beng San lalu mengambil keputusan untuk turun tangan sekarang juga. Betapapun juga akhirnya dia harus turun menolong Kwa Hong.

“Saudara Thio Ki dan Kui Lok, berikan iblis ular ini kepadaku!”

Sambil mengeluarkan seruan nyaring ini Beng San sudah melayang turun dan tahu-tahu dua orang seperguruan dari Hoa-san-pai itu tertolak mundur sampai beberapa tindak ke belakang sedangkan Giam Kin yang mendesak maju merasa tangannya sakit sekali.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa pedangnya di tangan kanan sudah pindah tangan, sekarang dipegang oleh pemuda yang bukan lain adalah Tan Beng San si pemuda sastrawan yang lemah dan tolol!

Giam Kin yang mukanya kepucat-pucatan itu menjadi makin pucat, sejenak dia berdiri terlongong. Geger di tempat itu ketika tahu-tahu muncul Beng San. Bukan saja para penjaga yang kaget, juga orang-orang sakti seperti Siauw-ong-kwi dan Hek-hwa Kui-bo terkejut bukan main, juga malu karena mereka sebagai orang-orang sakti sampai tidak tahu bahwa di atas genteng bersembunyi seorang muda yang agaknya telah mengintai semenjak tadi.

Adapun Thio Ki dan Kui Lok yang melihat munculnya Beng San dan menyaksikan kehebatan pemuda ini yangg sekaligus dapat merampas pedang Giam Kin, menjadi girang dan kagum bukan main. Mereka memutar pedang dan berteriaklah Thio Ki.

“Saudara Beng San lekas kau selamatkan Sumoi!”

“Betul! Kau larikan Hong-moi, biar kami berdua menahan mati-matian!” teriak pula Kui Lok sambil siap-siap menahan penyerbuan para musuh yang amat banyak itu.

Yang paling girang adalah Kwa Hong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini sudah maklum akan kelihaian Beng San, malah sudah secara berterang mengaku cinta, akan tetapi Ia kecewa mendengar pengakuan Beng San yang ternyata hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak, membuat ia patah hati dan lari pergi. Tadinya ia sudah merasa kecewa dan benci kepada Beng San, akan tetapi sekarang melihat munculnya pemuda yang sudah berhasil menguasai cinta kasihnya itu, timbul pula perasaan mesra dan dia berseru girang.

“San-ko, akhirnya kau datang juga menolongku!”

Akan tetapi Beng San tak dapat atau tak sempat menjawab semua seruan ini karena pada saat itu melayang beberapa orang yang segera menyerangnya dengan hebat. Mereka ini adalah Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin yang tidak malu-malu lagi lalu mengeroyoknya.

Beng San memutar pedang rampasannya dan melayani mereka mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang sekaligus merupakan gundukan sinar pedang yang amat hebat bagaikan nyala api berkobar-kobar dahsyat menghantam tiga orang lawannya.

Hek-hwa Kui-bo sudah tahu bahwa pemuda ini memiliki Im-yang Sin-kiam-sut maka dia tidak amat heran, yang amat kaget dan heran adalah Siauw-ong-kwi dan Giam Kin.

Sementara itu, Thio Ki dan Kui Lok maju menyerbu Pangeran Souw Kian Bi yang mereka anggap adalah pemimpin fihak musuh. Akan tetapi sebelum senjata mereka dapat mendekati pangeran itu, beberapa orang perwira telah meloncat maju dan menghadapi mereka. Sebentar saja Thio Ki dan Kui Lok telah dikeroyok oleh empat orang perwira yang berilmu tinggi dan mereka berdua kembali terdesak hebat.





Kwa Hong yang masih terbelenggu tangannya dapat menonton dengan hati berdebar, akan tetapi pandang matanya selalu diarahkan kepada Beng San. Hatinya gelisah akan tetapi juga lega, tidak penasaran seperti tadi. Sekarang ia mempunyai keyakinan bahwa andaikata ia mati, Beng San juga tewas di tangan musuh, kalau Beng San berhasil, tentu ia akan diselamatkan pemuda pujaan hatinya itu.

Mati hidup bersama Beng San, dan ia takkan penasaran lagi. Wajah yang tadinya pucat menjadi agak kemerahan, air matanya berhenti menitik dan pandang matanya berseri-seri.

Kalau dua orang murid Hoa-san-pai itu sudah nekat dan tidak mengenal takut lagi sedangkan Kwa Hong juga dalam kegembiraannya melihat Beng San tidak gentar menghadapi kematian adalah Beng San yang diam-diam merasa khawatir sekali.

Memang, dengan ilmu pedangnya dia masih dapat mempertahankan diri kalau hanya dikeroyok oleh Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Giam Kin saja. Apalagi penyerangan Hek-hwa Kui-bo mempergunakan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut yang sudah dihafalkan benar.

Dengan ilmu pedangnya dia tidak hanya dapat mempertahankan diri, bahkan dapat menyerang dengan gerakan-gerakan dahsyat sehingga setelah berlangsung dua puluh jurus, ujung pedangnya dengan sinarnya yang gemilang berhasil melukai pundak Giam Kin, membuat pemuda itu terhuyung mundur dengan ketakutan dan tidak berani maju lagi.

Akan tetapi melihat keadaan Thio Ki dan Kui Lok, yang sudah terdesak hebat, apalagi melihat Kwa Hong yang terbelenggu dan tak berdaya sama sekali, hatinya gelisah bukan main.

Kekhawatirannya terbukti ketika terdengar seruan mengaduh dan Kui Lok terhuyung-huyung, paha kirinya terluka golok lawan. Thio Ki memutar pedang dengan marah, akan tetapi diapun hampir roboh ketika pundak kirinya kena dikemplang toya seorang perwira.

Dua orang muda ini mengamuk hebat, sudah merobohkan empat orang lawan, akan tetapi karena jumlah lawan lebih besar dan selalu yang roboh ada penggantinya, akhirnya mereka terluka. Namun, patut dikagumi semangat Thio Ki dan Kui Lok, biarpun sudah terluka mereka masih memutar pedang dan Ilmu Pedang Hoa-san-pai yang cepat itu membuat para pengeroyok mereka belum dapat mendekati dua orang pemuda itu.

“Souw Kian Bi! Tan Beng Kui! apakah kalian tidak malu? Lepaskan tiga orang anak murid Hoa-san-pai. Bukankah dahulu kalian sudah berjanji dengan Lian Bu Tojin takkan memusuhi Hoa-san-pai?”

Beng San berteriak-teriak. Tanpa ragu-ragu dia menyebut nama kakaknya begitu saja karena sudah timbul kebencian dalam hatinya terhadap kakak kandungnya itu yang dianggapnya terlalu keji.

Kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Souw Kian Bi. Bukan main lihainya Beng San, biarpun sedang menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti, dia masih dapat mendengar percakapan mereka.

“Taijin, kalau kita ampunkan mereka, banyak keuntungan yang akan kita dapat.” bisik Tan Beng Kui.

Pangeran itu mengerutkan keningnya.
“Hemmm, Tan-ciangkun, apakah kau kasihan melihat adik kandungmu?”

Tan Beng Kui tertawa.
“Ha, kiranya Pangeran sudah tahu akan hal itu. Memang, dia itu adik kandungku yang dulu lenyap ditelan air bah. Akan tetapi setelah dia menjadi pembantu pemberontak, mana ada hubungan darah lagi antara dia dan aku? Usulku hanya untuk kebaikan kita, bukan untuk aku pribadi. Pertama, dengan mengampunkan murid-murid Hoa-san-pai, tentu Lian Bu Tojin akan berterima kasih dan akan melupakan permusuhan dengan kita, takkan suka membantu para pemberontak. Kedua kalinya, kulihat bocah itu lihai sekali ilmu silatnya. Kalau dia mau berjanji takkan memusuhi kita, apalagi kalau mau membantu, bukankah dia akan merupakan tenaga bantuan yang malah lebih hebat daripada para locianpwe itu? Dan lebih baik lagi kalau dapat mengikatkan dia dengan Hoa-san-pai, misalnya dengan…., mengawinkan dia dengan gadis Hoa-san-pai ini, sehingga mau tak mau dia tentu takkan mengingkari perjanjian Hoa-san-pai dengan kita. Lalu diatur begini…..”

Suara Tan Beng Kui menjadi bisik-bisik dan Beng San yang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi, tak dapat menangkap lagi apa yang diucapkan kakak kandungnya itu. Diam-diam dia mendongkol sekali dan lebih hati-hati terhadap kelicikan orang.

Tiba-tiba Pangeran Souw Kian Bi berdiri dari kursinya dan berseru menyuruh orang-orangnya berhenti menyerang. Thio Ki dan Kui Lok yang ditinggalkan para pengeroyoknya menjadi lemas dan setelah berhenti bersilat mereka merasa pening dan roboh tak bertenaga lagi.

Beng San juga melompat ke belakang ketika Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi menunda penyerangan mereka. Dengan tenang dan penuh tantangan Beng San berpaling kepada Souw Kian Bi.

“Hemmm, permainan apalagi yang hendak kau keluarkan, Pangeran?” tanyanya.

“Orang muda, kau hebat sekali. Sayang kalau orang seperti kau dan teman-temanmu ini sampai tewas disini.”

“Hemmm, mudah saja kau bicara. Siapa bilang kami akan tewas? Mungkin kau yang akan mati lebih dulu!” jawab Beng San.

“Ha, orang muda, selain hebat kau pun sombong dan berani sekali! Tidak perlu lagi kau membuka mulut besar disini karena kaupun tentu maklum bahwa andaikata kepandaianmu berlipat sepuluh kali, belum tentu kau dan teman-temanmu akan dapat lolos dari tempat ini. Apa kau hendak berkukuh bahwa kau dapat melawan ribuan orang tentara kami? Masukmu kesini mungkin dapat kau lakukan karena kurang telitinya penjagaan, akan tetapi bagaimana kau akan dapat lari pergi? Lihat!”

Telunjuk pangeran ini menuding ke sekelilingnya dan Beng San dengan lirikan matanya mendapat kenyataan bahwa tempat itu sudah terkurung rapat oleh ribuan orang tentara. Bahkan di atas genteng sekarang telah siap menanti banyak sekali tentara dengan anak panah terpasang di busur.

Jangankan seorang manusia, seekor burung yang pandai terbang sekalipun kiranya takkan mungkin meloloskan diri dari tempat itu. Akan tetapi dia masih bersikap tenang-tenang saja, malah sekali meloncat dia telah berada di dekat Kwa Hong, sekali renggut dan sekali tepuk dia telah berhasil memutuskan tali belenggu lengan gadis itu dan membebaskannya daripada totokan.

“San-ko, biarlah kita mati bersama…..”

Kwa Hong berkata mesra dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi ia merangkul lengan tangan Beng San.


Melihat ini, Thio Ki dan Kui Lok yang sudah lemas itu menjadi pucat dan mengeluh dalam hati. Mereka berebut mati-matian, kiranya gadis itu memilih orang lain!

“Pangeran Souw Kian Bi, sekarang apa yang menjadi maksud kehendakmu?” dengan tenang Beng San bertanya. “Jangan kau kira bahwa kami berempat takut akan kematian. Orang-orang gagah rela berkorban nyawa demi kebenaran dan keadilan.”

“Bagus, kau benar-benar gagah perkasa, Beng San. Dan kami amat suka melihat orang-orang gagah seperti kalian itu, sayang kalau sampai tewas. Kalian masih muda, berkepandaian tinggi.”






No comments:

Post a Comment