Ads

Wednesday, September 26, 2018

Raja Pedang Jilid 076

Manusia boleh berdaya upaya, namun Tuhanlah yang berkuasa. Sudah menjadi hak, bahkan menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya upaya ke arah kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan sebagaimana yang ia kehendaki dan inginkan.

Namun tak dapat disangkal pula bahwa pada akhirnya, kekuasaan Tuhan yang akan menentukan bagaimana jadinya dengan segala daya upaya itu. Oleh karena itulah maka para bijaksana, para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar dalam setiap gerak, setiap langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia menyerahkan penentuan terakhir kepada Yang Maha Kuasa.

Apabila hati sudah betul-betul dapat menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa, apabila hati sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa ini, baik maupun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha Penentu, maka ia takkan terlalu merasa sengsara apabila yang dikehendaki dan diinginkannya tidak terkabul.

Sudah terlalu banyak sebetulnya contoh-contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di dunia sepanjang masa. Tak usah kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan kembali pengalaman hidup diri kita sendiri. Sudah betapa seringnya terjadi dalam hidup kita hal-hal yang sama sekali berlawanan dengan apa yang kita inginkan? Berlawanan sama sekali dengan apa yang kita kehendaki? Padahal sudah mati-matian kita berusaha untuk menjuruskan hal itu agar terjadi seperti keinginan kita? Tidakkah sudah terlalu sering kita merasa kecewa? Ini keliru, ini salah!

Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah semestinya begitu, betapapun pahit bagi kita. Sedapat mungkin, kita harus menerima pahit getir sebagai gernblengan batin, dan mencari-cari dalam diri sendiri kesalahan apakah yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang tidak kita kehendaki itu terjadi.

Karena, segala akibat itu pasti bersebab dan sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di luar, harus kita cari mendalam, mencari tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri kita sendiri. Apabila kita benar-benar sudah menyerahkan diri sebulatnya kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mampu mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan yang dilakukan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita telah bertindak salah.

Semua manusia, baik dia itu orang biasa maupun orang besar dalam arti kata besar kekuasaannya, tinggi kedudukannya, tetap saja harus tunduk kepada kekuasaan Tertinggi.

Kaisar Dinasti Goan yang terakhir, yaitu Kaisar Sun Ti, boleh menyombongkan diri sebagai manusia besar, pewaris Kerajaan Goan yang dibangun oleh Jenghis Khan, kerajaan yang meliputi seluruh Tiongkok, bahkan makin meluas ke barat dan ke selatan.

Akan tetapi, menghadapi keadaan yang memang sudah ditentukan oleh Tuhan, dia berikut bala tentaranya yang besar tak berdaya. Pemberontakan tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Tentu saja kelemahan Dinasti Goan ini ada sebabnya seperti juga semua akibat tentu bersebab.

Dinasti yang tadinya berkembang dan mencapai masa jaya dan masa keemasannya di waktu Kaisar Kubilai Khan bertahta itu, mulai goyah kedudukan dan keangkerannya setelah kaisar ini meninggal dunia.

Setelah Kubilai Khan meninggal dunia, mulailah terjadi perebutan kekuasaan diantara para raja muda dan pangeran. Apabila seorang raja muda atau pangeran dapat merebut singgasana, yang lain melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan sehingga terjadi ganti-mengganti kaisar yang hanya menduduki tahta selama beberapa tahun saja.

Apalagi diantara tahun 1307 sampai tahun 1333 selama dua puluh enam tahun ini terjadi penobatan kaisar sebanyak delapan kali! Karena selalu ribut-ribut di dalam istana kaisar, para pembesar menumpahkan perhatiannya akan perebutan kursi, sedangkan para pejabat yang berada di luar istana mempergunakan kesempatan selagi orang-orang besar itu tidak memperhatikan mereka, berpesta pora mengeduk harta kekayaan untuk mengisi gudangnya sendiri-sendiri.

Pemerasan terjadi dimana-mana dan akibatnya selalu rakyat yang tergencet. Semua ini ditambah dengan bencana musim kering yang menimbulkan kekurangan bahan makan dan tak dapat dicegah lagi rakyat menderita bencana kelaparan yang hebat. Inilah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan, baik di daerah selatan maupun di utara.

Memang harus diakui bahwa pemerintah Mongol itu mulai menginsyafi akan adanya bahaya pemberontakan dan segera dapat menindih dan membasmi para pemberontak yang terjadi disana-sini secara kecil-kecilan, namun mulai tahun 1351 kembali rakyat memberontak, malah kali ini amat hebat karena mereka mendapatkan pemimpin-pemimpin yang pandai.

Diantara para pemimpin pemberontak ini tentu saja yang paling terkenal adalah Cu Goan Ciang yang kelak akan menjadi raja pertama dari Dinasti Beng. Adapun perkumpulan rahasia dari para pemberontak yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-lian-pai.





Belasan tahun telah lewat dan keadaan pemerintah Mongol menjadi makin lemah. Perang terjadi dimana-mana, terutama sekali di sepanjang lembah Sungai Yang-ce-kiang, Sungai Huai dan Sungai Huang-ho. Daerah ini menjadi pusat para pemberontak.

Memang di antara para pemberontak ini terpecah menjadi banyak golongan yang bekerja sendiri-sendiri atau tidak terikat satu kepada yang lain, akan tetapi dalam menghadapi pemerintah penjajah, mereka ini dapat bersatu dan saling membantu. Ada kalanya apabila tidak sedang menghadapi barisan musuh, terjadi bentrokan antara dua golongan pemberontak, akan tetapi begitu musuh datang menyerang, dua golongan yang tadinya bentrok ini segera bersatu bahu rnembahu melawan serdadu-serdadu Mongol!

Demikianlah sedikit catatan mengenai keadaan Tiongkok dimasa Dinasti Goan yang dipimpin oleh Kaisar Sun Ti, Kaisar Mongol yang terakhir. Keadaan di seluruh negeri kacau dan penduduk merasa selalu tidak aman. Memang demikian selalu dirasakan rakyat apabila negara dilanda perang.

Perubahan besar ini amat terasa oleh Beng San yang selama delapan tahun lebih seakan-akan mengasingkan diri. Selama delapan tahun ini Beng San setiap hari hanya berhadapan dengan air sungai dan ikan yang dipancing atau dijaringnya bersama kakek nelayan. Tak pernah dia mendengar tentang keadaan dilain tempat, hanya mendengar bahwa pemberontakan makin menghebat.

Maka dapat dibayangkan betapa herannya melihat kesengsaraan rakyat jelata ketika dia turun dari Pegunungan Cin-ling-san. la menyaksikan para petani yang kurus-kurus dengan wajah penuh kebencian berbondong-bondong menggabungkan diri dengan para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan.

Ketika memasuki sebuah dusun dimana justeru sedang terjadi perang, dia menghadapi kesukaran pertama. Puluhan orang serdadu Goan mengepungnya dan hendak menangkapnya karena dia dituduh anggauta pemberontak.

Beng San tidak mau melayani mereka, merobohkan beberapa orang tanpa membunuhnya, lalu lari meninggalkan para serdadu yang melongo terheran-heran karena melihat betapa pemuda seperti petani yang hendak mereka tangkap itu tahu-tahu telah lenyap dari depan mata!

Semenjak mengalami hal ini, Beng San berlaku hati-hati dan selalu menjauhkan diri dari para serdadu Goan yang berkeliaran dimana-mana dalam usaha mereka membasmi pemberontak.

Betapapun juga, kesukaran ke dua segera menyusul setelah dia tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai Sungai Yang-ce di Propinsi Ho-pak. Kota ini masih ramai dan terjaga kuat oleh pasukan pemerintah. Penjagaan ketat mengepung tembok kota dan di dalam kota sendiri, diantara para pedagang, para penduduk dan pendatang, banyak berkeliaran mata-mata yang mengawasi gerak-gerik setiap orang secara rahasia.

Beng San tentu saja sama sekali tidak tahu akan hal ini. la memasuki kota I-kiang dan agak bergembira melihat keadaan kota yang ramai yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa keadaan dalam negeri sedang kacau oleh perang. la melihat adanya losmen-losmen besar kecil dan warung-warung arak berikut nasi dan bakmi.

Akan tetapi karena selama hidupnya belum pernah dia bermalam di losmen atau makan di warung, ditambah pula tidak ada sepeser pun uang di saku, dia hanya melihat-lihat dari luar saja. Kemudian baru terasa lapar perutnya ketika hidungnya mencium bau masakan dan arak.

“Aku harus mencari tempat penginapan, hari sudah mulai gelap dan perutku amat lapar,” pikirnya.

Seperti dulu di waktu dia masih kecil, setiap kali memasuki dusun atau kota dia mencari tempat penginapan di dalam sebuah kelenteng, maka sekarang juga dia mulai mencari-cari kelenteng untuk dijadikan tempat beristirahat.

Akhirnya di pinggir kota dia mendapatkan sebuah kelenteng besar. Akan tetapi kelenteng ini sudah kosong, hanya tinggal bangunannya yang kokoh kuat dan tiang-tiangnya yang terukir. Meja sembahyang tidak tampak, juga tidak ada toapekongnya. Malah patung-patung yang menghias sekeliling kelenteng sudah rusak semua dan tempat itu kotor sekali.

Tidak kelihatan seorangpun hwesio disitu, sebagai gantinya, halaman depan kelenteng itu penuh dengan orang-orang yang pakaiannya compang-comping, terang bahwa mereka adalah golongan jembel atau orang minta-minta.

Tanpa ragu-ragu Beng San memasuki halaman itu dan dia segera disambut oleh pandang mata belasan orang jembel yang duduk dan tiduran malang-melintang di tempat itu. Seorang pengemis yang masih muda segera berkata kepadanya.

“Kau pengungsi dari dusun? Hendak mencari tempat menginap disini? Silakan, banyak tempat….. banyak tempat? Belum makan? Marilah, bantu habiskan hidangan raja ini”

Pengemis itu usianya takkan lebih dari empat puluh tahun, tubuhnya tinggi. kurus, mukanya kotor, cambangnya tidak terpelihara, pakaiannya dari kain tebal yang sudah kotor. Yang disebut “hidangan raja” itu adalah beberapa potong roti kering yang kelihatannya keras dan sudah lama, kekuning-kuningan.

Melihat keramahan orang, Beng San merasa tidak enak kalau menolak. Dan memang perutnya sudah lapar. la lalu duduk di sebelah orang itu, di atas lantai kelenteng.

“Kau baik sekali, Saudara. Terima kasih.”

“Hayo, jangan sungkan-sungkan. Makanlah.”

Beng San mengambil sepotong roti kering dan memakannya. Memang keras dan apek, akan tetapi cukup asin dan sesudah dikunyah enak juga rasanya. Agaknya, memang roti yang baik, sayang sudah terlalu lama. Orang itu memandang sejenak, lalu mengeluarkan sebotol arak yang bercampur air tawar.

“Arak selatan ini baik sekali, sudah tua, hanya….. eh, terpaksa diperbanyak dengan air.”

la tersenyum dan memberikan botol itu kepada Beng San. Pemuda ini tersenyum pula lalu minum. la merasa tubuhnya segar kembali setelah perutnya diisi.

“Sekarang jaman sukar, sampai seorang petani lari ke kota bercampuran dengan kaum jembel…..”

Orang itu menarik napas panjang dan memandang kepada Beng San. Pemuda ini tidak menjawab menoleh ke kanan kiri dan bertanya.

“Kenapa kelenteng ini terlantar? Melihat bangunannya, agaknya dahulu sebuah kelenteng yang besar juga.”

“Betul dugaanmu itu,” jawab pengemis, “Memang kelenteng ini besar. Tapi sayang semua hwesionya telah dibasmi habis, sebagian terbunuh, sebagian lagi dijebloskan penjara.”

“Kenapa?” Beng San bertanya kaget. Baru sekarang dia mendengar ada hwesio-hwesio dibunuh dan dipenjara.
.
“Mereka membantu pemberontak,” kemudian pengemis itu bisik-bisik, “Sobat, kau petani, kenapa kau tidak ikut kawan-kawanmu? Apakah kedatanganmu inipun hendak mengadakan pertemuan rahasia dengan anggauta pemberontak? Atau barangkali dengan anggauta Pek-lian-pai?”

Beng San menggeleng kepala, termenung memikirkan nasib para hwesio yang celaka itu.

“Kalau kau hendak mengadakan pertemuan dengan Pek-lian-pai, katakan terus terang saja, barangkali aku dapat membantumu…..” Kembali orang itu berbisik.

“Tidak….. tidak….. aku hanya pelancong yang kemalaman di kota ini. Terima kasih atas kebaikanmu dan terima kasih atas pemberian roti dan arak.”

Beng San bangkit berdiri dan mencari tempat untuk mengaso di sebelah dalam. la segera membersihkan lantai di sudut yang sunyi, lalu duduk bersandar dinding. Pengemis tadi hanya tersenyum dan mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata tajam, lalu mengangkat bahu dan membaringkan tubuhnya di lantai.






No comments:

Post a Comment