Ads

Thursday, October 18, 2018

Raja Pedang Jilid 120

Suara ketawa Pangeran Souw Kian Bi menyeramkan sekali dan Beng San melihat betapa wajah Kwa Hong menjadi makin pucat dan tubuh gadis itu menggigil, akan tetapi tetap saja gadis itu rmemandang kepada pangeran ini dengan mata mendelik.

Beng San bergidik ketika mendengar ucapan pangeran itu dan melihat betapa serdadu-serdadu yang berdiri di barisan belakang tertawa-tawa dan saling berbisik dengan sikap kurang ajar sekali. Juga dia melihat Kui Lok dan Thio Ki menjadi pucat. Thio Ki menoleh ke arah Kwa Hong, lalu berkata.

“Sumoi, berkatalah sedikit halus, ingat bahwa kita telah berada di tangan musuh. Biarlah aku menyerahkan nyawaku untuk keselamatanmu.”

Kemudian pemuda ini berkata kepada Souw Kian Bi,
“Taijin, kami tiga orang murid Hoa-san-pai tidak gentar menghadapi hukuman mati. Akan tetapi, demi prikemanusiaan, jangan menjatuhkan hukuman yang demikian hina dan rendah kepada sumoiku. Kalian boleh menghukum aku, boleh mencincang hancur tubuhku, akan tetapi, bebaskanlah sumoiku ini. Biarlah badanku menjadi penggantinya.”

Kui Lok cepat berkata,
“Tidak! Akulah yang bersedia menggantikan hukuman Hong-moi. Taijin, aku cinta kepada Hong-moi, jangan ganggu dia, biarlah kau jatuhkan hukuman yang sehebat-hebatnya kepada diriku saja asal kau bebaskan Hong-moi!”

“Lok-te, tutup mulutmu! Hong-moi adalah tunanganku, calon isteriku. Kwa-supek sudah merencanakan untuk menjodohkan dia dengan aku. Maka sebagai tunangannya, akulah yang patut membelanya dengan pengorbanan jiwa.”

“Siapa bilang bertunangan? Hal itu belum resmi dan Hong-moi sendiripun belum menerimanya. Dia tidak mencinta padamu, dan aku….. cintaku kepadanya lebih besar dan suci!”

Beng San menggeleng-geleng kepalanya. Tolol mereka berdua, pikirnya. Masa di dalam keadaan seperti itu mereka masih memperebutkan cinta kasih Kwa Hong? Juga Kwa Hong menjadi gemas sekali.

“Ji-wi Suheng mengapa meributkan urusan itu? Apapun hukumannya, akhirnya orang mesti mati, Siapa takut mati?”

Sementara itu, kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Pangeran Souw Kian Bi dan pangeran itu mengangguk-angguk dan tersenyum seperti iblis. Diam-diam Beng San mendongkol sekali.

Celaka, pikirnya. Kakak kandungnya itu ternyata jahat dan berbisa melebihi ular, tentu sudah mengajukan usul yang amat keji untuk menghukum tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Akan tetapi dia merasa belum waktunya turun tangan, hendak melihat perkembangannya terlebih jauh.

Souw Kian Bi sudah tertawa lagi, suara ketawanya licik, lalu dia berkata,
“Seorang diantara kalian berani rela berkorban?” tanyanya jelas ditujukan kepada Thio Ki dan Kui Lok.

“Aku rela berkorban nyawa untuk sumoi!” kata Thio Ki.

“Tidak, lebih baik aku saja. Aku akan mati seribu kali untuk menolong Hong-moi yang tercinta,” kata Kui Lok.

Pangeran itu tertawa lagi.
“Bagus, kalian ini orang-orang muda mabuk cinta. Kalau seorang diantara kalian mati, yang lain akan bebas dan pergi bersama nona ini menjadi suaminya. Nah, sekali lagi, siapa diantara katian mau mati dan memberikan nona ini kepada yang lain?”

Wajah dua orang saudara itu seketika menjadi pucat, mulut mereka terbuka tapi tidak ada suara keluar. Sampai lama mereka diam saja dan hanya suara ketawa Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui yang terdengar. Diam-diam Beng San gemas sekali kepada dua orang muda murid Hoa-san-pai itu. Benar-benar tolol dan mau saja dijadikan bahan kelakar.

“Sekarang keputusanku begini,” kata pula Souw Kian Bi setelah berkedip main mata kepada Tan Beng Kui. “Kalian berdua boleh bertanding dan nona ini akan kuberikan kepada pemenang pertandingan.”

Setelah berkata demikian, pangeran ini mencabut pedangnya dan dua kali tabas terbebaslah belenggu yang mengikat tangan kedua orang muda itu.





“Ambilkan dua batang pedang,” katanya lagi.

Dua orang penjaga maju menyerahkan dua batang pedang kepada Thio Ki dan Kui Lok. Seperti orang dalam mimpi tanpa disadari lagi dua orang muda itu menerima pedang di tangan, sinar mata mereka penuh dendam dan nafsu membunuh!

“Thio-suheng dan Kui-suheng, apakah kalian telah gila?” teriak Kwa Hong dengan gemas sekali. “Setelah bersenjata tidak segera menghancurkan musuh, malah saling gempur sendiri. Mana kegagahan kalian?”

Dua orang muda itu nampak ragu-ragu mendengar ucapan gadis yang mereka cinta ini. Akan tetapi mereka jerih untuk menyerang musuh yang begitu banyaknya, pula, mereka dapat berbuat apakah dengan adanya lawan yang selain banyak juga sakti-sakti itu?

Setelah Pangeran Mongol ini sekarang menjanjikan kebebasan dan diri Kwa Hong kepada pemenang, bukankah ini jalan satu-satunya untuk dapat bebas bagi mereka, setidak-tidaknya bagi dua orang diantara mereka?

“Sumoi, urusan dirimu diantara kami memang tak pernah akan beres tanpa ada keputusan terakhir. Salah seorang diantara kami harus mati lebih dulu agar yang hidup dapat memperoleh dirimu,” kata Thio Ki dengan suara tegas. “Kui Lok, kau mulailah!”

Kui Lok meragu sejenak, akan tetapi segera dia memandang kepada Kwa Hong dan berkata,

“Adik Hong, kalau aku yang kalah dan mati, biarlah kau hidup bahagia dengan Suheng.”

Setelah berkata demikian pedangnya menyambar dan dia sudah mulai membuka serangan. Thio Ki cepat menangkis dan segera dua orang pemuda murid Hoa-san-pai ini sudah saling serang dengan hebat dan seru.

Dengan air mata berlinang Kwa Hong melihat pertempuran ini. la merasa amat menyesal dan kecewa akan kebodohan dua orang suhengnya itu yang begitu tolol sehingga mau dipermainkan oleh Pangeran Mongol, kecewa melihat suheng-suhengnya itu di dalam tahanan musuh masih meributkan soal cinta dan masih saling memperebutkan dirinya.

Dahulu, ketika masih berada di Hoa-san, ia kadang-kadang merasa bangga dan senang melihat dua orang pemuda ini bersaing untuk merebut hatinya, akan tetapi sekarang ia merasa malu sekali akan sikap mereka. la anggap mereka itu berwatak rendah.

Air matanya makin deras mengalir keluar dan terbayanglah wajah Beng San. Alangkah jauh bedanya dua orang suhengnya ini dengan Beng San. Kalau saja ia tertawan musuh bersama Beng San, kiranya takkan begini jadinya. Takkan begini sikap Beng San yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Teringat akan Beng San air matanya makin deras mengucur. Alangkah rindu hatinya untuk bertemu sekali lagi dengan pemuda itu sebelum ia tewas di tangan musuh, sebentar saja untuk menyatakan perasaan cinta kasihnya.

Pertempuran antara Thio Ki dan Kui Lok berjalan makin seru dan ramai. Memang kedua orang muda ini setingkat kepandaiannya, apalagi mereka memang terdidik semenjak kecil dalam satu perguruan, tentu saja sudah saling mengenal gerakan masing-masing.

Bagi orang yang mengenal ilmu pedang Hoa-san-pai, tentu menyangka mereka itu main-main saja atau sedang berlatih, akan tetapi bagi orang luar mereka kelihatan sedang bertempur dengan hebat, karena memang ilmu pedang Hoa-san-pai kelihatan amat cepat dan bergaya indah.

Sesungguhnya mereka ini sama sekali tidak main-main, melainkan saling serang dengan mengeluarkan gerakan-gerakan mematikan. Tiada lagi pilihan bagi Thio Ki dan Kui Lok. Mereka harus memilih satu antara dua, membunuh lawan untuk bebas bersama Kwa Hong, atau terbunuh. Sudah tentu saja tak seorang diantara mereka sudi mengalah, bukan persoalan matl hidup yang penting bagi mereka, melainkan persoalan mendapatkan atau kehilangan diri Kwa Hong, yang mereka cinta!

“Thio-suheng! Kui-suheng! Dengarkan aku baik-baik!” tiba-tiba Kwa Hong berseru nyaring dengan suara terisak. “Dengar sumpahku ini, siapapun juga diantara kalian yang menang dalam pertandingan ini, aku tidak sudi menjadi isterimu! Nah, dengar! Siapapun juga yang menang, takkan menjadi suamiku malah akan menjadi musuh besarku selama hidup karena telah membunuh seorang saudara seperguruan!”

Seketika wajah dua orang pemuda Hoa-san itu menjadi pucat dan pedang mereka tertahan. Peluh memenuhi leher dan muka, mata mereka memandang ke arah Kwa Hong dengan sedih, kaget dan bingung.

“Sumoi….. kalau begitu….. siapakah yang kau….. kau cinta?” tanya Thio Ki dengan suara serak.

“Ya, katakan siapa orangnya yang kau cinta, Hong-moi, agar kami tidak penasaran dan tidak menganggap kau membohong untuk mencegah kami saling bertempur,” kata Kui Lok dengan wajah pucat.

Kwa Hong bingung mendengar kata-kata mereka itu. la maklum bahwa kalau ia tidak bisa menjawab, keduanya tentu akan bertanding lagi karena menganggap bahwa dia hanya membohong untuk mencegah mereka saling serang. Kalau ia mengaku,ah, bukankah hal itu amat memalukan? Akan tetapi, keadaan sudah mendesak, daripada kedua suhengnya mati saling serang, lebih baik mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah.

Pula, dia sendiri sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup lebih lama lagi atau keluar dari tempat ini dengan selamat, maka apa salahnya kalau ia mengeluarkan isi hatinya? Dengan muka merah, air mata mengalir di kedua pipinya, tapi sambil mengangkat dada dan dengan suara yang nyaring ia berkata.

“Aku mencinta kanda Beng San”

Pada saat itu terdengar suara ketawa keras.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya nona manis ini tidak suka menjadi isteri seorang diantara suhengnya.”

Dan cepal sekali seperti terbang saja tahu-tahu tubuh Giam Kin sudah berada di tengah ruangan itu. la menoleh ke arah Souw Kian Bi dan menjura sambil berkata.

“Taijin tadi menyatakan bahwa siapa yang menang akan mendapatkan diri nona Kwa Hong yang manis ini. Sekarang dua orang Hoa-san ini tidak mau lagi saling serang agaknya, biarlah hamba merobohkan mereka berdua dan hadiahnya tentu saja diri nona manis ini. Mengharapkan perkenan Taijin.”

“Giam Kin, bukankah nona yang satu lagi dari Hoa-san-pai yang kau cinta?” tanya Souw Kian Bi sambil tersenyum.

Giam Kin tertawa lagi memandang ke arah Kwa Hong sambil menyeringai.
“Yang itu juga cinta, yang ini juga suka. Kalau bisa kedua-duanya pun boleh. Ha-ha-ha!”

“Dasar mata keranjang. Nah, kau hadapi dua orang itu, kalau kau menang, boleh kau ambil nona ini,” kata Souw Kian Bi pula sambil tertawa geli.

Sementara itu, pengakuan Kwa Hong bahwa dia mencinta Beng San tadi memang sudah dapat diduga lebih dulu oleh Thio Ki dan Kui Lok. Dahulu, di puncak Hoa-san, ketika Kwa Tin Siong hendak memaksa Kwa Hong menikah dengari Thio Ki, gadis inipun memberontak dan menolak, malah berani mengaku di depan ayahnya bahwa dia suka kepada Beng San.

Akan tetapi dahulu itu mereka semua mengira bahwa Kwa Hong yang terkenal keras hati, keras kepala itu mengaku demikian hanya untuk mencari alasan penolakannya belaka. Pada waktu itu, siapa bisa percaya bahwa Kwa Hong mencinta seorang pemuda tolol seperti Beng San? Tapi pengakuan sekarang ini lain lagi, tak mungkin Kwa Hong main-main di depan jurang kematian.

Dua orang saudara seperguruan ini saling pandang dan mata mereka menjadi basah. Sungguh mereka senasib sependeritaan. Keduanya kehilangan ayah, dan keduanya sekarang kehilangan kekasih. Dalam pertemuan pandang mata ini sekaligus lenyap semua kebencian, lenyap semua persaingan, dan timbullah kasih sayang antara saudara seperguruan yang mesra.

Timbul kasih sayang dan kesetiakawanan. Baru terbuka mata hati mereka betapa mereka tadi bersikap pengecut dan amat mementingkan diri sendiri saja. Baru teringat bahwa sebagai murid-murid Hoa-san-pai seharusnya mereka bersikap gagah perkasa, menghadapi kematian di tangan musuh dengan pedang di tangan, siap mati demi membela kebenaran, apalagi dalam hal ini membela tanah air dan bangsa.

“Lok-te, mari kita basmi anjing-anjing penjajah” bisik Thio Ki.

“Ki-suheng, aku sehidup semati denganmu!”

Keduanya melangkah maju, saling peluk dengan air mata bercucuran. Kemudian keduanya membalik menghadapi Giam Kin dengan pedang di tangan. Kini pedang itu tetap dan kokoh dalam genggaman tangan orang-orang yang sudah siap mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!






No comments:

Post a Comment