Ads

Monday, October 8, 2018

Raja Pedang Jilid 099

Bun Lim Kwi maklum bahwa percuma saja dia membujuk, maka dia mengambil keputusan untuk merobohkan gadis ini tanpa melukai berat atau kalau mungkin meninggalkannya lari. Yang pertama tadi, yaitu merobohkan tanpa melukai agaknya lebih mudah dipikirkan daripada dilakukan. Tingkat kepandaian gadis ini boleh dibilang seimbang dengan tingkatnya sendiri, mana mungkin dia merobohkannya tanpa melukai?

Setelah berpikir demikian, Lim Kwi mengambil keputusan untuk meninggalkannya lari saja. Tidak peduli dia dicap pengecut atau takut, karena soalnya bukan dia takut, melainkan karena dia tidak mau bermusuhan dengan gadis yang sekaligus menarik cinta kasihnya dan juga menimbulkan kasihan di hatinya ini.

“Maaf, Nona Thio, aku tak dapat melayanimu lebih lama lagi!”

Pedangnya berkelebat cepat dan pedang nona itu tertangkis dengan kerasnya sehingga terpental. Thio Eng kaget sekali karena merasa telapak tangannya sakit. Baiknya dia masih dapat menjaga sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan. Ketika dia dapat menguasai keadaannya, pemuda itu sudah meloncat jauh lari cepat.

“Orang she Bun, kau hendak lari kemana?” bentaknya marah dan cepat dia mengejar.

Dari pertandingan pedang kedua orang muda ini sekarang melakukan perlumbaan lari cepat juga dalam ilmu ini keduanya memiliki tingkat seimbang. Thio Eng sukar sekali untuk dapat menyusul lawannya, juga amat sukar bagi Lim Kwi untuk memperjauh jarak antara dia dan pengejarnya.

Gadis itu seakan-akan menjadi bayangannya, terus mengikuti, kemana pun juga dia lari atau meloncat. Ada sejam mereka berkejaran. Lim Kwi mulai merasa gelisah. la memasuki hutan-hutan dan sengaja mengambil jalan pegunungan yang amat sukar dengan harapan agar gadis itu akhirnya membiarkan dia pergi. Akan tetapi, dengan penuh semangat Thio Eng mengejar terus.

Karena merasa tak sanggup lari pergi dari gadis itu, Bun Lim Kwi membalikkan tubuhnya dan kembali dia membujuk.

“Nona Thio, kenapa kau bertekad hendak membunuhku sekarang juga? Tidak kasihankah kau kepadaku yang juga mempunyai semacam sakit hati dan penasaran seperti yang kau derita? Aku minta waktu tiga bulan, Nona. Berilah tiga bulan agar aku dapat menyelesaikan dulu urusanku sendiri, setelah itu, aku akan mencarimu dan terserah kalau kau hendak membalaskan sakit hati ayahmu.”

Tertegun juga hati Thio Eng mendengar ini. Pemuda ini lihai, belum tentu ia akan dapat menang kalau mereka bertempur. Juga buktinya tadi, biarpun ia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, sampai sedemikian lamanya belum juga dia mampu menyusulnya.

Kiranya pemuda ini merupakan tanding yang seimbang dan belum tentu kalah kalau melawan, mengapa tidak mau melawan dan bahkan memberi janji akan suka dibunuh tiga bulan kemudian? Bukankah ini aneh sekali? Akan tetapi pikiran ini hanya sebentar saja memenuhi kepalanya, segera terganti oleh rasa dendam yang sudah ditanggungnya semenjak ia kecil. Kemarahannya datang lagi. Pedangnya bergerak menyerang disusul bentakan.

“Tak usah banyak cakap, seorang dari antara kita harus mati!”

Bun Lim Kwi merasa sedih sekali sehingga dia agak terlambat mengelak. Pedang yang menusuk lehernya itu kini menyerempet pundaknya. Baju Lim Kwi robek berikut kulit dan sedikit dagingnya.


Darah mulai mengucur deras membasahi baju. Kembali Thio Eng tertegun, akan tetapi segera ia menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi sudah bersiap dan pedangnya menangkis. Kembali dua orang ini bertempur hebat sampai lenyap tubuh mereka terbungkus gulungan dua sinar pedang.

Dua orang itu saking hebatnya mencurahkan perhatiannya di ujung senjata masing-masing, tidak tahu bahwa sesosok bayangan datang mendekat. Setelah melihat siapa yang sedang bertempur, bayangan ini mengeluarkan segenggam benda lalu dengan kecepatan kilat dia menyambitkan benda-benda kecil dalam genggaman itu ke arah Bun Lim Kwi.





Pemuda ini tidak dapat mempertahankan diri terhadap serangan gelap ini karena benda-benda itu ternyata adalah jarum-jarum halus sekali yang ketika melayang ke arah tubuhnya tidak mengeluarkan bunyi. Tahu-tahu dia merasa punggungnya panas dan gatal-gatal, tubuhnya kaku-kaku dan tak dapat ditahannya lagi dia terguling dan pedangnya terlepas dari pegangannya!

Thio Eng heran bukah main. Masih sempat ia menarik kembali pedangnya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa Bun Lim Kwi telah roboh telentang dalam keadaan mengerikan. Muka pemuda yang tampan itu menjadi biru menghitam, tubuhnya kaku tak bergerak lagi.

Ketika gadis ini mengangkat muka, ia melihat seorang pemuda sudah berdiri tersenyum-senyum di depannya. Pemuda ini bukan lain adalah Giam Kin! Tahulah Thio Eng sekarang bahwa diam-diam Giam Kin membantunya dan menyerang Lim Kwi dengan senjata rahasia yang aneh.

“Nona Eng, puaskah kau sekarang melihat musuhmu menggeletak di depan kakimu? Nah, jangan buang waktu lagi, segera kau penggal lehernya!” kata Giam Kin sambil tersenyum lebar.

Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat nona itu dengan mulut cemberut dan mata berapi membentak.

“Kenapa kau mencampuri urusanku? Kenapa kau membunuhnya?”

“Eh, Nona. Bukankah dia musuhmu? Tadi kulihat kau tidak kuat mengalahkannya, maka aku membantumu.”

“Siapa sudi bantuanmu? Siapa butuh pertolonganmu? Laginya, kau menyerang secara pengecut!” Gadis itu dengan marah lalu meloncat dan lari pergi dari situ.

Giam Kin berdiri terpaku di tempatnya. la menyeringai, kemalu-maluan dan juga penasaran. Akhirnya dengan marah dia lalu menoleh ke arah tubuh Lim Kwi yang masih menggeletak disitu, meludahinya dan mengomel,

“Sialan!”

Dengan hati murung Giam Kin lalu pergi dari situ juga. la tertarik oleh kecantikan Thio Eng, akan tetapi berbeda dengan menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Thio Eng dia tidak berani bersikap sembrono. Selain gadis ini memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia harus mengingat guru gadis itu, Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang tak boleh dipandang ringan.

Belum lama Giam Kin pergi, tubuh Bun Lim Kwi bergerak-gerak dan terdengar dia merintih perlahan. Pada saat itu Beng San berlari-lari cepat dalam usahanya mengejar Thio Eng dan mencari Bun Lim Kwi.

“Celaka, terlambat…..!” katanya ketika dari jauh dia melihat tubuh murid Kun-lun itu menggeletak disitu.

Cepat dia memeriksa dan alangkah kagetnya melihat betapa seluruh tubuh pemuda ini membiru, napasnya kempas-kempis. Beng San adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu yang hebat, akan tetapi dia bukanlah seorang ahli pengobatan.

Betapapun juga, setelah mendapat kenyataan bahwa di punggung pemuda ini terdapat jarum-jarum halus yang menancap, dia dapat menduga bahwa tentu Bun Lim Kwi terkena racun yang amat berbahaya. Dicabutnya jarum-jarum halus berjumlah tujuh buah itu dan dengan hati-hati dia bungkus jarum-jarum itu dimasukkan ke dalam saku bajunya.

“Terlalu sekali Thio Eng. Betulkah nona itu sampai hati menggunakan senjata rahasia begini ganas dan keji?”

la merasa penasaran, lalu tanpa ragu-ragu lagi Beng San menempelkan bibirnya pada luka-luka di punggung Lim Kwi, kemudian mengecupnya kuat-kuat. Darah-darah menghitam dapat dia isap keluar dan diludahkan, akan tetapi hanya berhasil mengeluarkan darah beracun yang berada disekitar luka.

Segera Beng San menggunakan kepandaiannya. Dengan menempel kedua pundak Bun Lim Kwi dengan kedua telapak tangannya, dia menahan napas mengerahkan tenaga dalamnya, mempergunakan tenga Im Yang berganti-ganti untuk mendorong hawa beracun dari tubuh Bun Lim Kwi. Karena dia tidak tahu tergolong apakah racun itu, Im atau Yang, dia tidak tahu harus mempergunakan tenaga apa untuk melawannya.

Baiknya hawa mujijat dalam tubuh Beng San memang hebat sekali. Ketika dia mempergunakan tenaga Im, darah hitam banyak mengucur keluar dari luka-luka di punggung Lim Kwi. Akhirnya muka pemuda ini tidak biru lagi dan napasnya agak lega. Akan tetapi dia masih kaku dan pingsan.

Beng San teringat akan ular pemberian Giam Kin kepada ketua Hoa-san-pai,
“Ah, kenapa aku begini bodoh? Hoa-san tidak terlalu jauh, kalau kubawa kesana dan minta Lian Bu Tojin memberikan ular-ular itu untuk menolong, bukankah Lim Kwi akan dapat tertolong segera?”

Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memondong tubuh Lim Kwi dan mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali naik ke puncak Hoa-san.

Setelah tiba di puncak, dia segera berjalan seperti biasa menuju ke tempat tinggal Lian Bu Tojin. la melihat bahwa masih ada sedikit tamu di tempat pesta. Untuk tidak menarik perhatian orang, Beng San menggunakan kepandaiannya meloncat dan menyelinap menuju ke belakang dan memasuki bangunan itu dari belakang. Beberapa orang tosu melihatnya dan menegur heran.

“Beng San, kau dari mana dan….. eh, Siapa itu…,.?”

Para tosu terheran-heran, apalagi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa orang yang dipondong Beng San itu bukan lain adalah Bun Lim Kwi, murid Kun-lun-pai yang tadi datang bersama Pek Gan Siansu.

“Harap para Totiang tenang-tenang saja dan tolonglah panggilkan Lian Bu totiang, katakan aku Beng San mohon bertemu, ada urusan amat penting.”

Para tosu segera melaporkan kepada Lian Bu Tojin yang masih duduk diruangan depan menanti habisnya para tamu. Tosu tua ini begitu mendengar laporan, segera mengundurkan diri dan menuju ke belakang, membiarkan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melayani para tamu.

Akan tetapi Kwa Hong yang berada di dekatnya ketika ada tosu memberi laporan, segera mengikutinya. Hal ini terlihat oleh Thio Bwee, Kui Lok dan Thio Ki yang segera mengikuti pula dari belakang.

“Beng San, kenapakah dia itu…..?”

I.ian Bu Tojin menegur dengan kaget setelah melihat Bun Lim Kwi menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan amat payah.

“Totiang yang baik, saya mohon belas kasihan Totiang. Tolonglah Bun Lim Kwi yang teecu (saya) ketemukan sudah menggeletak dalam keadaan begini di lereng bukit. Melihat keadaannya, teecu rasa dia terkena senjata beracun dan….. teecu teringat ucakan pemberian Giam Kin. Bukankah ular-ular kecil itu adalah ular penolak racun?”

Lian Bu Tojin tidak menjawab dan cepat dia memeriksa tubuh Bun Lim Kwi. Sebagai seorang ketua partai persilatan besar tentu saja kakek ini mengerti tentang ilmu pengobatan. Wajahnya berubah ketika dia memeriksa pemuda itu.

“Dia telah terkena racun yang amat berbahaya,” katanya. “Pinto sendiri tidak mempunyai penolak racun yang akan dapat melawan racun ini.”

“Totiang, bukankah Giam Kin telah memberi hadiah ular-ular penolak racun itu?”

Kakek itu mengangguk-angguk akan tetapi nampak ragu-ragu.
“Hemmm, pinto pernah mendengar kemanjuran Ngo-tok-coa, akan tetapi belum pernah membuktikannya sendiri. Memang kata orang Ngo-tok-coa dapat menyembuhkan segala macam penyakit akibat keracunan, akan tetapi pinto belum pernah melihat kenyataannya, bahkan ularnya pun baru sekarang pinto melihatnya. Pemuda ini benar-benar hebat dan amat berbahaya keadaannya, kalau tidak mendapatkan obat yang cocok, takkan kuat menahan sampai dua pekan.” Tosu itu nampak ragu-ragu dan khawatir.

“Totiang, kalau begitu, tolonglah Totiang berikan Ngo-tok-coa kepada teecu untuk mengobati Lim Kwi,” Beng San berkata gelisah.






No comments:

Post a Comment