Ads

Tuesday, October 23, 2018

Raja Pedang Jilid 122

“Apa maksudmu? Berterus teranglah!” kata Beng San tak sabar lagi mendengar musuh memuji-muji itu.

Souw Kian Bi tertawa.
“Beng San, sebetulnya Hoa-san-pai bukanlah musuh kami selama Hoa-san-pai tidak membantu kaum pemberontak. Permusuhan kecil ini hanya terjadi karena salah faham. Sekarang, melihat bahwa tidak ada kaum pemberontak berusaha menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan, kami anggap tiada perlunya permusuhan diteruskan. Kami bebaskan kalian berempat dan sebagai tanda persahabatan, marilah kita makan minum bersama.”

Bukan main girangnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar ini. Juga Kwa Hong girang sekali, dipeluknya lengan Beng San lebih erat lagi sambil berbisik,

“San-ko, semenjak sekarang, jangan kau tinggalkan aku lagi…..”

“Tenanglah, Hong-moi, tenanglah kau…..”

Beng San berkata sambil mengelus-elus pundak gadis itu, dalam hatinya bingung sekali menyaksikan sikap Kwa Hong seperti ini. Tentu saja di tempat itu, disaksikan oleh banyak orang, dia merasa amat malu melihat sikap Kwa Hong, akan tetapi juga tidak berani menegurnya karena khawatir akan menyinggung perasaan orang.

Pikirannya masih penuh oleh ucapan Tan Beng Kui kepada Pangeran Souw Kian Bi tadi dan otaknya diputar untuk mencari jalan keluar dari tempat itu. Terang bahwa kalau dia nekat mengamuk, tiga orang murid Hoa-san-pai ini akan celaka. Bahkan dia sendiri sedikit sekali ada harapan untuk dapat lolos dari kepungan ribuan orang tentara itu. Lebih baik sekarang menerima uluran tangan pangeran itu untuk menjauhi pertempuran, apa salahnya?

Ini hanya siasat untuk menyelamatkan murid-murid Hoa-san-pai, terutama Kwa Hong. Maka dia tidak membantah lagi dan dengan tenang dia mengajak Kwa Hong menerima tawaran Pangeran Souw Kian Bi.

Atas perintah pangeran itu, ruangan yang tadinya menjadi medan pertempuran, sekarang cepat dibersihkan dan diatur menjadi ruang pesta. Seperti sulapan saja, sebentar meja-meja diatur dan hidangan yang mewah dikeluarkan.

Biarpun lemas, Thio Ki dan Kui Lok yang sudah mendapat pengobatan, dapat pula duduk menghadapi meja hidangan. Arak wangi menyegarkan tubuh mereka dan membangkitkan semangat lagi, biarpun mereka tidak mau bicara dan muka mereka masih membayangkan penderitaan batin karena melihat sikap Kwa Hong yang demikian mesra terhadap Beng San.

Tan Beng Kui juga berubah sikapnya. Sambil berdiri dia mengangkat cawan arak dan berkata kepada Beng San,

“Setelah bertemu dalam keadaan dewasa, aku mengucapkan selamat kepadamu, adik Beng San. Kau telah memperoleh kepandaian tinggi dan memperoleh….. hemmmmm.,…” ia melirik ke arah Kwa Hong, “seorang calon isteri yang gagah dan cantik. Kionghi-kionghi (selamat-selamat)!”

Girang juga hati Beng San. la menahan air matanya yang hendak menitik turun. Betapapun juga, Beng Kui adalah orang yang selama ini dia rindu dan kenangkan. Kakak kandungnya yang dahulu amat menyayangnya, akhirnya sekarang mau mengakuinya.

Akan tetapi di balik keharuan dan kegirangan hatinya ini terkandung kepahitan dan kenyataan bahwa sikap kakak kandungnya ini hanya siasat belaka. Siasat untuk menarik dia, mempergunakan tenaganya untuk mengabdi kepada pemerintah penjajah.
lapun berdiri dan mengangkat cawannya pula.

“Kakak Beng Kui, alangkah bahagianya hatiku karena kau mau mengaku adikmu ini. Sayang seribu kali sayang, jalan kehidupan kita bersimpang. Betapapun juga, adikmu selalu memujikan agar kau selamat dan akhirnya dapat memilih jalan baik. Adapun tentang nona Kwa Hong ini, harap jangan salah sangka. Tak berani aku menganggap dia sebagai….. sebagai calon isteri…..”

Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui tertawa bergelak-gelak sehingga dalam suasana riuh rendah itu orang tidak memperhatikan betapa dua titik air mata mengalir turun dari sepasang mata Kwa Hong, namun cepat diusapnya.

“Ha-ha-ha, adikku yang baik. Orang gagah seperti engkau ini, mana boleh bersikap malu-malu kucing? Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa antara kau dan nona ini terjalin kasih sayang yang amat besar? Jangan kau khawatir, karena kita tidak mempunyai orang tua lagi, aku boleh dibilang mewakili orang tuamu. Akulah yang akan melamarkan diri nona ini dari tangan Lian Bu Tojin untukmu. Kutanggung pasti akan diterima. Ji-wi Locianpwe, bagaimana pendapat Ji-wi (kalian)?”





Beng Kui berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi yang duduk disitu pula bersama Kim-thow Thian-Ii dan Giam Kin.

“Hemmm, baik-baik…..” kata Hek-hwa Kui-bo sambil menenggak araknya dan nampak kaget karena semenjak tadi nenek ini menatap wajah Beng San tiada sudahnya.

Sukar untuk membaca isi hati nenek ini, hanya Beng San yang tahu betapa inginnya nenek ini merampas kepandaian Yang-sin Kiam-sut daripadanya untuk memperlengkapi Ilmu Im-sin Kiam-sut yang dahulu dicuri oleh Hek-hwa Kui-bo dari tangan kakek Phoa Ti.

Siauw-ong-kwi sebaliknya tertawa terkekeh-kekeh.
“Orang muda saling cinta, menunggu apalagi kalau tidak cepat-cepat dirangkapkan? Asal saja tidak mengulang penyakit-penyakit lama, kalau sudah berjodoh dan punya anak, lalu bosan dan mencari yang lain. Heh-heh-heh! Kebetulan sekali Tan-ciangkun hendak pergi meminang ke Hoa-san, karena akupun hendak melamarkan nona hitam manis dari Hoa-san-pai untuk muridku, si gila Giam Kin. Ha-ha-ha!”

Giam Kin juga tertawa dan pemuda ini semenjak tadi hanya tersenyum-senyum saja sambil menyikat hidangan-hidangan yang paling enak, tiada hentinya minum arak seakan-akan semua arak itu dituang ke dalam gentong yang tak berdasar.

Thio Ki dan Kui Lok ternyata tidak kuat minum banyak. Setelah menerima penghormatan Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui sebanyak lima cawan saja mereka sudah menjadi pening dan tak dapat ditahan lagi keduanya tertidur di atas kursi masing-masing.

Hal ini terutama sekali karena tubuh mereka yang masih lemah akibat pertempuran hebat tadi yang menghabiskan sebagian besar tenaga mereka.

“Ha-ha-ha, dua orang ini agaknya belum dapat merasakan kesenangan berpacaran, maka kesenangan satu-satunya hanya tidur saja!” kata Pangeran Souw Kian Bi yang segera memanggil pelayan dan menyuruh beberapa orang pelayan menidurkan dua orang tamu ini ke dalam sebuah kamar yang bersih.

Ketika melihat Beng San mengerutkan kening atas kejadian ini, Beng Kui segera berkata.

“Adik Beng San, tak usah kau berkhawatir. Biarlah dua orang saudara itu melepaskan lelah lebih dulu. Nanti setelah mereka bangun, kami akan antarkan kalian semua keluar dari tempat ini dan memberi kuda yang terbagus.”

Kemudian dia bertepuk tangan tiga kali. Tiga orang yang berpakaian seragam kemerahan keluar dari tempat sembunyi. Mereka ini adalah pengawal-pengawal pribadi dari pangeran dan perwira itu.

“Ambil Arak Pengantin Merah,” kata Tan Beng Kui sambil tertawa-tawa riang.

Tak lama kemudian orang-orang itu kembali membawa seguci arak merah yang harum sekali baunya. Wajah Kwa Hong dan Beng San menjadi kemerahan, akan tetapi diam-diam Beng San menjadi amat curiga hatinya. Namun apa yang dapat dia katakan? la hanya melihat saja betapa pangeran dan kakak kandungnya itu menuangkan arak rnerah ke dalam cawan-cawan mereka, juga cawan-cawan Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi, Kim-thouw Thian-li, Giam Kin dan beberapa orang perwira tinggi yang ikut mengawani mereka dalam pesta ini.

“Adik Beng San, arak ini namanya Arak Pengantin Merah. Biarpun kalian belum menjadi pengantin, akan tetapi hatiku sudah amat kegirangan dan mari kita minum tiga cawan untuk kebahagiaan calon sepasang mempelai!”

“Beng Kui-koko, aku….. aku dan Hong-moi ini….. eh…..” gugup sekali Beng San, akan tetapi ketika dia melirik ke arah Kwa Hong, dia melihat nona ini biarpun mukanya merah sekali, namun sudah mengangkat pula cawan araknya dan sepasang mata bintang itu kelihatan membasah.

la tidak tega untuk menolak lagi, dan pula, bukankah semua ini hanya siasat yang mereka pergunakan untuk dapat meloloskan diri dari situ? Tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengangkat cawan araknya dan menenggak araknya perlahan. Ia menaruh perhatian dan waspada, akan tetapi ketika merasa bahwa arak itu hanya wangi dan enak, dan tidak ada reaksi apa-apa dari tubuhnya yang penuh hawa Im dan Yang itu, dia menelan terus dan tidak menolak ketika kakaknya menuangkan arak merah itu sampai tiga kali dalam cawannya. Juga Kwa Hong minum tiga cawan penuh.

Kembali Tan Beng Kui bertepuk tangan dan kini memerintahkan pelayan supaya mengeluarkan hidangan yang disebut masakan “anak naga”. Ternyata hidangan ini berupa masakan ikan laut yang amat aneh bentuknya, benar-benar hampir menyerupai naga kecil.

“Ikan macam ini hanya dapat ditemukan di laut sebelah utara,” kata Pangeran Souw Kian Bi. “Baik sekali untuk kesehatan, terutama untuk….. calon pengantin baru, ha-ha-ha!”

Semua orang tertawa gembira kecuali Beng San yang menundukkan mukanya dengan hati tidak enak sekali, sedangkan Kwa Hong juga menundukkan mukanya yang kemerah-merahan. Akan tetapi bagi gadis ini keadaan itu amat membahagiakan hatinya. la merasa seolah-olah memang sedang menghadiri pesta pernikahannya sendiri bersama Beng San!

Biarpun malu-malu, Beng San dan Kwa Hong tak dapat menolak ketika dipersilakan makan daging “anak naga” yang ternyata sedap dan lezat rasanya. Tiba-tiba Beng San meramkan matanya. la merasa kepalanya agak terputar dan sepasang matanya berat. Dikerahkannya tenaganya, akan tetapi, ternyata makin dia mengerahkan tenaga Iweekangnya makin pusing kepalanya!

“Celaka…..” ia mengeluh dan tak dapat ditahan lagi dia menjatuhkan kepalanya di atas kedua lengannya di meja. Sepasang sumpitnya jatuh.

“San-ko…… kau kenapa…..?” Kwa Hong segera memegang pundaknya.

“Ha-ha-ha, tidak apa-apa dia, Nona. Mungkin karena tidak biasa minum arak maka dia menjadi mabuk seperti dua orang saudara tadi.”

“Tidak…..! Kalian tentu bermain curang! Kalian sengaja meracuni dia…..!” Kwa Hong serentak berdiri dan menjadi marah sekali, siap hendak mengamuk.

“Jangan salah sangka yang bukan-bukan. Bukankah kau calon adik iparku. Dia ini adalah adik kandungku, dan sekarang bukan musuh kami lagi, untuk apa kami berlaku curang? Kalau kau tidak percaya biarlah dia disuruh mengaso dalam kamar, dan kau boleh mengawani dan mengurusnya.”

Beberapa pelayan diberi perintah dan tubuh Beng San yang sudah lemas itu diangkat orang menuju ke sebuah kamar. Kwa Hong dengan siap sedia dan waspada mengikuti dari belakang.

Begitu memasuki kamar, wajah Kwa Hong berubah makin merah. Bukan main indahnya kamar itu dan diatur amat mewah seperti kamar pengantin saja. Tempat tidurnya, kelambu, perabot-perabotnya semua baru. Seprei dan sarung bantalnya semua berkembang indah, menggambarkan sepasang burung hong yang sedang bercumbuan, daun jendela dan daun-daun pintu menggambarkan pasangan-pasangan burung yang amat rukun dan penuh kasih mesra.

Hatinya berdebar tidak karuan ketika para pelayan itu segera meninggalkan kamar dan membiarkan dia berdua saja dengan Beng San. Malah pelayan terakhir dengan perlahan menutupkan daun pintu dari luar.

Dengan amat susah payah Kwa Hong melawan perasaan aneh dan debar jantung yang menyesakkan dadanya itu lalu ia memeriksa keadaan Beng San dengan hati khawatir. Pemuda itu mengeluh perlahan, nampak gelisah dan kepalanya bergerak ke kanan kiri. Wajahnya menjadi merah seperti udang direbus dan perlahan-lahan berganti menjadi pucat kehijauan.

Diam-diam Kwa Hong gelisah dan terheran-heran. Teringatlah ia akan muka pemuda ini yang semenjak dahulu sering kali berubah-ubah warnanya sehingga ia menyebutnya dahulu sebagai “bunglon”.

“San-ko….. San-ko….. bagaimana rasanya badanmu…..?” tanyanya khawatir sambil menyentuh jidat pemuda itu.

Cepat ia menarik kembali tangannya karena jidat itu terasa dingin seperti es! Dan ketika perlahan-lahan muka itu berubah kemerah-merahan lagi, jidatnyapun berubah panas seperti api.

“San-ko….. ah, San-ko, kau diracun orang…..”

Kwa Hong saking bingung dan khawatirnya lalu memeluk Beng San dan menangis sedih. Sementara itu, ia sendiri merasa betapa ada sesuatu yang aneh terjadi dalam tubuhnya. Darahnya mengalir cepat dan panas, napasnya sesak dan mukanya menjadi merah sekali.






No comments:

Post a Comment