Ads

Wednesday, October 10, 2018

Raja Pedang Jilid 101

Kaki gunung sebelah utara itu amat indah pemandangannya. Penuh pohon berkembang dan rumput menghijau, disitu mengalir sebuah sungai kecil yang amat jernih airnya, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Di pandang dari lereng, kelihatan betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung ini, menggirangkan hati Beng San yang menuruni lereng dengan cepat sekali.

Akan tetapi, setelah dia tiba di kaki gunung, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Keadaannya memang indah, namun amat menyeramkan. Begitu sunyi. Sunyi melengang melebihi sunyinya kuburan. Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin, kembang-kembang memenuhi ranting, rumput-rumput hijau tak pernah terinjak kaki nampak subur menggemuk, suara air gemercik seperti dendang lagu yang tak kunjung henti.

Akan tetapi, kesunyian yang mencekam amat menyeramkan. Tak seekorpun burung kelihatan terbang, tak seekorpun binatang kelihatan berlari, bahkan tidak ada seekorpun jengkerik berbunyi. Tempat indah, namun seakan-akan tempat yang mati, tempat yang terkutuk dimana hawa maut selalu mengancam yang hidup!

Hanya sebentar saja keseraman mencekam hati Beng San. Segera dia dapat menguasai dirinya dan melangkah maju dengan tenang dan cepat. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah pondok kayu diantara pohon-pohon dekat sungai dan sekarang dia tujukan langkahnya ke arah pondok itu.

Makin dekat dengan pondok ia berjalan, makin banyaklah dia mendapatkan bukti yang menyebabkan keadaan daerah itu demikian sunyi. Di sepanjang jalan, banyak yang sudah tertutup oleh rumput-rumput hijau, dia melihat banyak sekali tulang-tulang berserakan, kerangka-kerangka binatang besar kecil seakan-akan semua penghuni hutan itu telah tewas karena bencana yang maha dahsyat.

Makin dekat dengan pondok, dia mulai melihat kerangka-kerangka manusia yang sudah kering, sudah rusak dan ada pula yang masih baru. Beng San menekan debar jantungnya dan melangkah terus sampai ke depan pintu pondok. Dilihatnya asap keluar dari jendela pondok itu dan bau yang amat aneh menusuk hidungnya, bau yang luar biasa, disebut wangi ada bau tak enaknya, seperti bau obat-obatan yang dimasak.

“Teecu Tan Beng San mohon bertemu dengan Locianpwe keturunan Yok-ong yang budiman,” Beng San berseru tanpa mengerahkan khikangnya, dengan suara biasa saja.

Terdengar suara cekikikan di dalam pondok itu.
“Hi-hi-hik! Tidak ada keturunan Yok-ong (Raja Obat) yang budiman disini. Yang ada Setan Obat, sama sekali tidak budiman! Hi-hi-hik!”

Suara itu menyeramkan sekali terdengar di tempat sesunyi itu.
“Teecu mohon pertolongan locianpwe Setan Obat untuk menolong nyawa sahabat teecu yang terluka dan terkena racun.”

Kembali suara ketawa seperti tadi, disusui kata-kata yang parau,
“Tidak ada Setan Obat penolong nyawa disini, yang ada Setan Obat Pencabut Nyawa (Toat-beng Yok-mo) ! Hi-hi-hik!”

Mendongkol hati Beng San, juga dia merasa gelisah. Terang bahwa orang di dalam itu adalah seorang yang mempunyai sifat suka mempermainkan nyawa orang pula.

“Kalau begitu, biarlah teecu mohon bertemu dengan Toat-beng Yok-mo untuk bicara.”

Pintu pondok yang tertutup tiba-tiba terbuka mengeluarkan suara berderit dan seorang kakek bongkok berkepala botak keluar sambil membawa sebuah panci yang mengebulkan uap.

Panci itu dari besi dan di bawahnya sampai merah membara, namun kakek itu memegang panci begitu saja, padahal dapat dibayangkan betapa panasnya. Dari sini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya kakek buruk rupa ini. Matanya yang besar sebelah, sebelah lagi sipit seperti meram, memandang kepada Beng San yang masih berdiri di depan pintu sambil memondong tubuh Bun Lim Kwi yang pingsan.


“Hi-hi-hi, orang muda nekat. Sudah tahu aku Setan Obat Pencabut Nyawa, masih nekat hendak bertemu. Apa kau mau menyerahkan jantungmu dan jantung temanmu yang hampir mati karena racun itu untuk kutambahkan ke dalam panci ini?”





la menggerak-gerakkan panci sehingga isinya berlompatan ke atas. Beng San bergidik ketika melihat isi panci itu adalah potongan-potongan daging berwarna merah kebiruan. Benarkah itu jantung-jantung manusia?

“Toat-beng Yok-mo locianpwe, aku datang untuk mohon pertolonganmu mengobati temanku yang sakit ini,” kata Beng San.

“Goblok! Siapa mau mengobati? Aku hendak mengambil jantungmu dan jantung temanmu itu, mau lihat siapa berani menghalangi Setan Obat Pencabut Nyawa?” Orang itu tertawa-tawa.

Beng San memutar otaknya. Jelas baginya sudah bahwa orang ini kalau bukan orang yang luar biasa anehnya, tentulah seorang yang miring otaknya. Melihat sikap dan kata-katanya, tentu orang ini amat sombong dan mengandalkan kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk memanaskan hatinya.

“Hemmm, kiranya aku salah alamat. Kau bukanlah Yok-mo seperti yang didengung-dengungkan orang kang-ouw. Kau hanyalah tukang membunuh, sama sekali tidak becus mengobati orang. jangan kau pura-pura menggunakan dan memalsu nama keturunan Yok-ong. Tak tahu malu.”

Mata kanan yang lebar itu makin terbelalak sedangkan yang kiri makin sipit, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang tinggal tiga buah atas bawah itu.

“Orang muda, aku memang keturunan Yok-ong dan akulah Toat-beng Yok-mo Mengobati orang ini saja apa susahnya? Dia terkena racun kelabang yang dipergunakan orang di ujung senjata rahasia. Tentu dia terluka di punggungnya. Kemudian….”

la mengarahkan pandangnya kepada muka Bun Lim Kwi,
“Kemudian ditambah lagi dengan racun Ular Merah, hebat sekali, tidak saja racun memasuki perutnya, juga memasuki tubuh melalui luka. Hih, tiga hari lagi dia bakal mampus!”

Sampai ternganga mulut Beng San mendengarkan kata-kata yang cocok ini. la mulai percaya bahwa orang di depannya ini benar-benar seorang ahli dalam pengobatan. Sekali melihat saja dia sudah dapat membuka rahasia penyakit yang diderita Lim Kwi. Tapi pemuda yang cerdik ini sengaja memperlihatkan senyum mengejek.

“Ah, kau hanya ngawur saja. Semua orang juga bisa bicara sesukanya tentang penyakit orang. Tapi aku tetap tidak percaya kalau kau bisa mengobati penyakitnya. Apalagi penyakit karena keracunan begini hebat, sedangkan orang masuk angin biasa saja aku sangsi apakah kau bisa mengobati sampai sembuh!”

Kakek bongkok ini membanting-banting kaki, marah sekali.
“Anak setan! Jangankan baru sakit macam ini, orang matipun aku bisa bikin hidup lagi!”

“Uhhh, siapa percaya omongan ini? Kalau kau bisa buktikan, bisa menyembuhkan temanku ini, aku mau berlutut padamu dan mengakui bahwa kau benar-benar keturunan Yok-ong yang pandai seperti dewa. Tapi kalau kau tidak becus, kau tidak lain hanyalah penjual lagak yang kosong melompong belaka.”

“Bawa dia masuk, bawa dia masuk….. buka matamu dan lihat bagaimana dalam waktu singkat Toat-beng Yok-mo menyembuhkannya sama sekali!” bentak kakek itu sambil terbongkok-bongkok masuk ke dalam pondoknya membawa panci itu.

Diam-diam Beng San tersenyurn girang. Akalnya telah berhasil. Segera dia melangkah masuk ke dalam pondok tanpa ragu-ragu lagi. Pondok itu ternyata cukup lega dan terang karena bagian atapnya dapat dibuka sehingga sinar matahari dapat menyinari masuk.

Akan tetapi kotor sekali, penuh dengan tulang-tulang, daun kering, akar-akaran yang bertumpuk di meja, di lantai dan di semua tempat. Di pojok terdapat sebuah dipan bambu.

“Letakkan disini!”

Beng San menurunkan tubuh Lim Kwi di atas dipan itu dan berdiri agak menjauhi untuk memberi kesempatan kepada orang aneh itu memeriksa. Akan tetapi, kakek itu sama sekali tidak melakukan pemeriksaan langsung saja dia membuka pakaian atas pemuda itu dengan cara kasar yakni merobek baju yang dipakai Lim Kwi begitu saja seperti orang merobek kertas tipis.

Dengan kasar juga kakek ini membalikkan tubuh Lim Kwi sehingga tubuh pemuda itu menelungkup. Sebentar dia memeriksa luka-luka di punggung, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang lebar. Ternyata itu adalah bungkusan jarum-jarum panjang terbuat daripada emas dan perak. Setelah memandang sejenak penuh perhatian, kakek ini lalu menusuk-nusukkan tujuh belas batang jarum di leher, kedua pundak sepanjang punggung dan diantara tulang iga.

Beng San memandang penuh perhatian dan kagum melihat cara kakek itu menusuk-nusukkan jarum yang demikian cepat, bertenaga dan tepat mengenai jalan-jalan darah tertentu.

Kemudian kakek bongkok itu melangkah tiga tindak ke belakang, kemudian dari situ dia melompat ke depan menggunakan jari telunjuknya menotok belakang kepala Lim Kwi, melangkah mundur lagi, melompat menotok lagi lain jalan darah berkali-kali.

Makin lama makin cepat dia bergerak sehingga dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menotok hampir semua jalan darah yang tidak tertusuk jarum-jarum emas dan perak di bagian belakang tubuh Lim Kwi.

Setelah melakukan totokan-totokan selama setengah jam dia terengah-engah dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap. Dengan lemas dia lalu mencabuti jarum-jarum itu, lalu membalikkan tubuh Lim Kwi telentang.

Beng San berdebar kagum. Muka Lim Kwi sudah mulai merah, napasnya tidak lemah seperti tadi.

Setelah beristirahat sejenak, kakek bongkok itu menggunakan jarum-jarumnya menusuk-nusuk dan menancap-nancapkan seperti tadi di tujuh belas tempat, kini dibagian depan badan Lim Kwi. Seperti tadi pula, dia menotok terus-menerus dengan gerakan cepat.

Setelah selesai dan mencabuti semua jarum, kakek itu terengah-engah menghadapi Beng San, lalu berkata parau,

“Hi-hi-hik, kau lihat? Penyakitnya sudah sembuh, sebentar lagi semua racun di badannya keluar!”

Beng San, masih belum percaya, akan tetapi tiba-tiba terdengar Lim Kwi mengeluh dan muntah-muntah. Yang dimuntahkan hanyalah cairan racun dan seluruh tubuhnya seakan-akan mengebul panas. Anehnya, keringat yang keluar dari tubuhnya berwarna agak biru, itulah racun yang keluar bersama keringatnya!

Dengan tenang kakek itu lalu menjejalkan tiga buah butir pil hijau ke dalam mulut Lim Kwi, mendorongnya dengan jari telunjuknya sehingga tiga butir pil itu terus memasuki perut. Tak sampai sejam kemudian, Lim Kwi sudah tenang, mukanya merah dan rnembuka matanya! la nampak heran sekali, akan tetapi ketika hendak bangun duduk, dia pusing dan meramkan mata.

“Saudara Bun Lim Kwi, kau rebahlah saja dulu. Baru saja kau disembuhkan oleh tabib dewa Toat-beng Yok-mo keturunan Yok-ong!” seru Beng San girang bukan main.

Akan tetapi kegirangannya lenyap seketika terganti kekagetan ketika melihat kakek itu sudah memegang sebatang pedang yang tajam dan runcing sambil tertawa-tawa,

“Eh, eh….. kau mau apa dengan pedang itu?” Beng San bertanya dan merasa seram.

“Hi-hi-hik! Toat-beng Yok-mo namaku. Setan Obat Pencabut Nyawa. Aku mengobati untuk bertanding dengan penyakit, bukan untuk menyembuhkan orang. Siapa yang sembuh oleh obatku, harus kucabut nyawanya dengan pedangku. Tadi aku mengobati, sekarang aku mencabut nyawa, hi-hi-hik, nyawamu dan nyawa dia.”

“Kakek yang baik, kenapa begitu? Mengobati orang sakit memberi pertolongan dan ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong! Adapun urusan mencabut nyawa, kurasa ini bukanlah urusan manusia. Hanya Thian yang menitahkan Giam-lo-ong (Raja Maut) berhak mencabut nyawa manusia. Kau sudah menolong temanku dari bahaya maut, kenapa hendak membunuhnya?”






No comments:

Post a Comment