Ads

Friday, October 12, 2018

Raja Pedang Jilid 106

Phang Khai dan Phang tui adalah dua orang kakek ternama di Hun-lam. Tentu saja mendengar mereka dimaki anjing-anjing tua oleh wanita itu, mereka tak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Serentak mereka meloncat dan menerobos masuk ke dalam ruangan itu.

“Kwee Sin, kami dua saudara Phang dari Hun-lam datang untuk menjemput kau ke Hoa-san!” kata Phang Khai sambil melirik penuh kemarahan ke arah Kim-thouw Thian-li yang sudah berdiri dengan alis berkerut marah.

Kwee Sin juga berdiri dan menjawab,
“Ji-wi Phang-enghiong, dengan maksud apakah ji-wi hendak mengajak siauwte pergi ke sana?”

“Murid Kun-lun-pai yang murtad. Kau menjadi biang keladi permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Kau harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatanmu terhadap Hoa-san-pai!” kata Phang Tui tak sabar lagi.

Kwee Sin menghela napas.
“Ji-wi Phang-enghiong, urusan itu adalah urusan pribadiku, harap ji-wi sebagai orang luar jangan mencampurinya. Mengingat ji-wi adalah tokoh-tokoh terkemuka dari Hun-lam, maka siauwte persilakan ji-wi pergi dengan baik-baik.”

“Setan, siapa takut kepadamu? Kami sudah bersumpah untuk mmbawamu ke Hoa-san, hidup atau mati. Tui-te (adik Tui), kau tangkap dia, biar aku menjaga siluman ini!”

Phang Tui maju menubruk Kwee Sin dengan Ilmu Kim-na-jiu-hoat, kedua lengannya bergerak-gerak dan yang kanan mencengkeram ke arah pundak kiri sedangkan tangan kirinya menotok jalan darah di leher.

Terpaksa Kwee Sin cepat menggeser kaki ke belakang dan memutar lengan untuk menangkis. Tentu saja jago muda Kun-lun-pai ini tidak mau membiarkan dirinya ditangkap begitu saja.

Sambil mengeluarkan suara ketawa mengejek Kim-thonw Thian-li menggerakkan kedua tangannya dan tangan kanannya sudah memegang sebuah golok tipis kecil yang amat indah bentuk dan gagangnya, sedangkan tangan kirinya sudah meloloskan sehelai saputangan merah yang panjang.

Phang Khai maklum bahwa menghadapi wanita ketua Ngo-lian-pai ini tak perlu dia berlaku sungkan lagi maka sekali dia menggereng, dia telah melakukan penyerangan dengan pedang di tangan. Melihat sinar pedang yang menyambarnya dari tiga jurusan, diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget juga dan maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Cepat dia menangkis dengan goloknya

“Traaanggg…..!”

Phang Khai melompat mundur selangkah sedangkan Kim-thouw Thian-li merasa tangannya tergetar. Bukan main herannya Phang Khai. Seorang wanita yang bertubuh lemah gemulai dan halus itu kenapa bisa memiliki tenaga Yang-kang demikian besarnya? Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga Yang, eh, siapa kira sekarang dia menghadapi seorang wanita yang lebih besar tenaganya. la berlaku hati-hati dan mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mendesak.

Ilmu pedang dari dua orang saudara Phang itu adalah ilmu pedang keturunan warisan nenek moyang mereka. Memang asalnya satu sumber dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, hanya sudah banyak perubahan. Oleh karena itulah maka dalam hal urusan Hoa-san-pai, dua orang kakek ini tidak mau melupakan sumbernya dan ingin membantu Hoa-san-pai.

Seperti juga ilmu pedang Hoa-san-pai, ilmu pedang Phang Khai amat indah dan cepat, hanya bedanya kalau ilmu pedang Hoa-san-pai mengutamakan tenaga Im, adalah sebaliknya ilmu pedang keluarga Phang ini mengutamakan tenaga Yang. Ketua Ngo-lian-pai itu, Kim-thouw Thian-li, adalah murid dari Hek-hwa Kui-bo, tentu saja kepandaiannya hebat. Sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini Kim-thouw Thian-li telah hidup dalam kesenangan, selalu rnenurutkan nafsu mengejar kesenangan duniawi, sehingga dia malas untuk berlatih dan memperkuat tenaga dalamnya. Sekarang menghadapi seorang tokoh ilmu pedang seperti Phang Khai, biarpun tidak akan kalah dalam waktu singkat, juga amat sukarlah untuk mencapai kemenangan. Pertempuran ini berlangsung makin hebat di ruangan itu.

Kwee Sin juga sudah mencabut pedangnya ketika Phang Tui yang merasa penasaran itu menyerangnya dengan pedang juga. Tadinya Phang Tui hendak menangkap Kwee Sin hidup-hidup, maka dia bertangan kosong dan mempergunakan ilmu yang amat dia andalkan, yaitu ilmu tangkap Kim-na-jiu.

Siapa kira, Kwee Sin selalu dapat membuyarkan ilmu ini dengan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu, semacam ilmu pukulan Kun-lun-pai yang amat dahsyat. Desakan-desakan ilmu tangkap itu selalu didesak mundur oleh pukulan Pek-lek-jiu, bahkan dia sendiri yang terancam bahaya, maka dia lalu mempergunakan pedang. Kwee Sin juga seorang ahli pedang Kun-lun-pai, maka pertempuran ini pun hebat sekali.





Tiba-tiba Kim-thouw Thian-li mengeluarkan suara bersuit panjang sekali.
“Li-moi, jangan mencelakai mereka…..” Kwee Sin menegur lalu berkata nyaring, ”Ji-wi Phang-enghiong, harap sudahi pertempuran ini dan pergilah ji-wi (kalian) dengan aman!”

Akan tetapi dua orang jago kawakan seperti dua saudara Phang itu, sekali bekerja mana mau berhenti setengah jalan? Mereka malah mendesak makin hebat dalam usaha mengalahkan musuh dengan segera dan dapat membawa Kwee Sin dari situ, baik dalam keadaan hidup maupun sudah mati!

Tidak seperti Kwee Sin, mereka tidak tahu apa artinya suitan yang dikeluarkan oleh Kim-thouw Thian-li tadi. Kiranya suitan itu adalah tanda rahasia bagi ketua Ngo-lian-kauw untuk memanggil anak buahnya. Dimana ketuanya berada disitu pasti berkeliaran banyak pembantu-pembantunya yang setia, maka pada saat itu, belasan orang tokoh Ngo-lian-kauw memang sudah berkeliaran di sekitar rumah gedung tempat tinggal KweeSin, siap untuk rmenghadap sewaktu-waktu ketua mereka memanggil.

Akan tetapi kali ini biarpun Kim-thouw Thian-li bersuit sampai tiga empat kali, tidak seorangpun anak buahnya muncul. la menjadi marah bukan main akan tetapi juga gelisah. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang kakek itu datang dengan banyak teman dan agaknya anak buahnya telah dirobohkan di luar! Cepat dia mengeluarkan sebuah saputangan yang beraneka warna, saputangan sutera yang berbau harum sekali.

Pada saat itu, pedang Phang Khai sudah menyambar cepat ke arah lehernya. Kim-thouw Thian-li membuang tubuh ke kiri karena tidak sempat menangkis lagi sehingga pedang meluncur di atas pundaknya. Tangan kirinya yang mencabut keluar saputangan tadi bergerak cepat, serangkum bau yang amat harum menyambar, Phang Khai mencium bau yang luar biasa harumnya, seketika kepalanya pening, pandang matanya berkunang.

“Celaka…..”

la berseru dan berusaha mengerahkan Iweekangnya untuk melawan hawa beracun itu. Namun sia-sia, tubuhnya limbung dan kakek gagah perkasa ini roboh terguling dengan pedang masih di tangan!

Kim-thouw Thian-li tidak berhenti sampai disitu saja. Cepat dia melompat ke dekat Phang Tui yang masih saling gempur dengan Kwee Sin sambil mengebutkan saputangannya. Phang Tui juga tidak dapat menahan, roboh terguling dan pingsan.

Kim-thouw Thian-li sudah menggerakkan pedang untuk membacok mati dua orang itu, namun Kwee Sin cepat berseru,

“Jangan bunuh mereka!”

Kiranya Kwee Sin tidak terpengaruh oleh racun itu, kenapa? Hal ini tidak aneh. Sudah bertahun-tahun Kwee Sin berhubungan dengan Kim-thouw Thian-li, tentu saja dia sudah banyak pula mengenal senjata-senjata rahasia wanita ini dan tahu bagaimana cara menolaknya.

Kim-thouw Thian-li marah.
“Dua cacing tua ini datang hendak membunuhmu, masa sekarang kau melarangku membunuh mereka?”

Pedangnya masih tetap diayun hendak dibacokkan. Pada saat itu dari luar menyambar angin keras, dan dua sinar hitam melesat cepat mengenai dua buah lampu dalam ruangan. Seketika penerangan menjadi padam dan keadaan di dalam ruangan itu gelap gulita.

“Eh, apa ini…..?” Kwee Sin berseru kaget.

“Aduh…..!”

Kim-thouw Thian-li mengeluh dan roboh tak dapat bergerak lagi. Ternyata hiat-to (jalan darah) di tubuhnya sudah kena ditotok orang dalam kegelapan itu dan ia roboh tanpa bergerak lagi.

Kwee Sin merasa tangannya dipegang orang. Cepat dia mengipaskan pegangan itu, tapi mendadak kedua tangannya lemas tak bertenaga lagi. lapun sudah terkena totokan orang dalam gelap yang amat lihai itu, kemudian dia merasa tubuhnya melayang dan berada diatas pundak orang yang memanggulnya.

Biarpun tubuhnya tak mampu bergerak, pikiran Kwee Sin masih terang dan tahulah dia bahwa dia telah dibawa lari orang, telah diculik oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Berkali-kali orang yang memanggulnya itu meloncat tinggi, melalui rumah orang dan akhirnya melompati tembok kota raja, terus lari keluar dari kota raja dengan kecepatan yang mengagumkan.

Adapun Phang Khai dan Phang Tui yang tadinya roboh pingsan dengan tangan masih mencengkeram gagang pedang masing-masing, merasa hawa dingin menyambar ke muka mereka dan Phang Khai lebih dulu siuman dari pingsannya.

la terheran-heran mendapatkan dirinya telah berada di kebun belakang kelenteng tua dimana dia dan adiknya selama bertugas di kota raja bersembunyi. Dilihatnya Phang Tui juga menggeletak di rumput. Pedang mereka terletak di situ pula. Cepat Phang Khai menolong adiknya dan mereka berdua tiada habis terheran-heran bagaimana mereka yang tadinya roboh oleh hawa beracun Kim-thouw Thian-li sekarang tahu-tahu sudah berada di kebun kelenteng dalain keadaan baik-baik saja.

“Ah, tentu ada orang menolong kita,” kata Phang Khai kagum.

“Twa-ko, jangan-jangan Kwee Sin yang menolong kita! Beberapa kali dia telah mencegah Kim-thouw Thian-li membunuh kita. Kiranya orang muda itu masih memiliki watak setia kawan terhadap orang kang-ouw, tapi kenapa dia terjerumus ke dalam lumpur kehinaan membantu pemerintah dan bersekongkol dengan iblis macam ketua Ngo-lian-kauw itu?”

Phang Khai menggeleng kepala.
“Tak mungkin kalau Kwee Sin yang menolong kita. malah hal ini terjadi sesuatu yang aneh. Kalau Kwee Sin yang menolong kita, bagaimana dia bisa tahu bahwa kita bermalam di tempat ini? Padahal tempat kita ini adalah rahasia kita sendiri. Selain itu tidakkah kau lihat betapa Kwee-Sin itu takut kepada Kim-thouw Thian-li? Mana bisa dia menolong kita?”

“Memang aneh.” Phang Tui mengangguk-angguk mengerutkan kening. “Akan tetapi, Twako, yang membikin aku hampir mati penasaran adalah gadis yang bernama nona Lee itu. Kau tentu tahu pula apa yang kumaksud, bukan?”

“Tentu saja. Dia boleh menyamar bagaimanapun juga, mana dia bisa mengubah matanya? Nona Lee adalah si dia itulah. Hemmm, dia telah mengkhianati kita, memberi tahu kepada Kwee Sin tentang maksud kita. Orang macam itu mana bisa dijadikan kepercayaan Si-enghiong? Terang berbahaya sekali, karena dengan pengkhianatannya ini jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang pengkhianat, seorang antek Mongol seperti Kwee Sin. Biarlah kau lihat saja sikapku besok lusa malam kalau kita bertemu dengan mereka.”

Tiba-tiba Phang Tui yang tadi termenung menepuk pahanya.
“Waaah, kenapa aku sampai lupa?”

“Apa maksudmu?” kakaknya bertanya.

“Twako, terang bahwa tadi ada orang pandai menolong kita sehingga dalam keadaan pingsan di ruangan gedung Kwee Sin kita bisa terbebas dari kematian.”

“Siapakah kau kira yang telah menolong kita tadi?”

“Mana aku tahu? Aku pun pingsan? Seperti kau.”

“Twako, sudah lama kita mendengar bahwa dua orang pemimpin pejuang yang bertugas di kota raja, yaitu Ji-enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-enghiong (Pendekar ke empat) memiliki ilmu yang amat tinggi. Apakah bukan mereka yang telah menolong?”

“Ah, benar juga kata-katamu ini. Yang menolong kita tentulah orang yang mengerti keadaan dan tugas kita. Siapa pula kalau bukan mereka? Tapi yang manakah diantara kedua enghiong itu? Dan siapa pula sebenarnya mereka ini yang selalu bekerja penuh rahasia?”

Dua orang kakak beradik itu berhadapan dengan sebuah rahasia dan betapapun mereka memutar otak menduga-duga, tetap mereka tidak dapat memecahkannya.

**** 106 ****





No comments:

Post a Comment