Ads

Thursday, October 18, 2018

Raja Pedang Jilid 118

Dengan melakukan perjalanan cepat dan tak mengenal lelah Beng San mengejar barisan pemerintah yang telah menawan Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok. Akan tetapi biarpun dia sudah berhasil menyusul barisan yang sisanya tinggal beberapa puluh orang saja itu, dia tidak melihat adanya tiga orang muda murid Hoa-san-pai yang tertawan. Ia menjadi heran dan juga curiga di samping merasa gelisah sekali kalau mengingat akan nasib mereka, apalagi kalau dia memikirkan Kwa Hong.

Malam hari itu dia terus berlari cepat, akan tetapi belum juga dia dapat menyusul mereka yang membawa tawanan-tawanan itu. la menduga bahwa tentu Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang melarikan tawanan-tawanan itu, maka dapat demikian cepat larinya.

Untuk melenyapkan keraguannya, dia menangkap seorang serdadu yang sedang berjalan bertiga dengan temannya sambil menggotong seorang teman yang luka. Serdadu-serdadu itu terheran-heran dan ketakutan ketika dalam keadaan gelap itu berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu seorang telah lenyap tak berbekas dan tak meninggalkan suara apa-apa!

“Am….. ampunkan hamba…..”

Serdadu itu meratap-ratap ketika dia merasa betapa tubuhnya dibawa melompat tinggi dan diletakkan di atas ranting-ranting pohon yang tingginya bukan main dan bergoyang-goyang hampir tak kuat menahan tubuhnya.

la mengira bahwa tentu dia diculik oleh iblis karena semenjak tadi penculiknya tidak bicara, juga tidak kelihatan mukanya karena selain gelap, juga dia sudah tidak mampu menggerakkan kepala untuk menengok dan melihat wajah orang yang mengempitnya.

“Hemmm, kau masih ingin hidup? Kau sudah membantu orang-orang berdosa, menculik tiga orang muda dari Hoa-san-pai, sekarang kau hendak kutinggalkan disini biar jatuh dan mampus! Ha-ha-ha!”

Beng San mengerahkan Iweekangnya membuat suaranya terdengar besar menyeramkan dan menusuk telinga.

“Ampunkan hamba….. hamba hanyalah tentara biasa, hanya mentaati perintah.”

“Hayo katakan, siapa yang membawa pergi tiga orang muda itu? Cepat mengaku, kalau tidak akan kucabut nyawamu sedikit demi sedikit!”

Orang itu makin percaya bahwa yang mengganggunya ini tentu iblis, karena sekarang suara itu terdengar tinggi melengking, jauh bedanya dari tadi, dan terdengar suara tidak kelihatan orangnya pula.

“Mereka….. mereka dibawa oleh Giam kongcu dan rombongannya…..”

“Kemana?”

“Ke markas besar di Tiang-bun-kwi…,?.

“Dimana letaknya Tiang-bun-kwi?”

Saking takutnya serdadu itu sampai tidak dapat memikirkan bahwa kalau yang bertanya iblis kiranya akan tahu pula kemana tawanan-tawanan itu dibawa pergi. Akan tetapi dia sudah terlampau takut sehingga tak dapat mempergunakan pikiran sehat pula.

“Di sebelah barat kota raja….”

la menahan jeritnya karena merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. la tidak tahu bahwa Beng San menariknya dan membawanya turun. Tahu-tahu dia pada keesokan harinya siuman dari pingsannya dan berada di bawah sebatang pohon besar lagi tinggi. Tentu saja dia makin percaya bahwa semalam dia diganggu setan maka dia lari secepat mungkin dari tempat itu!

Sementara itu, Beng San menjadi girang setelah mendengar bahwa tiga orang tawanan itu dibawa oleh rombongn Giam Kin ke Tiang-bun-kwi. Segera dia melakukan pengejaran di malam hari itu juga. Perjalanan jauh itu tak membuat dia lemah semangat, dia hanya berhenti mengaso kalau lapar perutnya tak dapat dipertahankan lagi dan hanya berhenti mengaso sejenak untuk melemaskan urat-urat kakinya. Pada keesokan harinya, menjelang malam tibalah dia di Tiang-bun-kwi.





Beng San kaget dan khawatir sekali ketika melihat keadaan Tiang-bun-kwi. Dusun di luar kota raja ini ternyata merupakan markas besar yang amat kuat, menjadi pusat penjagaan kota raja sebetah barat. Dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa di situ berkumpul sedikitnya sepuluh ribu orang serdadu pemerintah yang setiap hari berpatroli melakukan penjagaan untuk mencegah penyerbuan lawan dari sebelah barat.

Dan Kwa Hong bersama dua orang suhengnya dibawa ke markas yang kuat ini!
Betapapun hebatnya berita yang dia dengar tentang Tiang-bun-kwi, Beng San tidak takut. Untuk menolong tiga orang itu, terutama sekali Kwa Hong, dia rela berkorban nyawa.

Setelah hari menjadi gelap, dia berhasil menyusup ke dalam benteng besar dan bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan gelap. la mendengar ribut-ribut dan melihat banyak tentara hilir-mudik dan sibuk sekali, seperti terjadi sesuatu yang penting.

Lalu disusul suara terompet dan tambur. Lapat-lapat terdengar oleh Beng San suara mereka menyatakan bahwa ada tamu agung datang mengunjungi benteng itu. Terdengar kaki kuda dari luar dan….. berdebar jantung Beng San ketika melihat bahwa yang datang adalah Tan Beng Kui bersama Pangeran Souw Kian Bi, didahului pengawal membawa bendera kebesaran dan diiringkan pengawal bersenjata lengkap.

Beberapa orang perwira yang dipimpin komandan benteng itu sendiri menyambut kedatangan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Melihat cara mereka memberi hormat kepada dua orang pendatang ini dapat diketahui bahwa di samping Souw Kian Bi yang kedudukannya sebagai Pangeran Mongol, juga Tan Beng Kui mempunyai kedudukan tinggi dan penting.

Sakit hati Beng San melihat kakak kandungnya itu dihormati sebagai seorang pembesar pemerintah Mongol yang dalam pandangan matanya malah sebaliknya, yaitu sebagai antek atau anjing pemerintah penjajah.

Melihat betapa rombongan itu memasuki ruangan setelah turun dari kuda, Beng San dengan hati-hati lalu melompat ke atas genteng di depan. Setelah mencari-cari dengan teliti dari atas, akhirnya dia tahu bahwa rombongan itu duduk dalam sebuah ruangan yang lebar dan amat terang.

la membongkar genteng dan akhirnya dapat juga pemuda itu mengintai ke bawah dengan hati-hati. Dilihatnya banyak orang di ruangan yang luas itu dan kaget juga dia melihat bahwa Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi juga berada di ruangan yang luas itu.

Tidak ketinggalan Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin yang agaknya sekarang rapat hubungannya dengan ketua Ngo-lian-kauw itu, buktinya mereka duduk berdekatan dan Giam Kin sering kali tersenyum-senyum kepada ketua Ngo-lian-kauw yang masih cantik itu. Beberapa orang perwira duduk pula disitu dan sekeliling ruangan terjaga oleh tentara yang memegang tombak.

“Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Locianpwe yang telah membantu penumpasan para pemberontak sehingga berhasil dengan terbunuhnya Kwee Sin yang ternyata adalah Si-enghiong pemimpin pemberontak. Jasa Ji-wi dan para saudara tentu akan saya catat untuk diberi pahala,” kata Pangeran Souw Kian Bi.

“Sayang sekali, Ji-enghiong yang ternyata adalah nona Lee Giok itu tak dapat tertangkap atau terbunuh,” kata Beng Kui mencela.

“Perempuan hina itu diam-diam telah lari tanpa diketahui orang selagi pertempuran hebat terjadi. Kalau tidak demikian, mana dia mampu terlepas dari tanganku?” Hek-hwa Kui-bo mendengus.

Siauw-ong-kwi tertawa bergelak.
“Kui bo, kau sendiri ketika itu repot menghadapi seorang pemuda sastrawan gila, mana kau ada kesempatan menangkap gadis yang diam-diam menjadi pemimpin pemberontak itu? Ha-ha-ha!”

“Iblis tua bangka, jangan sombong kau. Menghadapi seorang pemuda gila, mana aku sudi turun tangan? Sebaliknya, kau hampir tak sempat bernapas menahan pedang ketua Kun-lun-pai!” balas Hek-hwa Kui-bo marah.

“Sudahlah, hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan pula,” kata Tan Beng Kui, suaranya tegas. “Biarpun dia sebagai Ji-enghiong amat merugikan kita, setelah dia lari pergi, apa artinya seorang musuh seperti nona muda itu? Pula, kita dapat sekarang mengerahkan pasukan pergi menangkap orang tuanya. Dengan menahan orang tuanya, apakah nona itu akhirnya takkan menyerahkan diri?”

Pangeran Souw Kian Bi menggebrak meja dengan marah, mengagetkan semua orang.
“Keparat betul! Siapa kira di kota raja sudah berkeliaran mata-mata pemberontak demikian banyaknya. Tan-ciang-kun, aku belum memberitahukan kepadamu. Setelah timbul dugaanku bahwa Lee Giok adalah Ji-enghiong, aku segera menyuruh orang-orangku pergi menangkap orang tua she Lee itu, akan tetapi ternyata rumahnya telah kosong. Dia sekeluarga telah lari minggat dari kota raja pada malam hari itu juga.”

Tan Beng Kui mengeluarkan seruan kaget.
“Aihhh, kiranya begitu? Celaka betul, kalau begitu tentu ada kaki tangan pemberontak di kota raja yang telah memberitahukan lebih dahulu kepada mereka.”

“Segala usaha kita digagalkan!” Pangeran Souw Kian Bi mengerutkan kening dan suaranya penuh penyesalan. “Penyerbuan ke Hoa-san-pai mengorbankan banyak serdadu dan mengakibatkan permusuhan baru dengan fihak Hoa-san dan Kun-lun. Ini benar-benar tak baik sekali, Apalagi kalau dilihat hasilnya hanya dapat menawan tiga orang anak murid Hoa-san-pai yang tidak berarti.”

“Selain tiga orang muda itu, kami masih menawan dua orang anggauta Pek-lian-pai,” kata komandan yang memimpin pasukan Mongol tadi, nada suaranya mengandung penonjolan jasa.

“Huh! Apa artinya dua orang anjihg Pek-lian-pai? Hayo gusur mereka semua kesini! Adili mereka sekarang juga, aku sendiri hendak memeriksanya!” seru Pangeran Mongol yang mengepalai usaha pembasmian para pemberontak itu dengar suara marah.

Semua orang yang berada disitu, kecuali Hek-hwa Kui-bo dan Siauw ong-kwi bersama murid-murid mereka yang tinggal tenang-tenang saja, menjadi gugup juga melihat kemarahan pangeran yang berpengaruh ini. Aba-aba dikeluarkan dan beberapa orang serdadu pergi dari situ dengan sigapnya untuk menggusur para tawanan.

Yang mula-mula sekali diseret ke ruangan itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus kecil bermata tajam. Wajahnya yang terluka parah. Kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuhnya dan dia didorong-dorong masuk oleh empat orang serdadu.

“Berlutut kau!”

Seorang serdadu mendorongnya sambil menekan tengkuknya untuk memaksa dia berlutut di depan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui beserta para perwira yang duduk di situ.

Orang itu terhuyung-huyung hampir roboh, akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai jatuh, lalu berdiri tegak menghadapi pangeran itu dan teman-temannya. Matanya terbuka lebar memandang penuh kebencian, tubuhnya yang kecil kurus tegak lurus, dadanya terangkat dibusungkan, sedikitpun tidak kelihatan takut-takut atau menghormat.

“Paksa jahanam ini supaya berlutut!”

Tan Beng Kui membentak. Dua orang tentara melangkah maju dan mulailah mereka memukul dan menekan untuk memaksa orang itu berlutut. Akan tetapi semua usaha mereka sia-sia belaka. Sampai orang itu roboh karena tidak tahan akan pukulan-pukulan, tetap saja dia tidak mau berlutut!

“Ha-ha-ha, biarkan dia begitu,” Pangeran Souw Kian Bi tertawa kagum. “Kau benar-benar gagah perkasa. Siapakah namamu?”

Sambil menggigit bibir menahan sakit, orang itu yang sudah dapat bangkit dan kini duduk di atas lantai karena tidak kuat berdiri lagi, menjawab dengan suara kasar dan tegas.

“Aku Gouw Bun anggauta pimpinan regu Pek-lian-pai. Sekarang sudah tertawan, mau bunuh boleh bunuh!”

Kembali Pangeran Souw Kian Bu tertawa.
“Orang she Gouw, kau benar-benar gagah dan patut menjadi prajurit. Usiamu paling banyak empat puluh tahun tentu kau meninggalkan keluargamu. Apakah. kau tidak ingin hidup dan mendapat kedudukan mulia dan mewah? Ingat, aku dapat mengampunimu dan malah mengangkatmu menjadi perwira kalau suka memberi keterangan tentang dua orang yang kalian sebut Si-enghiong dan Ji-enghiong.”

“Huh, kau kira kami orang-orang Pek-lian-pai dapat disamakan dengan orang-orang Han yang sudah suka menjadi anjing-anjing penjilat pantat penjajah Mongol? Kami adalah laki-laki sejati, sudah berani berjuang demi tanah air dan bangsa tidak takut mati, Kau tentu Pangeran Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang sudah tersohor menentang perjuangan kami. Sekarang aku Gouw Bun sudah kau tawan, boleh bunuh. Ingat saja, dan antek-antek serta anjing-anjingmu, perjuangan rakyat akhirnya pasti menang dan manusia-manusia macam kalian akhirnya tentu akan terbasmi!”






No comments:

Post a Comment