Ads

Monday, September 24, 2018

Raja Pedang Jilid 074

Setiap orang yang mengingat-ingat masa lampau, mengenang kembali masa lampau beberapa tahun yang lalu, akan mendapat kesan betapa cepatnya jalannya sang waktu. Penulis sendiri setiap kali mengenangkan masa kanak-kanaknya yang sudah puluhan tahun yang lalu, selalu merasa seakan-akan masa itu baru terjadi kemarin-kemarin ini, serasa masih membayang di pelupuk mata ketika dia bermain-main dengan anak-anak lain, mencari ikan-ikan kecil di sungai, atau bertiduran di punggung kerbau, atau bermain-main di bawah air hujan!

Memang waktu berlalu amat cepatnya, sampai-sampai tidak terasa oleh manusia di dunia. Demikian pula dengan jalannya cerita ini. Baru saja kita mengikuti pengalaman-pengalaman Beng San, sebentar kita tinggalkan, eh, tahu-tahu delapan tahun sudah lewat dengan amat pesatnya!

Selama itu, Tiongkok mengalami kekacauan terus-menerus. Bahkan kekacauan ini mempengaruhi keadaan penghidupan di dalam istana. Pangeran-pangeran yang berkuasa saling memperebutkan kekuasaan, saling berkomplot dengan pembesar-pembesar bu (militer), saling jatuh-menjatuhkan sehingga dalam jangka waktu kurang lebih dua puluh lima tahun (1307-1332) saja pemerintah Goan (Mongol) ini sudah berganti raja sebanyak delapan kali!

Ketika cerita ini terjadi, raja terakhir yang menduduki tahta adalah Kaisar Sun Ti. Di bawah tekanan Kaisar Sun Ti inilah penghidupan rakyat pribumi (Han) amat tertindas dan tak tertahankan lagi. Dan mulailah timbul pemberontakan disana-sini. Yang terbesar dan terkenal adalah Partai Teratai Putih (Pek-lian-pai) yang pada mulanya hanyalah merupakan pemberontakan dari para petani di utara yang sudah tidak kuat lagi menderita penindasan para hartawan dan bangsawan setempat. Lama kelamaan partai ini menjadi makin kuat bahkan diikuti atau dimasuki oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga merupakan kesatuan yang amat ditakuti oleh bangsawan-bangsawan Mongol.

Pemberontakan-pemberontakan kecil disana sini pecah, satu dihancurkan timbul dua, dan semenjak Kaisar Sun Ti naik tahta, kaisar ini tak pernah mengenal apa yang disebut aman dan damai di Tiongkok. Banyak pendekar-pendekar dan pahlawah-pahlawan tercatat namanya dengan tinta emas di lembaran sejarah, misalnya Liu Hok Tung, Kok Ci Seng, Thio Se Cheng, Tan Yu Liang, dan masih banyak lagi orang-orang gagah yang memimpin rakyat untuk menghalau penjajah Mongol dari tanah air mereka.

Tiga puluh tahun lebih pemberontakan-pemberontakan ini berjalan, makin hari makin hebat sehingga akhirnya seperti tercatat dalam sejarah pemberontakan-pemberontakan inilah yang akhirnya menumbangkan kekuasaan Mongol yang menjarah daratan Tiongkok hampir seratus tahun lamanya.

Seperti telah disebut di atas, waktu delapan tahun berjalan dengan amat cepatnya dan waktu itu keadaan masih penuh kekacauan yang diakibatkan oleh pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Goan-tiauw.

Pada suatu pagi yarig cerah, di sebuah diantara puncak-puncak Pegunungan Cin-lin-san, di depan sebuah gua yang dinamai Gua Ular, nampak seorang pemuda tengah berlutut di depan seorang kakek yang sudah tua sekali.

Kalau baru melihat saja orang tentu mengira bahwa kakek ini bermata lebar, akan tetapi setelah lama memandang dan melihat bahwa mata kakek itu melotot tak pernah berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang kakek yang buta matanya. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya, muka dan tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Adapun pemuda yang berlutut itu nampaknya terharu sekali.

“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf sebesarnya bahwa teecu telah meninggalkan Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada disini dan dalam keadaan menderita,” terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan.

Kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering tertiup angin. Mulutnya bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan.

“Ah, anak baik, alangkah bahagia rasa hatiku akhirnya dapat mendengar suaramu. Akhirnya kau datang juga, hampir aku tak kuat lagi menahan…..”

Kakek itu lalu duduk bersila dan meraba-raba pundak pemuda tadi. Beberapa kali meraba-raba kemudian kakek itu berkata penuh kekaguman,

“Hebat…, akupun dahulu tidak sekuat engkau sekarang, ah, kalau saja aku mendapat kesempatan melihat….. eh, maksudku mendengar kau main Liong-cu Siang-kiam dalam Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, matipun aku akan puas. Mainkanlah, mainkanlah sekali ini saja, untuk mengantar perjalananku yang amat jauh…..”

Kakek itu lalu mengeluarkan sepasang pedang yang berkilau cahayanya, memberikan sepasang pedang itu kepada pemuda tadi.

Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam ketika dia melihat sepasang pedang ini. la menerima sepasang pedang itu, memeriksanya dengan teliti lalu bertanya,





“Locianpwe, benarkah sepasang pedang ini yang bernama Liong-cu Siang-kiam, sepasang pedang yang selama puluhan tahun diperebutkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw?”

Kakek buta itu tersenyum.
“Beng San, apakah kau sudah lupa lagi? Bukankah dahulu kau pernah melihatnya, bahkan pernah menggunakannya ketika kau berhadapan dengan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Inilah Liong-cu Siang-kiam, pedang peninggalkan sepasang pendekar yang sakti, yaitu pendekar sakti Sie Cin Hai pada ratusan tahun yang lalu. Pedang ini asalnya milik seorang pendekar terkenal sebagai seorang raja pedang. Oleh karena itu, pada jaman sekarang ini hanya kaulah, Beng San, orang yang berhak mempergunakannya, karena hanya kau yang menjadi ahli waris Im-yang Sin-kiam-sut. Hayo, berdirilah, dan kau mainkan Im-yang Sin-kiam-sut untukku..!”

Kakek itu terengah-engah, nampaknya tegang dan gembira sekali, perasaan yang memberi pukulan hebat pada tubuhnya yang memang sudah amat lemah.

Orang muda itu setelah menimang-nimang kedua pedang tadi, yang panjang di tangan kanan sedangkan yang pendek di tangan kiri, lalu bangkit berdiri, meloncat agak jauh ke tempat yang luas di depan gua itu, kemudian dia bersilat dengan amat cepat dan sigapnya. Sepasang pedang itu berkelebat menyambar-nyambar ke kanan kiri, depan belakang, dan atas bawah seperti dua ekor naga yang sedang bermain-main di angkasa!,

Tiba-tiba muka Lo-tong Souw Lee yang amat kurus itu menjadi pucat pasi. Kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencengkeram depan dan dia berteriak, penuh kepahitan,

“Heeeiii, itu bukan Im-yang Sin-kiam….. itu….. itu….. ah, kau bukan Beng San….. aduha….. celaka, kau bukan Beng San…..!”

Terdengar suara ketawa, angin sambaran pedang terhenti dan Lo-tong Souw Lee tidak mendengar apa-apa lagi, tanda bahwa orang muda itu sudah pergi jauh.

“Beng San….. sia-sia aku menanti sampai tahunan…… aduh, mataku yang buta…… celaka…..”


Kakek ini terhuyung-huyung, wajahnya makin pucat, dia mendekap dadanya lalu roboh tertelungkup di depan gua itu.

Dari puncak Cin-lin-san itu, bayangan pemuda tadi dengan amat cepatnya dan ringannya seperti melayang-layang turun dari jurusan utara. Sepasang pedang tadi tidak kelihatan dia bawa lagi karena sudah dia sembunyikan di balik jubah luarnya yang panjang.

Kurang lebih tiga jam berikutnya, seorang pemuda lain kelihatan mendaki puncak dengan tenang. Pakaiannya berpakaian sederhana, rambutnya yang panjang diikat ke atas, mukanya putih sehingga alisnya yang hitam gomplok berbentuk golok itu nampak lebih hitam lagi, sepasang matanya tajam sinarnya melebihi sinar pedang dan mempunyai wibawa yang aneh, tubuhnya tegap dadanya bidang, sepatunya sudah bolong-bolong saking tuanya, kelihatan mendaki puncak dengan tenang.

Dari gerak kakinya yang tetap dan tidak tergesa-gesa dapat diketahui bahwa pemuda yang baru datang mendaki puncak Cin-ling-san ini adalah seorang yang memiliki ketenangan lahir batin. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, tidak kelihatan membawa senjata tajam, jadi tidak seperti seorang pemuda kang-ouw, juga tidak membawa kipas atau tanda lahir yang menunjukkan bahwa dia seorang pemuda ahli sastra. Lebih patut dia disangka seorang pemuda tani.

Akhirnya, dengan langkah yang tak pernah mengendur akan tetapi tidak pula tergesa-gesa, pemuda ini tiba di depan Gua Ular. Ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh kakek yang menggeletak tertelungkup di depan gua, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya berkelebat. Tahu-tahu dia telah berlutut di dekat tubuh kakek itu dan mengangkatnya, menyangga leher dan punggungnya di atas lengan kiri sedangkan tangan kanannya membersihkan debu dan tanah dari muka yang pucat dan kurus itu.

“Kakek Souw…… Kakek Souw….. kau kenapakah?”

Kakek itu menggerak-gerakkan biji matanya yang melotot, bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya dia berkata dengan suara terisak,

“Ah….. Beng San….. sekarang benar kau Beng San….. kenapa aku begini bodoh….?” Kakek itu terisak-isak!

Beng San kaget sekali. Ketika tadi mengangkat tubuh kakek ini, dia melihat bahwa Lo-tong Souw Lee tidak terluka

“Ada apakah, Kakek Souw? Apa yang telah terjadi…,.?”

“Ah, Beng San. Aku bodoh….. orang pengecut mempergunakan mataku yang buta untuk menipuku….. pedang Liong-Siang-kiam telah diambil orang yang mengaku sebagai kau…… dia juga memiliki ilmu tinggi….. masih muda….. sayang aku tidak tahu bagaimana bentuknya, hanya ketika kupegang pundaknya……dia….. dia memiliki tenaga dalam yang hebat…..”

Beng San dapat menguasai hatinya.
“Sudahlah, harap kau tenang dan jangan berduka, Kakek Souw. Apa sih artinya sepasang pedang saja? Aku tidak begitu mengingininya…..”

“Apa…..?”, Tiba-tiba kakek itu berkata keras. “Sepasang pedang itu adalah punyamu! Mengerti kau? Aku sengaja bersembunyi bertahun-tahun, sengaja menahan-nahan nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua dan bobrok ini, sengaja menanti-nanti datangmu untuk menyerahkan sepasang pedang itu. Sekarang pedang dicuri orang dan kau… , kau bilang tidak mengingininya? Lepaskan aku, lepaskan…..!” Kakek itu meronta-ronta dan terpaksa Beng San menurunkannya lagi keatas tanah.

Beng San merasa menyesal sekali. Ia merasa telah bicara seenaknya dan lancang.
“Aduh, ampunkan aku, Kakek Souw. Bukan maksudku untuk menyakiti hati dan perasaanmu. Maksudku tadi hendak menghiburmu agar jangan terlalu berduka kehilangan Liong-cu Siang-kiam.”

Tapi kakek itu masih marah dan kecewa. Matanya yang terbelalak itu dipejam-pejamkan, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya meringis seperti orang menangis. Menyedihkan sekali muka yang tua itu.

“Biarlah….. biar aku mampus…… aku tua bangka mampus karena sikap orang muda yang tak kenal sayang orang….. biar aku mampus karena kau …”.

Beng San menjatuhkan diri berlutut.
“Kakek Souw, ampunkanlah aku….. ampunkan, aku sama sekali tidak bermaksud mengecewakan hatimu. Katakanlah, apa yang harus kulakukan, aku bersumpah akan memenuhi permintaanmu.”

“Betul kata-katamu itu?” Kakek itu menegas dengan napas terengah-engah.

“Betul, Kakek Souw.”

“Kau berani bersumpah?”

Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah,
“Aku bersumpah, disaksikan langit dan bumi, biarlah Thian menghukum seberat-beratnya kepada aku apabila aku tidak memenuhi permintaan Kakek Souw”






No comments:

Post a Comment