Ads

Wednesday, September 26, 2018

Raja Pedang Jilid 077

Sambil duduk mengaso Beng San melamun, mengenangkan semua pengalamannya di masa lalu. Tanpa disengaja, seperti sudah ribuan kali dia mengalami, dia terbayang akan wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Wajah orang-orang yang ganti-berganti terbayang di depan matanya, yang membuat dia kadang-kadang merasa marah, girang, terharu.

la tersenyum geli kalau mengenangkan wajah Kwa Hong, bocah yang galak dan cantik manis, yang selalu memakinya bunglon itu. la menjadi gemas kalau mengenangkan wajah orang-orang yang pernah mengganggunya, yang pernah berbuat jahat kepadanya.

Akan tetapi semua bayangan ini lenyap tak membekas apabila muncul wajah seorang anak perempuan yang berpakaian merah, yang memandang kepadanya dengan mulut mungil tersenyum-senyum, dengan sepasang mata yang lebar dan bening, dengan tangan bergerak-gerak memberi isyarat. Wajah Bi Goat, si bocah gagu! Segera dia menjadi termenung, matanya sayu memandang jauh, hatinya penuh keharuan. Di manakah dia sekarang? Apakah masih ikut Song-bun-kwi si kakek iblis itu?

Beng San sudah hampir pulas ketika tiba-tiba dia mendengar suara bisik-bisik yang cukup jelas dan mencurigakan. Segera dia membuka mata dan memasang pendengaran. Ternyata bahwa para pengemis yang tadinya malang-melintang di halaman kelenteng itu hanya tinggal beberapa orang saja lagi. Yang lain sudah tidak ada, termasuk orang yang tadi memberinya makan dan minum.

Adapun suara-suara bisikan itu terdengar dari sebelah dalam kelenteng, agak jauh dari tempat dia mengaso. Namun berkat kepandaiannya Beng San dapat menangkap suara bisik-bisik itu. Alangkah herannya ketika dia mendengar suara pengemis yang baik hati tadi berbisik.

“Betulkah penyelidikanmu itu? Kalau begitu tak bisa salah lagi, mereka itu tentulah kaum Pek-lian-pai yang mengadakan hubungan dengan hartawan Ong! Hayo siap semua, seorang melapor kepada Kui-ciangkun supaya menyiapkan barisan mengepung gedung Ong-wangwe (hartawan Ong). Kau dan dua orang teman lagi menjaga baik-baik disini. Awas, pemuda tani yang tampan itu juga mencurigakan. Ringkus saja dia sebelum dapat melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan. Kalau dia melawan, bunuh saja!”

Suara kaki terdengar bergerak-gerak dan keadaan sunyi kembali. Beng San menanti dengan hati penuh curiga, tapi dia masih belum dapat menduga siapakah adanya pengemis yang aneh itu dan siapa pula teman-temannya yang diajak berunding tadi.

Kemudian di dalam gelap dia melihat bayangan tiga orang itu pandai ilmu silat, malah memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik sekali. Ia masih belum yakin betul apakah yang dimaksudkan dengan “pemuda tani yang tampan” tadi dia orangnya. Baru dia merasa yakin setelah tiga orang itu di dalam gelap menubruk dan meringkusnya!

“Eh, eh….. mengapa kalian menangkap aku?” Beng San memprotes, penuh keheranan, akan tetapi juga marah.

“Diam kau, petani busuk! Kau kaki tangan pemberontak!”

“Bohong! Aku bukan petani, juga bukan pemberontak.”

“Semua petani adalah pemberontak, jangan melawan kalau tidak ingin mampus!” Seorang diantara mereka mengayun tangan ke arah muka Beng San.

Biarpun di dalam gelap, pemuda ini dapat mengetahui datangnya pukulan. la mengelak, kedua lengannya bergerak dan di lain saat tiga orang peringkusnya itu telah terlempar cerai-berai ke belakang dan ketika mereka mengaduh-aduh dan bangun, ternyata pemuda yang tadi mereka ringkus itu telah lenyap tak berbekas lagi!

Dengan penuh kegemasan Beng San meloncat keluar, terus naik ke atas genteng. Didalam gelap dia masih melihat sesosok bayangan beberapa orang berlari menuju ke dalam kota. Cepat dia mengikuti setelah mendapat kenyataan bahwa seorang diantara mereka adalah pengemis tinggi kurus yang ramah, yang tadi berbisik menyuruh kawan-kawannya meringkusnya.

la mengikuti dengan diam-diam, ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan. Disuatu tikungan jalan, para pengemis ini bertemu dengan sepasukan tentara pemerintah. Segera mereka berbisik-bisik dan bergabung menjadi satu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah gedung besar yang berdiri di tengah kota. Dengan cepat tapi teratur sekali mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini merayap dan mengurung rumah gedung itu.

Beng San tetap mengikuti mereka dan dia dapat menduga bahwa ini tentulah gedung hartawan Ong seperti yang dirundingkan oleh para pengemis tadi. Ia bersiap sedia menolong karena maklum bahwa keluarga hartawan Ong itu pasti berada dalam ancaman malapetaka.

Akan tetapi para pengurung itu segera mendapat kenyataan bahwa mereka keliru. Dengan tanda suitan para pengurung menyerbu ke dalam dan….. rumah gedung itu telah kosong! Tak seorangpun manusia tinggal disitu, agaknya burung-burung yang hendak mereka tangkap sudah terbang jauh sebelumnya.





Untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka, para tentara dan mata-mata yang berpakaian pengemis itu menggeledah gedung, tentu saja tidak lupa untuk mengantongi barang-barang berharga yang kecil-kecil dan merusak yang besar karena tak dapat mereka bawa.

Beng San menyaksikan ini semua dan menarik napas panjang. Baru pertama kali setelah dia turun gunung dia menyaksikan kelakuan para tentara pemerintah yang tiada ubahnya seperti perampok-perampok itu. Dan diam-diam dia kagum kepada Pek-lian-pai yang sekali lagi telah dapat menipu mereka.

Sambil tertawa kecil Beng San teringat kepada Tan Hok. Orang tinggi besar seperti raksasa itu juga pernah menipu pasukan pemerintah penjajah. Agaknya yang memimpin rombongan orang Pek-lian-pai di kota ini juga bukan seorang bodoh.

Dengan hati puas melihat para kaki tangan pemerintah penjajah itu marah-marah dan tertipu, Beng San diam-diam meninggalkan tempat pengintaiannya dan di dalam gelap dia melihat seorang pengemis tua terbongkok-bongkok dari depan menghampirinya.

“Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu (Tuan Muda)…..” pengemis tua itu mengeluh.

Beng San menghela napas panjang.
“Maafkan, Lopek. Aku sendiri tidak punya apa-apa, uang sepeser pun tidak punya, roti sekerat pun, tidak ada. Apa yang harus kuberikan kepadamu?”

“Kasihan, orang muda sengsara. Kalau begitu aku yang harus memberikan sesuatu kepadamu.”

la mengulur tangan dan memberikan sebuah benda kecil kepada Beng San. Sebelum hilang herannya, Beng San sudah menerima benda itu dan pengemis tua tadi sudah terbongkok-bongkok lagi pergi dari situ. Benda itu ternyata hanyalah selipat kertas. Dibawanya benda itu ke bawah lampu penerangan di pojok sebuah rumah dan dibacanya tulisan di atas kertas.

Adik Beng San,
Aku dan kawan-kawan berada di perahu-perahu nelayan sebelah selatan kota. Datanglah, kami mengharapkan bantuanmu.
Tertanda: TAN HOK

Tan Hok di sini? Beng San tersenyum girang. Pantas saja serdadu-serdadu itu tertipu, kiranya pemuda raksasa yang kelihatan bodoh tapi ternyata cerdik sekali itu berada disini memimpin para pejuang! Ia menjadi makin kagum akan kecerdikan Tan Hok dan kawan-kawannya yang ternyata segera dapat mengenalnya setelah berpisahan selama delapan tahun.

Surat itu diremasnya hancur lalu dia menyelinap diantara kegelapan malam menuju ke arah selatan. Setelah dia tiba di sebelah selatan kota yang sunyi, dia melihat banyak perahu nelayan di pinggir sungai dan tak seorang pun manusia tampak.

Selagi dia kebingungan, tak tahu dimana adanya Tan Hok dan kawan-kawannya, dia melihat bayangan orang yang dengan cepatnya berkelebat di dekat kumpulan perahu. Biarpun bayangan itu berkelebat cepat luar biasa, namun mata Beng San yang tajam masih dapat melihat jelas bahwa bayangan itu adalah tubuh seorang yang langsing seperti tubuh seorang wanita, dan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.

la segera berjalan seperti biasa agar orang itu tidak akan tahu bahwa diapun tadi mempergunakan ilmu lari cepat. Di tempat seperti ini yang penuh rahasia, penuh pertentangan dan dalam keadaan perang, dia harus berlaku hati-hati agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan dan karenanya tanpa disengaja merugikan Tan Hok dan kawan-kawannya. Bayangan itu dalam sekejap mata saja lenyap.

Tak lama kemudian, muncul bayangan orang bongkok dari kumpulan perahu, yang berjalan menghampirinya.

“Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu…..” bayangan ini berkata.

Beng San berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya. Tanpa ragu-ragu lagi mendekati,

“Lopek, dimana Tan-twako?” ia bertanya langsung.

Kakek pengemis itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan….. ternyata kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat dan tangkas. Kakek itu tidak membawanya ke tempat dimana perahu-perahu berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai!

Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok dan belasan orang temannya berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik. Mereka bersikap amat hati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin, padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya.

Hanya sebuah lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah mereka yang duduk di dekat lampu. Diantara orang-orang itu, Beng San melihat wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan, gagah, dan tinggi besar seperti raksasa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjulang satu kaki lebih di atas kepala teman-temannya.

“Tan-twako…..!” Beng San segera maju memberi hormat.

“Ha-ha-ha, Adik Beng San, kau sudah dewasa sekarang!”

Tan Hok melompat bangun dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya. Dua pasang tangan saling berpegang erat dan keduanya tersenyum girang.

“Tan-twako, harap kau dan teman-teman yang lain hati-hati. Tadi aku melihat bayangan orang menyelinap diantara perahu-perahu,” bisik Beng San.

Tan Hok menoleh kepada kakek yang tadi menyambut Beng San.
“Betulkah itu Ciu-siok (Paman Ciu)?”

Kakek itu berkata dengan suara menghibur,
“Aku hanya melihat kedatangan saudara Beng San seorang. Tidak ada bayangan orang lain. Kalaupun ada dan aku sendiri tidak melihat, dia takkan dapat terlepas dari penjagaan teman-teman kita.”

Tan Hok kembali menghadapi Beng San.
“Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kami sudah menaruh penjaga-penjaga di setiap sudut daerah ini. Apabila betul ada orang mengintai tempat ini, pasti akan diketahui oleh para penjaga kami itu.” la tertawa lagi dan memandang kepada Beng San dengan kagum.

Diam-diam Beng San tidak membenarkan pendapat ini. Orang tadi terlalu cepat gerak-geriknya, mungkin sekali takkan dapat terlihat oleh para penjaga pikirnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau menyatakan pikiran ini dengan kata-kata, khawatir kalau-kalau disangka meremehkan para penjaga. Maka dia diam saja.

“Adik Beng San. Perbuatanmu di dalam kelenteng tadi hebat. Ternyata kepandaianmu sudah maju pesat. Sayang kau tidak membalas anjing-anjing Mongol yang hendak menangkapmu itu dengan pukulan mematikan.”

Beng San kaget. Kiranya Tan Hok sudah memasang mata-mata dimana-mana sampai tahu pula tentang kejadian di dalam kelenteng tua dimana dia hendak ditangkap oleh para serdadu Mongol yang menyamar sebagai kaum jembel. Akan tetapi hatinya lega mendengar kata-kata Tan Hok yang menyatakan bahwa orang raksasa ini masih belum tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.

“Ah, Tan-twako, kiranya kau sudah mengetahui pula hal itu. Aku hanya merasa kaget dan juga penasaran mengapa aku yang tidak punya kesalahan hendak ditangkap. Maka setelah berhasil meloloskan diri, aku lalu lari pergi. Kau menyuruh orang memanggilku dan mengirim surat mengharapkan bantuanku, sebetulnya bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu?”

“Sebelum kau mendengar tentang bantuan yang dapat kau lakukan untuk kami, lebih dulu akan kujelaskan kepadamu tentang keadaan-keadaan selama ini. Adik Beng San, selama bertahun-tahun ini, kemana saja kau pergi dan apakah kau sudah mengetahui tentang keadaan perjuangan?”

Beng San menggeleng kepala, wajahnya berubah sedikit karena dia merasa jengah dan malu.

“Aku….. aku bekerja membantu seorang nelayan dan baru saja aku memasuki dunia ramai, aku tidak tahu apa-apa, Twako.”

“Nah, kau dengar baik-baik penuturanku.”






No comments:

Post a Comment