Ads

Monday, September 24, 2018

Raja Pedang Jilid 075

Kakek itu nampak lega dan bangun duduk dengan payah, dibantu oleh Beng San.
“Aku tidak minta kau berbuat yang melanggar kebenaran dan keadilan, anak baik. Pertama-tama, aku minta supaya kau berusaha mencari pencuri pedang Liong-cu Siang-kiam, setelah dapat kau temukan, kalau dia laki-laki kau harus membunuhnya. Kalau dia wanita…..” Kakek itu berhenti, batuk-batuk dan agaknya sungkan melanjutkan kata-katanya.

“Ya…..? Kalau dia wanita bagaimana, Kakek Souw?”

“Kalau dia itu wanita, kau harus menjadi suaminya”

“Apa…..??”

Beng San melompat tinggi seperti orang yang kaget karena diserang ular. Sepasang matanya terbelalak lebar, dia merasa bulu tengkuknya berdiri.

“Kakek Souw yang mulia, apa kau bicara dengan pikiran waras?

“Tentu saja aku waras” bentak kakek tua itu marah “Kalau pencuri pedang itu pria, dia adalah orang jahat yang berbahaya, karenanya perlu kau bunuh. Kalau dia itu wanita tentu wanita yang memiliki kepandaian tinggi, nah….. tak patut seorang gagah seperti kau membunuh wanita, maka kupikir lebih baik kau kawin saja dengannya agar Liong-cu Siang-kiam tidak terjatuh kepada orang lain.”

“Mana ada aturan begini?” Beng San membantah. “Kalau perampas pedang itu ternyata pria, tentu akan kulihat dulu orang macam apa dia ini dan apa alasannya dia merampas pedang. Kalau dia bukan orang jahat, bagaimana aku akan dapat membunuhnya? Soal kedua, kalau dia itu wanita….. dan seorang wanita tua, atau sudah bersuami, atau juga seorang wanita yang aku tidak suka, bagaimana aku bisa mengawininya? Ah, Kakek Souw, aku hanya bisa memenuhi permintaanmu, yaitu mencari sampai dapat kembali pedang Liong-cu Siang-kiam.”

“Jadi kau hendak melanggar sumpah?”

“Kakek Souw, aku takkan melanggar sumpah. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perikebenaran, yang bertentangan dengan suara hatiku. Kalau kau anggap penolakanku tentang membunuh orang baik-baik dan mengawini wanita secara serampangan saja kau anggap salah dan melanggar janji, nah, ini aku masih disini. Aku menyerahkan nyawa dan raga untuk menebus pelanggaran sumpah!”

Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, keadaannya yang tadi lemah itu mendadak seperti segar kembali.

“Begitulah seharusnya seorang laki-laki!” katanya gembira. “Rela mengorbankan nyawa sendiri daripada melakukan sesuatu yang tidak patut. Beng San, aku girang sekali telah memilih kau sebagai pewaris Liong-cu Siang-kiam!” kembali kakek itu tertawa-tawa.

Beng San diam saja akan tetapi dia tersenyum pahit. Menerima warisan saja warisan yang tercuri orang dan harus dicari dulu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang pencuri yang tidak diketahui laki-laki atau wanita, tidak diketahui rupanya, hanya diketahui bahwa dia masih muda dan bertenaga dalam cukup lihai.

“Jangan kira aku sudah gila, Beng San. Tadipun sudah kujelaskan bahwa aku takkan minta kau melakukan hal-hal yang tidak baik. Kaupun tentu sudah dapat menyelami watakku, kalau tidak demikian, mana kau berani mengucapkan sumpah tadi? Nah, sekarang permintaanku ke dua. Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk membantu pergerakan rakyat menumbangkan pemerintah Mongol…..”

Kakek ini kembali kelihatan berduka dan menarik napas panjang.
“Aku sendiri masih ada keturunan darah Mongol, tapi aku tidak suka melihat sepak terjang kaisar dan para pembesar bangsaku. Karena itu aku mencuri pedang. Tapi sekarang kembali kepada tugasmu. Kau harus membantu perjuangan rakyat yang hendak memperjuangkan kemerdekaannya, dengan syarat bahwa kau lakukan itu bukan untuk mencari pangkat, harta, dan kemuliaan. Setelah berhasil perjuangan, kau harus meninggalkan kedudukan dan tidak mencampurinya lagi. Bagaimaina?”





“Aku akan berusaha memenuhi permintaan ke dua ini, Kakek Souw, Memang aku sendiri merasa suka kalau teringat akan orang-orang gagah seperti Tan-twako yang memimpin serombongan pejuang Pek-lian pai”.

“Sekarang permintaan ke tiga,” kata kakek itu dengan suara seperti tergesa-gesa. “kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk memainkan Im-yang Sin-kiam-sut dan merebut sebutan Raja Pedang”.

Beng San tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, maka dia memandang heran. Kakek itu yang napasnya sudah tersengal-sengal, menarik napas untuk menenangkan dadanya yang sesak, kemudian memaksa diri berkata,

“Setiap dua puluh lima tahun sekali di puncak Thai-san diadakan perebutan kejuaraan ilmu pedang yang dihadiri oleh semua tokoh persilatan. Sudah dua kali aku berusaha merebut gelar Raja Pedang, tapi selalu gagal. Itulah yang menjadi sebab kedua mengapa aku mencuri Liong cu Siang-kiam. Kurang lebih dua tahun lagi akan diadakan perebutan itu, tepat dua puluh lima tahun semenjak gelar Raja Pedang dimenangkan oleh pendekar Cia Hui Gan dari selatan. Cia Hui Gan ini kabarnya masih keturunan dari pendekar wanita Ang-i Niocu. Semenjak itu dia mendapat julukan Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan). Sayang aku sudah terlalu tua, tidak kuat menghadiri perebutan itu lagi….. kau….. kau harus mewakili aku, merebut gelar itu…..”

“Kakek Souw…..!” Beng San merangkulnya akan tetapi ternyata napas kakek itu sudah berhenti!


Beng San terharu sekali, dia merebahkan tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu di atas tanah, berlutut dan mulutnya bergerak dalam bisikan.

“Kakek Souw, mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah akan berusaha memenuhi pengharapanmu, aku pasti akan melakukan semua pesanmu. Mudah-mudahan saja semua akan terlaksana sebagaimana pesanmu yang terakhir.”

Dengan sedih dan penuh hormat pemuda ini lalu mengurus jenazah kakek Souw, menguburnya di bekas tempat pertapaannya, di Ban-seng-kok yang terletak di puncak Cin-ling-san.

Sesudah itu dia lalu turun dari puncak, meninggaikan Cin-ling-san sebagai seorang pemuda sebatangkara yang memikul tugas yang dipesankan oleh kakek Souw Lee, tugas yang amat berat. Namun dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia pasti akan dapat memenuhi semua pesan kakek itu.

**** 075 ****





No comments:

Post a Comment