Ads

Monday, October 15, 2018

Raja Pedang Jilid 115

Sementara itu, Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin terbangun semangat mereka setelah mendengar dan melihat sendiri kenyataan bahwa Kwee Sin benar-benar seorang pemimpin pejuang, ditambah oleh sikap Lee Giok yang gagah perkasa dan patriotik.

Dua orang kakek ini begitu bertukar pandang sudah nengambil keputusan yang sama, yaitu membela Lee Giok demi penghargaan mereka terhadap perjuangan Kwee Sin. Sekarang melihat bahwa Sian Hwa telah bertempur melawan Kim-thouw Thian-li dan hal ini tak mungkin mereka hentikan atau cegah mengingat bahwa Sian Hwa tentu akan nekat membalas dendam, melihat pula bahwa bentrokan antara mereka dan fihak pemerintah tak dapat dicegah lagi, lalu keduanya melangkah maju, siap menghadapi segala kemungkinan. Thio Ki dan Kui Lok juga meloncat maju membantu bibi guru mereka.

“Siluman Ngo-lian-kauw, kau pembunuh ayah kami!” teriak mereka sambil menerjang maju.

Kim-thouw Thian-li masih tertawa-tawa dan menghadapi tiga orang itu dengan mainkan goloknya.

“Lian Bu Totiang, apa kau membiarkan saja anak-anak muridmu memberontak?”

Hek-hwa Kui-bo meloncat maju ke depan ketua Hoa-san-pai. Loncatannya luar biasa sekali, seperti tidak bergerak kedua kakinya tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan kakek Hoa-san-pai itu.

Semua orang yang melihat ini menjadi kagum dan juga keder. Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan sikapnya yang keren dan pedang pusaka yang tadi dipergunakan Kwee Sin membunuh diri di tangan kanannya, memandang nenek yang kelihatannya muda itu sambil berkata.

“Hek-hwa Kui-bo, enak saja kau memutar-balikkan fakta. Adalah kau yang membiarkan muridmu Kim-thouw Thian-li itu untuk melakukan perbuatan fitnah dan mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, membiarkan muridmu membunuh murid-murid Hoa-san-pai dan kau selalu malah membantunya. Sekarang kau datang pura-pura mencela kepada pinto. Heh, biarpun kau lihai, namun kejahatanmu pasti takkan membawa kau kepada kebahagiaan dan keselamatan.”

“Hi-hi-hi, tosu bau. Kaulah yang akan mampus, masih banyak tingkah lagi.”

Dengan mengeluarkan suara melengking aneh, Hek-hwa Kui-bo menggerakkan tangan. Tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan cepat ia menyerang ketua Hoa-san-pai itu.

Lian Bu Tojin maklum akan kelihaian wanita ini, maka dia tidak berani berayal, cepat-cepat menangkis dan balas menyerang. Seperti juga ketika ketua Hoa-san-pai ini mengejar Hek-hwa Kui-bo pada waktu nenek ini menculik Kwee Sin, sekarang Lian Bun Tojin mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dari nenek ini hebat bukan main, kelihatan tidak mengandung tenaga besar akan tetapi hawa pedangnya dingin dan cepat.

Inilah Ilmu Pedang Im-sin-kiam yang dipelajari nenek ini dari kitab yang ia curi atau rampas dari Phoa Ti. Biarpun Lian Bu Tojin sudah mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya, namun tetap saja semua kekuatan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut seakan-akan ditelan oleh hawa dingin ilmu pedang Hek-hwa Kui-bo.

Betapapun juga, Lian Bu Tojin adalah seorang pendeta yang mengutamakan kehidupan suci dan bersih, maka daya tahan dalam tubuhnya amat kuat dan tidak mudah bagi Hek-hwa Kui-bo untuk merobohkannya secara cepat.

“Heh-heh-heh, nona-nona manis, mari kita main-main sebentar!”

Giam Kin ternyata sudah melompat maju dan dengan sikap ceriwis sekali mengulur kedua tangannya untuk menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee. Dua orang gadis ini membentak dan memaki, sambil mengelak dan mencabut pedang lalu dengan gemas mereka mengeroyok Giam Kin.

Sementara itu, Bun Lim Kwi sejak tadi memandang ke arah Giam Kin, maka ketika mendengar Kwa Hong dan Thio Bwee memaki-maki dan menyebut nama pemuda muka pucat itu, darahnya segera naik. Jadi inikah orang yang bernama Giam Kin, yang secara pengecut pernah menyerang dan merobohkannya ketika dia bertempur melawan Thio Eng dahulu itu? Hampir saja nyawanya melayang karena pemuda muka pucat yang jahat itu.

“Suhu, dialah orangnya yang hampir saja menewaskan teecu dengan penyerangannya yang curang. Teecu hendak membalas,” bisiknya kepada Pek Gan Siansu

Ketua Kun-lun-pai ini mengangguk, berkata perlahan.
“Sudah sepatutnya sekarang kita membantu Hoa-san-pai menghadapi orang-orang jahat itu.”





Dengan girang Bun Lim Kwi mencabut pedangnya dan menerjang Giam Kin yang sedang melayani dua orang gadis Hoa-san-pai dengan enak sambil menggoda mereka dengan omongan kasar dan kotor itu.

“Nona berdua harap mundur, biarkan aku memberi hajaran kepada manusia bermulut kotor ini!” bentak Bun Lim Kwi sambil memutar pedangnya.

Akan tetapi karena amat marah kepada Giam Kin, Kwa Hong dan Thio Bwee mana mau meninggalkannya? Dengan demikian Giam Kin segera terkepung dan dikeroyok tiga. Giam Kin sibuk sekali. Biarpun dia amat lihai namun dikeroyok oleh tiga orang ini, apalagi ilmu silat Bun Lim Kwi memang hebat, segera dia terdesak dan sibuk menangkis kesana kemari.

“Hemmm, curang….. curang…..! Kulihat ilmu pedang Kun-lun-pai ikut membela Hoa-san-pai?”

Suara ini keluar dari mulut Siauw-ong-kwi yang melangkah maju hendak menolong muridnya. Akan tetapi tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Pek Gan Siansu sudah berdiri di depannya dengan pedang pusaka Kun-lun-pai di tangan.

“Perlahan dulu, Siauw-ong-kwi. Biarkan bocah sama bocah, tua bangka seperti kau lawannya juga tua bangka seperti aku!”

Siauw-ong-kwi membelalakkan matanya dan tertawa.
“Ha-ha-ha, sejak kapan Kun-lun-pai menjadi pembantu para pemberontak?”

“Sejak orang-orang seperti engkau membantu penjajah menindas rakyat,” jawab ketua Kun-lun-pai tenang.

“Ho-ho, Pek Gan Siansu, artinya kau menantang Siauw-ong-kwi?”

“Pinto tidak menantang siapapun suga. Akan tetapi, Siauw-ong-kwi, sejak dulu pinto mengenal nama Siauw-ong-kwi sebagai seorang aneh yang tidak suka melanggar kepantasan, seorang tokoh utama di utara yang tidak berlepotan lumpur kejahatan. Kiranya sekarang kau terseret ke dalam perangkap penjajah, malah kau membiarkan muridmu berlaku keji dan jahat tanpa menghukumnya. Muridmu secara curang pernah berusaha membunuh muridku, sekarang kau hendak membantunya pula. Mana pinto dapat diamkan saja?”

“Bagus Pek Gan Siansu, antara kita terdapat perbedaan faham, kau sebagai antek pemberontak dan aku sebagai antek pemerintah. Mari, mari….. kita bermain-main sebentar, sudah lama tanganku gatal-gatal untuk merasai lihainya pedang Kun-lun-pai!”

Dua orang ini segera bergerak dan bertandinglah keduanya. Pedang Pek Gan Siansu tak usah disangsikan lagi amat hebat gerakannya, kuat dan biarpun digerakkan secara lambat, namun sinar pedangnya saja cukup untuk merobohkan lawan yang kuat.

Dilain fihak, Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh paling lihai dari utara. Ilmu silatnya aneh, berinti ilmu tangkap yang, menjadi dasar ilmu gulat Mongol, sekarang dia mainkan dengan kedua ujung tangan bajunya yang panjang sehingga sekelebatan tampaknya seolah-olah Siauw-ong-kwi mainkan sepasang pedang.

Jangan dipandang rendah sepasang ujung lengan baju ini. Biarpun terbuat daripada kain lemas biasa, namun mengandung tenaga Iweekang yang hebat, kuat untuk menangkis pedang, kadang-kadang lemas mengancam lawan dengan jeratan maut, kadang-kadang kaku seperti pedang baja atau seperti toya besi!

Kim-thouw Thian-li yang melihat betapa kedua fihak sudah saling gempur segera bersuit keras dan pasukan pemerintah itu serentak bergerak menyerbu keatas sambil berteriak-teriak hiruk-pikuk.

Para tosu Hoa-san-pai melihat hal ini tanpa menanti perintah lagi segera memapaki dan terjadilah perang kecil yang cukup hebat di puncak Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ternyata keadaan amat tidak menguntungkan fihak Hoa-san-pai. Jumlah pasukan pemerintah tidak saja lebih besar, juga mereka ini memang pasukan pilihan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Souw Kian Bi, pasukan yang terdiri dari serdadu-serdadu yang kosen dan ahli golok, lebih terkenal disebut Barisan Golok Maut. Sebentar saja belasan orang tosu Hoa-san-pai roboh terbacok golok dan keadaannya amat terdesak.

Keadaan pertempuran yang dihadapi para jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai itu juga amat buruk. Menghadapi Sian Hwa yang dibantu dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, ketua Ngo-lian-kauw, Kim-thouw Thian-Ii ternyata jauh lebih lihai. Permainan goloknya biarpun lihai dan aneh, masih belum mampu menindih ilmu pedang tiga orang murid Hoa-san-pai ini, akan tetapi setelah Kim-thouw Thian-li mengeluarkan selendang merahnya yang mengandung hawa beracun, pada saat yang amat tak terduga-duga ia mengebutkan selendang merah.

Bau harum semerbak menyambar. Thio Ki dan Kui Lok yang masih kurang pengalaman, kurang cepat menghindar dan robohlah mereka bergulingan dalam keadaan pingsan.

Liem Sian Hwa yang menjadi marah sekali mempergunakan kesempatan itu, selagi Kim-thouw Thian-li tertawa-tawa kegirangan dan memerintahkan beberapa serdadu untuk menawan dua orang pemuda ini, cepat melompat tinggi setelah tadi berhasil menggulingkan tubuh menghindarkan hawa beracun, kemudian dari atas ia menggunakan gerak tipu Hui-liong-jip-hai (Naga Terbang Memasuki Lautan), pedangnya bergerak cepat menyerang lawannya.

Tidak percuma nona ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya cepat sekali, sehingga bayangan tubuhnya dan sinar pedang menjadi satu. Kim-thouw Thian-li kaget bukan main, cepat menangkis dengan golok dan miringkan tubuh berusaha menyelamatkan diri.

Akan tetapi tetap saja ujung pedang Sian Hwa secara kilat sudah menyerempet pundaknya sehingga baju di bagian pundak terbabat robek berikut kulitnya yang putih halus? dan darah bercucuran keluar.

“Keparat, rasakan pembalasanku!”

Kim-thouw Thian-li berseru keras, cepat memberi bubuk obat kepada pundaknya yang terluka, kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia menerjang Liem Sian Hwa dengan nafsu membunuh.

Sian Hwa memutar pedang mempertahankan diri, namun maklum bahwa ia kalah tenaga dan bingung menghadapi ilmu golok yang aneh dan ganas itu. Betapapun juga, dengan mengertakkan giginya nona pendekar ini melakukan perlawanan nekat. Hatinya gelisah sekali melihat betapa dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, sudah menjadi orang-orang tawanan, diikat kaki tangan mereka dan dibawa mundur oleh beberapa orang serdadu musuh.

Kwa Tin Siong juga melihat betapa dua orang murid keponakannya ini tertawan. Akan tetapi diapun hanya dapat bergelisah saja karena semenjak pertempuran hebat itu dimulai, Hoa-san It-kiam Kwa tin Siong ini sudah menerjang maju dan dikeroyok oleh lima orang perwira pasukan musuh secara berganti-ganti.

Sudah banyak lawan roboh oleh pedangnya yang lihai, namun dikeroyok begitu banyak lawan tangguh, dia menjadi terdesak juga dan tidak berdaya menolong dua orang keponakan yang tertawan itu.

Kini melihat betapa sumoinya didesak hebat oleh Kim-thouw Thian-li yang ganas, dia berkhawatir sekali. Sambil berseru keras pedangnya diputar seperti ombak menggelora, dua orang pengeroyoknya roboh dan yang lain terpaksa mundur dengan gentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwa Tin Siong untuk melompat dan menerjang Kim-thouw Thian-li.

“Sumoi, jangan khawatir, mari kita bunuh siluman betina ini!” serunya dan pedangnya yang masih berlepotan darah itu menerjang kuat.

“Hi-hi-hi, seorang sumoi dan suhengnya yang tak bermalu!” Sambil menangkis Kim-thouw Thian-li mentertawakan mereka. “Di luar mengaku sumoi dan suheng, di mulut memaki-maki Kwee Sin yang serong, tapi ini bagaimana? Ha-ha-hi-hi-hi, tak bermalu, muka tebal? Siapa tidak tahu bahwa kalian sudah bertahun-tahun main gila? Di depan guru bersikap alim, katanya saudara seperguruan, tapi di belakang guru? Hi-hi-hi, hanya kamar kosong menjadi saksi percintaan kotor sumoi dan suheng!”

Kata-kata yang dikeluarkan Kim-thouw Thian-li ini keras dan nyaring sehingga terdengar oleh semua orang disitu. Wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi pucat saking marah mereka.

Liem Sian Hwa hampir pingsan saking marahnya sehingga gerakan pedangnya malah menjadi lambat dan akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh pingsan, Kwa Tin Siong membentak,

“Siluman betina, mampuslah!”

Pedangnya menyambar, akan tetapi dengan enak Kim-thouw Thian-li dapat menangkisnya.






No comments:

Post a Comment