Ads

Thursday, October 18, 2018

Raja Pedang Jilid 119

Bukan main marahnya Souw Kian Bi. wajahnya yang tampan menjadi merah.
“Bawa dia keluar, robek jadi empat dengan empat ekor kuda!” perintahnya kepada para penjaga.

Beng San yang mendengarkan di atas genteng merasa ngeri dan timbul keinginan hatinya untuk menolong. la sudah mendengar tentang cara-cara menghukum yang amat keji dari pangeran ini, di antaranya hukuman robek menjadi empat potong.

Hukuman ini dilakukan dengan cara mengikat dua lengan dan dua kaki orang itu pada empat ekor kuda yang kemudian dicambuk supaya lari ke arah empat jurusan. Dengan cara seperti ini, tubuh orang akan robek menjadi empat potong yang ditarik ke empat jurusan oleh kuda-kuda kuat itu.

Bagaimana dia dapat membiarkan hal ini terjadi pada diri seorang patriot yang gagah perkasa? Harus kutolong dia, pikir Beng San dengan hati berdebar. la maklum bahwa untuk menolong orang itu. sama sekali tidak sukar, akan tetapi untuk berhasil meloloskan diri dari tempat berbahaya itu masih amat menyangsikan, apalagi kalau orang-orang sakti didalam itu keluar semua dan menghalanginya.

Tiba-tiba dia melihat cahaya berkelebat dalam ruangan itu. Tubuh Gouw Bun yang tadinya diseret-seret oleh para penjaga itu roboh tak berkutik lagi dengan dada kiri tertembus pedang, sedangkan Tan Beng Kui nampak memasukkan lagi pedangnya yang sedikitpun tidak bernoda darah, lalu dia duduk kembali dengan tenang.

Beng San bengong. Bukan main hebatnya gerakan kakak kandungnya itu. Mencabut pedang langsung menyerang dan tepat menusuk ke arah jantung dilakukan demikian cepat dan tepatnya sehingga dia sendiri sampai silau matanya memandang, apalagi melihat betapa pedang itu sama sekali tidak bernoda darah, benar-benar merupakan gerakan ilmu pedang yang luar biasa lihainya.

“Hebat….. hebat….. itulah ilmu pedang yang hebat!” terdengar Siauw-ong-kwi memuji.

“Mirip gerak tipu ilmu pedangku! Hem….. Tan-ciangkun, siapa yang mengajarkan gerakan itu kepadamu?” kata Hek-hwa Kui-bo.

Diam-diam Beng San juga merasa heran oleh karena dia tadipun merasa betapa gerakan ilmu pedang tadi mempunyai persamaan, setidaknya sama dasarnya dengan ilmu pedangnya, Im-yang Sin-kiam-Sut.

“Ah, ilmu pedang pungutan dari jalanan, mana ada harganya mendapat perhatian Locianpwe?” jawab Tan Beng Kui merendah kepada Hek-hwa Kui-bo.

Nenek ini masih penasaran dan hendak bertanya lagi akan tetapi ia didahului Pangeran Souw Kian Bi yang bertanya dengan suara tak senang.

“Tan-ciangkun, kenapa kau membunuhnya? Apa kau tidak suka mendengar dia kujatuhi hukuman tadi?”

Tan Beng Kui tersenyum dan menjuru kepada Souw Kian Bi.
“Harap Taijin maafkan kepadaku. Aku tadi tak kuat menahan kemarahan menyaksikan kesombongan sikap setan pemberontak itu, maka telah berani turun tangan sendiri untuk melampiaskan kemarahan. Baru puas hatiku kalau sudah membunuhnya dengan tangan sendiri.”

Souw Kian Bi tersenyum juga.
“Kau agaknya luar biasa bencimu kepada orang Pek-lian-pai. Ha-ha-ha…..”

Lalu kepada para penjaga pangeran ini memberi perintah supaya membawa pergi mayat itu dan menyeret masuk orang kedua.

Hati Beng San panas dan perih. Ia merasa kecewa sekali melihat kenyataan betapa kakak kandungnya memusuhi para pejuang yang dianggapnya pemberontak, Melihat kakak kandungnya sendiri dengar ganas membunuh seorang Pek-lian-pai yang demikian gagah perkasa dan patriotik, sungguh membuat Beng San merasa penasaran, kecewa dan marah.

Kalau kau tak dapat mengubah pendirian, agaknya aku sendiri akan memusuhimu, pikirnya sambil memandang kepada kakak kandungnya yang sudah duduk di sebelah Souw Kian Bi melihat orang kedua yang sudah diseret masuk.

Orang ini masih muda, belum tiga puluh tahun usianya, tubuhnya besar dan kuat, mukanya gagah. Dilihat tubuh dan mukanya, benar-benar jauh bedanya dengan orang pertama tadi.





Akan tetapi alangkah jauh pula bedanya sikap orang ini dengan yang tadi. Begitu diseret masuk, orang ini sudah mengeluh dan tanpa diperintah lagi dia menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Kian Bi. Melihat sikap ini saja sudah muak perut Beng San.

“Siapa namamu dan apa yang hendak kau katakan setelah kau tertawan?” tanya Pangeran Souw Kian Bi, agaknya gembira melihat sikap tawanan ini.

“Hamba Bhe Ti Gi, hamba….. hamba mohon pengampunan Taijin….. hamba adalah seorang bekas pedagang di Kwi-bin, hamba….. hamba hanya ikut-ikutan saja di Pek-lian-pai, bukan apa-apa….. hamba mohon ampun…..” Orang itu lalu menangis ketakutan.

“Pengecut hina!”

Beng San memaki dalam hatinya dan ingin sekali dia menampar muka orang itu. Akan tetapi Souw Kian Bi tertawa bergelak lalu bertanya, suaranya halus.

“Bhe Ti Gi, gampang memberi ampun. Akan tetapi kau harus memberi keterangan tentang dua orang pemimpinmu di kota raja, yaitu Ji-enghiong dan Si-enghiong. Apa yang kau ketahui tentang mereka?”

Dengan muka berseri penuh harapan orang itu mengangkat muka dan berkata.
“Tentu saja hamba tahu tentang diri mereka itu, Taijin! Akan tetapi, sesudah hamba memberi keterangan, betulkah hamba akan diampuni dan dibebaskan?”

“Sraaattt!” Sinar pedang menyilaukan mata ketika Beng Kui mencabut pedangnya dan membentak, “Bedebah kau! Keparat berlidah ular! Tak usah kau memutar-mutar omongan, kalau tahu tentang mereka berdua, lekas ceritakan. Soal pengampunan tak perlu disebut-sebut!” Pedangnya tergetar di tangannya membuat tawanan itu menjadi pucat sekali.


Hemmm, Benar-benar dia benci kepada para pejuang, pikir Beng San. Akan tetapi kali ini tidak panas hatinya karena memang diapun benci kepada Bhe Ti Gi yang berwatak khianat dan pengecut itu.

“Am….. ampun…..” Bhe Ti Gi gemetar seluruh tubuhnya, “hamba….. hamba tahu tentang Ji-enghiong dan Si-enghiong ….. memang semenjak bertahun-tahun mereka itu terkenal sebagai pemimpin-pemimpin rahasia di kota raja. Banyak mereka memberi tahu kepada kami tentang keadaan pertahanan pasukan pemerintah. Tapi tak seorang pun diantara kami semua tahu bahwa Si-enghiong adalah Kwee Sin murid Kun-lun-pai sedangkan Ji-enghiong adalah nona yang bernama Lee Giok itu…..”

“Nah, berterus terang lebih baik,” kata Tan Beng Kui sambil menyimpan pedangnya lagi.

“Katakan sekarang kemana larinya nona Lee Giok atau Ji-enghiong itu, jawab dan jangan membohong!”

“Hamba….. hamba mana tahu…..? Hamba hanya anggauta biasa….. hamba tidak tahu dan mohon ampun…..”

“Hemmm, tikus macam ini untuk apa dilayani lagi, Taijin? Tak patut diberi ampun, lebih baik dihukum mampus agar semua anggauta Pek-lian-pai yang mendengar menjadi ketakutan,” kata pula Tan Beng Kui dengan suara kejam.

Souw Kian Bi tertawa lalu memberi perintah kepada para penjaga.
“Beri hadiah seratus kali rangketan!”

Bhe Ti Gi mengeluh dan memohon ampun, akan tetapi dengan kasar para penjaga lalu memaksa dia menelungkup, kemudian terdengar suara gebukan berkali-kali diseling Jerit kesakitan tawanan itu.

“Goblok! Kenapa memukul seperti orang kelaparan tak bertenaga lagi? Pukul yang keras, pada punggungnya!” bentak Tan Beng Kui.

Kasihan juga Bhe Ti Gi. Pukulan tadi saja kalau dilanjutkan sampai seratus kali, tentu dia takkan tahan. Sekarang karena teguran Tan Beng Kui, algojo yang melakukan hukuman ini memperkeras pukulannya sehingga dia menjerit-jerit seperti babi disembelih diiringi suara ketawa para perwira dan serdadu.

Baru empat puluh kali saja tulang punggungnya sudah patah-patah dan dia berkelojotan lalu tak berkutik lagi. Souw Kian Bi memberi perintah supaya mayat kedua inipun disingkirkan dari situ, kemudian menyuruh para penjaga dengan suara keras.

“Bawa masuk tiga orang murid Hoa-san-pai itu.”

Berdebar jantung Beng San mendengar perintah ini. Tadi melihat. penyiksaan terhadap diri Bhe Ti Gi, timbul juga perasaan kasihan dihatinya, namun ditahan-tahankannya karena dia maklum bahwa menolong Bhe Ti Gi berarti mendatangkan bahaya besar bagi dirinya sendiri. Sedangkan tujuan kedatangannya ke tempat itu adalah untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai terutama Kwa Hong, maka dia menahan sabar memalingkan muka tidak mau memandang penyiksaan itu.

Sekarang mendengar bahwa murid-murid Hoa-san-pai hendak dibawa masuk, dia memandang penuh perhatian dan bersiap-siap menolong. la telah memperhitungkan bahwa kiranya di tempat seperti ini tak mungkin baginya untuk menolong tiga orang itu sekaligus, maka dia mengambil keputusan untuk menolong Kwa Hong seorang lebih dahulu, baru kemudian merencanakan pertolongan Thio Ki dan Kui Lok.

Tiga orang muda itu, Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok, digiring masuk ruangan. Seperti juga yang lain-lain, mereka dibelenggu kedua lengan mereka ke belakang. Akan tetapi tiga orang ini bersikap gagah, melangkah maju dengan kepala dikedikkan dan dada dibusungkan sedangkan sepasang mata mereka memandang tajam ke depan, penuh sikap menantang.

Diam-diam Beng San kagum sekali melihat sikap tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Dan jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Kwa Hong yang cantik jelita itu agak pucat, sepasang mata yang biasanya berseri dan bening itu kini berkilat-kilat penuh kemarahan. Kwa Hong, kau gagah dan cantik sekali, bisik hatinya dan keinginannya untuk menolong gadis ini makin menggelora, kalan perlu akan dia pertaruhkan nyawanya.

Agaknya karena maklum bahwa tiga orang muda ini bukanlah tergolong pemberontak dan terdiri dari orang-orang gagah perkasa, para penjaga tidak berlaku kasar seperti terhadap yang lain tadi. Mereka bertiga berdiri tegak di depan Souw Kian Bi dengan sikap angkuh dan berani.

“Ha-ha-ha, murid-murid Hoa-san-pai benar-benar sombong! Hemmm, hendak kulihat nanti kalau kalian sudah menggeletak tak berkepala tagi, apakah masih dapat bersikap sombong seperti sekararig ini,” kata Pangeran Souw Kian Bi dengan suara mengejek untuk menyembunyikan perasaannya yang tersinggung oieh sikap tiga orang muda ini.

“Dan hendak kulihat juga apakah tua bangka Lian Bu Tojin yang melanggar janjinya itu dapat menolong kalian. Ha-ha-ha!”

“Manusia berbatin rendah!” terdengar suara Kwa Hong memaki, suaranya nyaring sekali. “Siapakah yang takut akan mati? Anak murid Hoa-san-pai tidak takut mati dan kalau kau si hina hendak membunuh kami, silakan, silakan. Tak perlu kau menyebut-nyebut nama besar guru kami. Adalah kau yang berbuat hina, dahulu kau telah menculik aku dan suciku dan kau pergunakan itu untuk memaksa suhu berjanji untuk tidak membantu kaum pejuang. Akan tetapi, kiranya kau yang melanggar janji, kau datang membawa anjing-anjingmu menyerbu Hoa-san. Hemmm, mati sebagai orang gagah seribu kali lebih baik daripada hidup sebagai manusia rendah macam engkau!”

Hampir saja Beng San bertepuk tangan memuji mendengar ucapan dan melihat sikap Kwa Hong yang gagah perkasa ini. Souw Kian Bi memukul meja di depannya sehingga terdengar suara Keras.

“Perempuan liar. Disini kau masih hendak bersikap gagah-gagahan? Hermm, hukuman mati masih terlampau ringan bagimu setelah kau berani mengeluarkan ucapan kurang ajar tadi. Lihat nanti, aku akan membikin kau menjadi lebih hina daripada yang paling hina. Aku akan memberikan kau sebagai barang permainan sepasukan tentaraku yang paling rendah pangkatnya. Ha-ha-ha!”






No comments:

Post a Comment