Ads

Monday, September 24, 2018

Raja Pedang Jilid 073

Betulkah Beng San sudah mati seperti yang diharapkan dan diduga oleh Song-bun-kwi? Agaknya kakek yang sakti ini lupa bahwa mati hidup seseorang tergantung sepenuhnya kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Apabila Tuhan belum menghendaki matinya seseorang, jangankan baru dia terancam bahaya maut seperti Beng San, biarpun orang itu diancam bahaya maut dengan hujan api sekalipun, dia akan selamat dan terluput daripada bahaya maut yang mengancamnya itu. Sebaliknya, apabila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, biarpun dia akan berlari ke ujung dunia atau berlindung ke dalam gedung baja, maut tetap akan mencabut nyawanya tanpa dapat ditawar-tawar atau diperpanjang sedikitpun juga.

Kelihatannya memang Beng San sudah tak berdaya, dan memang anak ini sudah kehabisan akal. Bagaikan seorang yang sudah berubah ingatannya, Beng San terbawa hanyut oleh air dan setiap kali kepalanya tersembul di permukaan air, jauh dari tempat dia hanyut tadi, dia memekik-mekik memanggil ayahnya, ibunya, dan seorang yang dia panggil Kui-ko (kakak Kui).

Akhirnya saking lelah dan banyak minum air sungai, Beng San tak ingat diri lagi dan tahu-tahu ketika dia siuman kembali, dia mendapatkan dirinya sudah menggeletak di dalam sebuah perahu kecil. Tubuhnya sudah terbaring di situ, telanjang bulat dan terbungkus selimut hangat.

Ketika dia melirik, dia mendapatkan pakaian bututnya sedang dijemur di pinggir perahu dan di kepala perahu kecil itu duduk berjongkok seorang laki-laki tua bertopi lebar, mukanya kurus penuh gurat-gurat hidup tanda banyak menderita. Laki-laki itu duduk tak bergerak, matanya sayu melamun ke permukaan air, melihat tali pancingnya yang bergerak-gerak perlahan, terbawa aliran air yang tenang di bagian itu. Di dekatnya kelihatan tiga ekor ikan sebesar betis yang sudah mati, tapi masih segar.

Beng San diam saja, mengingat-ingat. Mula-mula dia teringat akan air besar yang menghanyutkan, yang mengerikan dan sekaligus dia membayangkan kembali wajah seorang laki-laki tua yang berpakaian sebagai petani, yang bermata tajam dan bermulut selalu tersenyum, wajah yang amat disayangnya, wajah ayahnya. Lalu menyusul wajah yang menimbulkan rasa mesra di hatinya, wajah seorang wanita yang agung, berkulit hitam manis, berambut hitam panjang digelung di belakang leher, wajah yang bermata sayu dan lembut, yang selalu bicara halus penuh kasih sayang kepadanya, wajah ibunya!

Dan terbayang olehnya wajah seorang anak laki-laki yang nakal, yang sering kali menggodanya akan tetapi yang menjadi temannya bermain semenjak kecil, wajah kakaknya yang bernama Tan Beng Kui. Dan dia sendiri bernama Tan Beng San!

Kini dia teringat semua, malah dusunnya dia ingat pula bentuk dan macamnya, ada telaga kecil di dekat sungai, telaga yang banyak ikannya, sering kali dia dan kakaknya diajak mancing ikan di telaga itu oleh ayahnya. Hanya nama ayah ibunya dan nama dusun itu dia tidak tahu.

Berdebar hati Beng San teringat akan ini semua. la tidak tahu bahwa dia kehilangan ingatan oleh air Sungai Huang-ho dan sekarang dia mendapatkan kembali ingatannya, oleh air Sungai Huang-ho pula.

Yang membuat Beng San berdebar-debar adalah karena sekarang dia teringat akan Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio yang mengaku menjadi ayah bundanya! Bagaimana bisa terjadi demikian? Betulkah mereka itu kedua orang tuanya? Ataukah bayangan laki-laki petani dan wanita berwajah agung itu orang tuanya yang sesungguhnya? Dan Tan Beng Kui?

Beng San masih bingung, lalu kepalanya membayangi Bi Goat. Gadis cilik yang gagu itu, yang menangis dan berusaha menolongnya, malah yang kemudian secara nekat meloncat ke air untuk menolongnya, tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri.

Teringat akan ini, membayangkan wajah Bi Goat menangis untuk dirinya, berganti-ganti dengan wajah ayahnya, wajah ibunya, dan wajah kakaknya, tak terasa lagi Beng San mengeluh dan dua titik air mata yang panas mengalir keluar membasahi pipinya.

“He, kau sudah bangun?”





Tukang pancing itu mendengar keluhannya, berdiri lalu menghampiri. Perahu kecil itu goyang-goyang ketika si tukang pancing berjalan. Ternyata dia seorang kakek yang berusia lima puluh tahunan, bertubuh kurus, wajahnya kering terbakar matahari dan penuh guratan, matanya sayu tapi kadang-kadang lincah berseri, mulutnya yang ompong membayangkan ketenangan batin seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia.

Beng San segera bangkit dari tidurnya, mengusap air matanya dan menjatuhkan diri berlutut,

“Kakek yang baik, agaknya kau yang telah menolongku dari dalam air.”

Kakek itu memegang pundak Beng San.
“Kukira tadi, kau ikan besar, tersangkut di pancingku. Aku sudah girang sekali, mengira mendapat ikan yang besar sekali, ketika kutarik…..”

“Kau kecewa karena hanya aku…” sambung Beng San tak dapat menahan kata-katanya ini karena melihat sikap tukang pancing itu lucu dan jenaka.

“Ha-ha-ha, tidak demikian. Aku malah lebih gembira, pertama karena tanpa kusengaja aku dapat menolong seseorang dari kematian, ke dua, aku bakal mendapatkan kawan baik untuk bekerja sama mencari ikan. Eh, anak nakal, siapa namamu dan kenapa kau hendak menyaingi ikan-ikan di air, berkeliaran di dalam air Sungai Huang-ho?”

Melihat sikap kakek itu dan mendengar kata-katanya yang jenaka, sebuah plkiran baik menyelinap ke dalam otak Beng San. Mengapa tidak? Akan aman dia kalau berada di dekat kakek ini, menyamar sebagai tukang ikan, setiap hari di perahu mencari ikan. la bisa menyembunyikan diri dari Song-bun-kwi dan yang lain-lain. Tentu mereka itu tidak ada yang mengira bahwa Beng San, anak yang mewarisi Im-yang Sin-kiam dan yang mengetahui tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee telah menjadi nelayan.

“Kakek yang baik hati, namaku Siauw-kui (Setan Kecil), sebatangkara di dunia ini. Kalau kau mau mengambil aku sebagai pembantumu, ah, kakek yang baik, setiap malam aku akan bersembahyang kepada dewa-dewa sungai agar kau diberi umur panjang dan banyak rejeki.”

Kakek itu tertawa bergelak, terlihat mulutnya yang tak bergigi.
“Ha-ha-ha, siapa butuh umur panjang? Tentang rejeki, asal kau mau benar-benar membantuku, tentu banyak ikan dapat diangkat ke perahu.”

Kakek itu adalah seorang nelayah tua bernama Gan Kai, seorang duda tua yang juga hidup sebatangkara, malah tidak mempunyai rumah tinggal, rumahnya ya perahu kecil itulah!

Maka sungguh tepat sekali bagi Beng San untuk tinggal bersama kakek Gan ini, karena selain terjamin hidupnya, diapun dapat bersembunyi dan setiap saat dapat berlatih ilmu silat dengan amat tekunnya, la mengambil keputusan untuk melatih dengan giat, setelah sempurna kepandaiannya, dia akan mengunjungi Lo-tong Souw Lee, kemudian dia akan mencari ayah bundanya, dan juga kakaknya.

la tidak tahu lagi nama orang tuanya, juga dia tidak tahu lagi nama dusunnya, akan tetapi asal dia menjelajahi di dusun-dusun tepi sungai di sekitar Kelenteng Hok-thian-tong, masa tidak akan dapat dia temukan?

**** 073 ****





No comments:

Post a Comment