Ads

Monday, October 8, 2018

Raja Pedang Jilid 098

Kita mengikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi rnenjatuhkan diri berlutut di depan suhunya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggeleng-geleng kepalanya, mengelus jenggotnya.

“Lim Kwi, aku tahu bahwa biarpun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kau keluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong (ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja diantara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong. Selama ini kata-kata dan perbuatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda.”

“Ampunkan teecu yang tidak berbakti, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu memaksa diri untuk berbakti kepada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah ayah dan paman yang telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua yang diucapkan orang di Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksanakan, selalu teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati.”

“Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau sudah dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendiri. Sekarang katakanlah, apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang orang-orang Hoa-san-pai?” Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.

“Tidak sekali-kali teecu berani melangar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis perdamaian itu, bahkan teecu takkan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi….. Suhu, apakah kematian ayah dan paman harus didiamkan dan dibiarkan begitu saja? Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?”

“Hemmm, orang muda…… alangkah jauh perkiraanmu tentang roh! Kalau tidak keliru wawasanku, roh ayah dan pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau dapat melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tapi, aku takkan berkeras mencegah dan merusak hatimu, muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kau lakukan?”

“Teecu tadi sudah banyak mendengar tentang Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu berpendapat bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kwee-susiok sendiri…..”

“Hemmmmm, jangan kau menyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mengakui dia sebagai muridku lagi!” kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.

“Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah dan paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi Hoa-san-pai, maka sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin.”

“Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?”

“Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, hendak teecu ajak dia itu ke Hoa-san-pai agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar.”

“Ha-ha-ha, kau hendak berlumba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau takkan menang, Lim Kwi!”

Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-san-pai secara langsung. Bun Lim Kwi memandang gurunya, tak percaya.

“Lim Kwi, jangan kau pandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkan keluar biasaannya. Dia bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apabila kau bertemu dengan dia, kau boleh mendengarkan semua nasihatnya. Aku menyetujui rencanamu, biar aku pulang ke Kun-lun dan menanti beritamu disana. Semoga kau takkan menyeleweng daripada jalan kebenaran dan dapat bersikap selamanya sebagai seorang enghiong dari Kun-lun-pai yang harus kau junjung tinggi nama besarnya.”

Setelah berkata demikian, Sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera berlutut dan diam-diam merasa amat kagum. Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya. Setelah berlutut memberi hormat, pemuda ini bangun dan menarik napas panjang. Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu, pikirnya.





Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Kemana dia harus mencari orang itu? la banyak mendengar tentang Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-lian-pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar lagi bahwa Kwee sudah diangkat oleh kerajaan menjadi perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol.

Ngo-lian-pai atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka takkan mudah mencari sarang partai ini. Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mongol. Dimana lagi kalau tidak di kota raja?

Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja, akan tetapi dia sudah bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berangkatlah dia menuju ke kota raja.

Tapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok bayangan hijau berkelebat dibarengi bentakan,

“Orang she Bun, bersiaplah menebus dosa ayahmu!”

Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik berbaju hijau yang tadi menyerangnya di puncak Hoa-san! Gadis itu kini dengan muka agak pucat telah berdiri menghadangnya dengan pedang tajam melintang di dada, pedang yang ujungnya sudah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.

Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram,
“Nona,” ia menjura sebagai tanda penghormatan dan suaranya mengandung kesedihan besar, “kenapa Nona memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula gerangan kesalahan mendiang ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?”

Thio Eng, gadis itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memancarkan sinar kemarahan.

“Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku ketika aku masih kecil.”

“Nona, kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, mengapa kau memusuhi aku? Apa salahku dalam hal ini bantahnya.”

“Aku hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah mampus, kaulah anaknya yang harus mempertanggung-jawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tak usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!” la sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah gemetar.

Tiba-tiba Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib, ayah dibunuh orang, hidup menderita dendam.

la tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini akan tetapi dia menyalahkan sikap Thio Eng. Andaikata dia berpendapat seperti nona ini lalu memusuhi anak-anak dari musuh yang membunuh ayahnya, tentu dia tidak akan sudi dicalonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh pembunuh ayahnya!

Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga persoalannya sendiri, harus diselidiki secara teliti. Andaikata benar ayah dan pamannya membunuh ayah gadis itu, pasti ada sebab-sebabnya.

“Nona, kalau ayah dan pamanku benar-benar telah membunuh ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku adalah dua orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama bersih tak ternoda.”

Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, matanya berkilat-kilat.

“Apa kau kata? Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar dari langit sekalipun, kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu! Ayah adalah seorang patriot besar, seorang pejuang. Siapa diantara para pejuang yang tak pernah mendengar nama besar Thio San? Kesalahannya tentu terletak pada ayah dan pamanmu. Kun-lun Sam-hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!” Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu.

Serangan ini hebat, cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan menghindarkan diri.

“Tahan dulu, Nona…..”

Namun nona yang sudah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi maklum bahwa menghadapi nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia bertangan kosong. Terpaksa dia mencabut keluar pedangnya yang juga sudah buntung ujungnya dan menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.

“Nona, aku….. aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama dengan keadaanku. Aku maklum akan penderitaanmu, akan dendammu…..”

Thio Eng menahan pedangnya, mendengarkan dengan pandang mata heran.
“Nona, percayalah, aku tidak menyalahkan kau kalau kau mendendam sakit hati. Akupun demikian. Ayahku terbunuh orang. Tapi, berilah kesempatan kepadaku untuk membereskan urusanku. Kau sudah mendengar semua di Hoa-san tadi. Biarkan aku mencari susiok….. eh, mencari Kwee Sin sampai dapat sehingga urusan pembunuhan terhadap orang tuaku bisa diselesaikan. Setelah itu, nah….. setelah itu kalau kau hendak membalas dendammu kepadaku, silakan. Aku akan memberikan kepalaku kepadamu.”

“Cih, siapa sudi mendengar obrolanmu”.

“Betul, Nona. Entahlah…. hatiku tidak mengijinkan aku marah kepadamu. Aku kasihan kepadamu yang bernasib buruk. Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andaikata sakit hatimu itu dapat dipuaskan karena kematianku sebagai penebus dosa ayahku, biarlah aku berkorban. Tapi tunggulah sampai aku selesai mengurus urusanku sendiri.”

“Bohong! Kau hanya mencari alasan untuk melepaskan diri dariku. Hemm, orang she Bun, jangan harap aku dapat kau bodohi. Atau kau pengecut….. tidak berani menghadapi pedangku!”

Betapapun juga, Lim Kwi adalah seorang pemuda. Dia memang penyabar sekali, dan memang sudah menjadi dasar wataknya yang jujur dan sabar, berani mengalah. Akan tetapi karena sekarang didesak sedemikian rupa oleh nona ini, apalagi karena dianggap pengecut, sifat jantannya menonjol. la cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan berkata.

“Nona Thio, sungguh aku tidak ingin bertempur denganmu. Jangan kau memaksaku!”

Namun Thio Eng terus mendesak dan sebentar saja dua orang muda itu sudah bermain pedang dengan hebatnya. Serangan-serangan Thio Eng benar-benar amat berbahaya, Sebagai murid Swi Lek Hosiang, tentu saja kepandaiannya amat tinggi, ilmu pedangnya sudah masak dan juga ilmu pedang yang berasal dari daerah pantai timur ini mempunyai gaya tersendiri, mempunyai keistimewaan sendiri. Permainan pedangnya cepat, tangkas, lincah dan mengandung tenaga yang bergelombang, seperti gelombang samudera yang memecah di pantai timur!

Akan tetapi Bun Lim Kwi adalah murid termuda Kun-lun-pai yang amat disayang oleh gurunya. Hampir seluruh ilmu pedang yang dimiliki Pek Gan Sian-Su diturunkan kepada muridnya ini sehingga dalam permainan Kun-lun Kiam-hoat boleh dibilang dimasa itu Bun Lim Kwi menjadi orang ke dua di Kun-lun setelah gurunya sendiri. Bahkan tingkat ilmu pedang yang dimiliki oleh paman dan ayahnya, juga yang dimiliki Kwee Sin, masih kalah setingkat olehnya.

Tentu saja dia masih banyak membutuhkan pengalaman pertempuran untuk mematangkan ilmunya. Gaya permainannya tenang dan kuat seperti batu karang di pantai laut, akan tetapi juga kadang-kadang kalau dia mau dia bisa melancarkan serangan yang mematikan.

Betapapun juga, menghadapi Thio Eng dia tidak tega untuk melakukan serangan maut, hanya mempertahankan dan melindungi tubuhnya, kadang-kadang memancing dan menggertak untuk mengurangi daya tekanan lawan. la merasa sedih sekali dengan kenekatan gadis ini yang agaknya tak dapat ditahannya lagi.






No comments:

Post a Comment