Ads

Monday, October 8, 2018

Raja Pedang Jilid 100

“Baiklah…… memang seharusnya begitu …..” kata kakek itu.

Tiba-tiba Thio Ki berkata dengan suara tak senang,
“Sukong, dia itu adalah anak murid Kun-lun-pai, seorang musuh besar. Luka atau matinya bukanlah urusan kita dari Hoa-san-pai!”

Thio Bwee dan Kui Lok menyatakan persetujuannya, malah Kui Lok menyambung,
“Inilah tanda bahwa Thian akan selalu menghukum mereka yang jahat. Kun-lun-pai sudah terlalu amat jahat terhadap kita, maka dia ini murid Kun-lun-pai juga mengalami nasib seburuk ini. Sukong, dia ini musuh kita, tak ada perlunya kita menolongnya.”

Akan tetapi Kwa Hong yang selama ini amat bersemangat dalam permusuhan golongan Hoa-san-pai terhadap Kun-lun-pai, agaknya berpikiran lain. Entah bagaimana, gadis ini sudah menaruh simpati besar terhadap Beng San dan berlawanan dengan suara hatinya kalau menentang pemuda ini.

“Teecu tidak setuju dengan kedua Suheng,” katanya kepada kakek ketua Hoa-san-pai.
“Biarpun dia ini musuh besar kita, akan tetapi dia terluka di Hoa-san, tentu orang luar akan menyangka bahwa kita yang melukainya dengan cara yang begini keji.”

“Peduli apa dengan segala fitnah? Pokoknya kita tidak melakukan penyerangan gelap habis perkara. Biarkan orang lain menuduh!” Thio Ki bersitengang dengan sikapnya.

“Apalagi Beng San ini selalu memperlihatkan sikapnya memihak golongan Kun-lun-pai. Dahulu, bertahun-tahun yang lalu juga dia sudah memperlihatkan sikap membela Kun-lun, sekarangpun dia mati-matian hendak menolong orang Kun-lun. Sukong, kita harus berhati-hati terhadap orang ini dan jangan mendengarkan omongannya!” kata Kui Lok.

Semua ucapan cucu-cucu muridnya ini berkesan juga dalam hati Lian Bu Tojin. Dengan pandang mata tajam dia bertanya kepada Beng San,

“Beng San, kenapa kau selalu berfihak kepada Kun-lun? Kenapa kau bersusah payah hendak menolong Lim Kwi murid Kun-lun ini?”

Beng San sudah marah sekali mendengar ucapan Thio Ki dan Kui Lok tadi. Makin marah dia setelah mendengar pertanyaan Lian Bu Tojin yang jelas terpengaruh oleh ucapan-ucapan itu.

“Lian Bu totiang, saya harap Totiang suka ingat akan beberapa hal ini. Pertama, seorang yang sudah menjunjung tinggi keadilan menilai baik buruk seseorang dari perbuatannya, bukanlah dari keturunannya! Biarpun Lim Kwi seorang murid Kun-lun, tapi kesalahan apakah yang pernah dia lakukan terhadap Hoa-san-pai? Kedua, seorang yang tahu akan Ketuhanan tahu pula bahwa soal keturunan adalah hasil pekerjaan Tuhan. Lim Kwi menjadi anak keluarga Bun bukanlah karena kehendaknya melainkan karena kehendak Tuhan, maka apabila ada orang menyalahkannya karena keturunannya, sama artinya dengan orang itu menyalahkan hasil pekerjaan Tuhan! Ke tiga, seorang kuncu (budiman) selama hidupnya takkan meninggalkan perikemanusiaan dan akan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Lian Bu totiang, saya menolong Lim Kwi karena dua hal, pertama karena saya selalu teringat akan hal-hal yang saya sebutkan tadi, kedua kalinya, kiranya Totiang ingat juga akan pesan terakhir Bun Si Teng kepada saya di dekat ajalnya. Pesan orang yang sudah meninggal dunia adalah pesan keramat yang harus dihargai, asal saja pesan itu demi kebaikan. Nah, hendaknya Totiang segera mengambil keputusan, Totiang suka menolongnya ataukah tidak?”

Wajah kakek itu menjadi merah. Ia merasa terpukul oleh ucapan-ucapan pemuda itu. Sambil menoleh kepada cucu-cucu muridnya dia berkata lirih,

“Ambilkan Ngo-tok-coa itu…..”

Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok tidak bergerak dari tempatnya, malah memandang marah kepada Beng San. Akan tetapi Kwa Hong segera berlari dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa tabung-tabung bambu terisi dua ekor ular kecil. Lian Bu Tojin menerima dua tabung itu dan berkata kepada Beng San.

“Inilah dua ekor Ngo-tok-coa itu, beng San. Pinto hanya menggunakan cara yang biasa untuk mengambil racun ular ini kemudian meminumkannya sebagian dan sebagian lagi digosokkan pada luka-lukanya. Akan tetapi karena pinto belum menyatakan sendiri khasiat racun Ngo-tok-coa, maka hasilnya pinto tidak berani menanggung.”

“Totiang,” kata Beng San dengan hormat dan berterima kasih, “keadaan Lim Kwi sudah payah. Kalau Totiang suka berusaha mengobati, itu saja sudah merupakan budi besar, tentang riwayatnya hanya terserah kepada Thian.”

Lian Bu Tojin lalu membuka tutup tabung, menangkap ular pada belakang lehernya.
“Buka mulutnya,” katanya kepada Beng San yang cepat membuka mulut Lim Kwi.

Dengan menekan pada leher dan belakang kepala ular itu, keluarlah cairan menguning dari mulut dan gigi ular, menetes-netes ke dalam mulut Lim Kwi. Kwa Hong sudah datang membawa secangkir air yang segera dipergunakan oleh Lian Bu Tojin untuk diminumkan pula sehingga racun tadi dapat masuk ke dalam perut.

Setelah racunnya habis dan dilepas, ular itu menjadi lemas dan tak dapat berkutik lagi. Ular kedua dikeluarkan dan seperti tadi, racunnya dikeluarkan, ditadahi cangkir kemudian dengan tangannya Lian Bu Tojin menggosok-gosokkan racun ini di punggung Lim Kwi.

Pengerahan tenaga dalamnya dapat mendorong racun ini masuk tubuh melalui luka-luka kecil itu. Setelah selesai, Lian Bu Tojin dengan napas agak terengah-engah lalu mundur dan mencuci tangannya.

Beng San merasa berterima kasih sekali. Dari napas kakek itu dia maklum bahwa tadi Lian Bu Tojin telah mengerahkan seluruh Iweekangnya dan dia merasa kagum akan budi kakek ini. Ia tidak pedulikan lagi kepada tiga orang cucu murid Hoa-san yang memandang semua itu dengan mulut cemberut dan sinar mata penuh kemarahan kepadanya. Hanya Kwa Hong yang dengan setulus hati membantu pengobatan tadi dan diam-diam diapun berterima kasih sekali kepada nona ini.

Tubuh Bun Lim Kwi bergerak dan mulutnya mengeluh. Semua orang memandang dengan penuh perhatian. Girang hati Beng San ketika melihat betapa tubuh yang kaku tadi kini mulai menjadi lemas, warna kehitaman lenyap dan makin lama muka itu menjadi makin pucat. Lalu tubuh itu berhenti bergerak dan Lim Kwi kelihatan seperti orang tidur nyenyak, hanya napasnya agak terengah-engah.





Lian Bu Tojin lalu mendekat dan memeriksa pergelangan tangan dan detak jantungnya.
“Celaka…..!” Tosu itu berteriak kaget, wajahnya berubah pucat. “Keparat betul Giam Kin!” Saking marahnya tosu ini mengeluarkan makian.

“Bagaimana, Totiang?” Beng San berseru heran dan kaget.

Kakek menggeleng-geleng kepala dan memandang sedih ke arah Bun Lim Kwi.
“Tidak baik, tidak baik….. racun ular itu bukannya menyembuhkan, malah menambah payah. Agaknya bukan Ngo-tok-coa…..” tiba-tiba kakek itu menghentikan ucapannya, wajahnya makin pucat ketika dia berbisik, “….. ngo-tok (lima racun)…..? Ah, jangan-jangan ada hubungannya dengan Ngo-lian-kauw, bukan ular-ular obat yang diberikan malah ular beracun berbahaya.”

Kalau Beng San menjadi kaget bukan main, adalah Thio Ki dan Kui Lok sekarang girang sekali.

“Beng San, lekas bawa pergi dia dari sini, tidak ada tempat untuk mengubur mayat orang Kun-lun!” kata Kui Lok.

Pada saat itu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa muncul. Para tamu yang melihat, Lian Bu Tojin mengundurkan diri, lalu berpamit dan di puncak Hoa-san sudah menjadi sunyi.

“Bagaimana, Suhu?” tanya Kwa Tin Siong yang tadi sudah mendengar tentang peristiwa yang terjadi atas diri Bwi Lim Kwi.

“Kita ditipu Giam Kin,” jawab kakek itu. “Dua ekor ular itu bukan ular obat setelah dipergunakan racunnya malah membuat dia makin parah.”

“Bagaimana baiknya sekarang? Totiang, Kwa lo-enghiong, tolonglah beri petunjuk kepadaku,” kata Beng San, nampak gelisah sekali.

Kwa Hong menjadi terharu melihat sikap Beng San, akan tetapi gadis ini diam saja hanya menahan air matanya yang hendak keluar dari matanya.

“Tidak ada obat di dunia ini dapat menolongnya….. kecuali Thian turun tangan sendiri…..” kata Lian Bu Tojin.

“Hanya ada satu jalan…..” tiba-tiba Kwa Tin Siong berkata.

Semua mata ditujukan kepada jago Hoa-san-pai ini, tapi Kwa Tin Siong melihat dengan pandang mata jauh ke arah kaki gunung di sebelah utara.

“Ah, dia…..?” Kui Lok dan Thio Ki berkata dengan nada mentertawakan.

“Ayah, tak mungkin…..” kata Kwa Hong penuh kekhawatiran memandang kepada Beng San. Adapun Lian Bu Tojin hanya menggeleng-geleng kepala saja.

“Kwa-enghiong, siapakah dia itu? Siapa yang dapat menolong Lim Kwi dan apakah yang kau maksudkan dengan satu jalan tadi?”

Beng San mendesak, akan tetapi Kwa Tin Siong hanya menggeleng kepala. Beng San segera mendesak Lian Bu Tojin.

“Totiang, harap berbelas kasihan dan beri petunjuk. Siapakah dia yang dimaksudkan oleh Kwa-enghiong dan yang bisa menolong Lim Kwi?”

“Tidak ada, tidak ada….. tak mungkin ditolong lagi…..” kata kakek ini pula.

Melihat bahwa Kwa Tin Siong dan ketua Hoa-san-pai agaknya hendak menyembunyikan nama orang yang kiranya dapat menolong Lim Kwi, Beng San lalu menoleh kepada Kwa Hong,

“Adik Hong, maukah kau memberi penjelasan kepadaku?”

Bukan main panasnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar pemuda itu menyebut adik kepada Kwa Hong. Menurut pendapat mereka, tak patut pemuda ini menyebut adik, seharusnya menyebut nona.

“Sebetulnya bukan karena Ayah dan Sukong tidak mau memberi tahu, San-ko. Akan tetapi memang tidak ada gunanya mendatangi orang itu, malah amat berbahaya. Ketahuilah, di kaki gunung ini sebelah utara terdapat seorang sakti yang amat aneh, terkenal disebut Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Baru namanya saja sudah menerangkan bahwa dia itu adalah seorang ahli obat sampai disebut Setan Obat. Akan tetapi, sebutan Toat-beng sudah jelas pula bahwa dia mempunyai satu kesukaan, yaitu mencabut nyawa orang. Menurut kabar, segala macam penyakit dia dapat menyembuhkan, akan tetapi begitu orangnya sembuh, dia lalu turun tangan membunuhnya. Karena inilah maka Ayah dan Sukong tidak mau menyebut namanya.”

“Apa dia gila…..?” Beng San berseru marah dan heran.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum berkata.
”Sama sekali kami tidak tahu bagaimana keadaannya sebetulnya, Beng San, dan kami tidak mau mencoba-coba untuk menanam permusuhan dengan orang kang-ouw. Dia tidak mengganggu kami dan kami tidak pedulikan dia, akan tetapi tentang kepandaiannya mengobati sudah amat terkenal di dunia kang-ouw.”

Lian Bu Tojin mengarigguk-angguk.
“Dia sama terkenalnya dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan, keduanya adalah keturunan tokoh-tokoh hebat di jaman dahulu. Kalau Ciu Hui Gan masih keturunan dari si dewi pedang Ang I Niocu, adalah dia itu masih keturunan dari Yok-ong (Raja Obat) sayangnya….. hemmm, dia mempunyai kebiasaan yang amat keji dan aneh itu.”

Beng San tidak berkata apa-apa, lalu menghampiri dipan dan memondong tubuh Lim Kwi yang masih pingsan dan lemas.

“Beng San, kau hendak kemana?” tanya Kwa Tin Siong dan semua orang memandang kepada pemuda ini.

“Kemana lagi, Kwa-enghiong? Ke kaki gunung sebelah utara itu untuk minta pertolongan Toat-beng Yok-mo.”

“San-ko! Kau akan dibunuhnya!” seru Kwa Hong, wajahnya pucat.

Sikap gadis ini amat menarik perhatian sampai ayahnya sendiri menoleh dan memandang heran.

Beng San menoleh kepada Kwa Hong dan tersenyum pahit.
“Apa boleh buat, tapi akan kuusahakan supaya dia tepat menyembuhkan Lim Kwi.”

“Beng San, dia ini apamu dan ada hubungan apakah kau dengan Kun-lun-pai maka kau bertekad mengorbankan nyawa untuk menolongnya?” Lian Bu Tojin bertanya, mata kakek ini memandang kagum.

“Totiang, menolong orang lain dengan pamrih untuk keuntungan bagi diri sendiri bukanlah pertolongan namanya. Manusia hidup harus saling tolong-menolong dan apakah artinya pertolongan tanpa disertai pengorbanan?”

Setelah berkata demikian, dia berjalan pergi sambil memondong tubuh Lim Kwi, sengaja dia memberatkan langkahnya sehingga kelihatan keberatan memondong tubuh itu.

Semua mata mengikutinya, mata Kwa Hong basah air mata. Lian Bu Tojin menggeleng kepalanya, menarik napas panjang berkali-kali dan berkata penuh pujian.

“Siancai….. siancai….. selama hidupku baru kali ini pinto melihat orang dengan budi pekerti sebaik dia….. kalian semua lihatlah baik-baik dan ingat baik-baik, dialah orang yang patut dihormati, dialah patut disebut seorang gagah!” Setelah berkata demikian kakek ini terbongkok-bongkok memasuki pondoknya.

**** 100 ****





No comments:

Post a Comment