Ads

Monday, September 24, 2018

Raja Pedang Jilid 072

Sementara itu, Beng San menoleh kepada orang tuanya dan bukan main herannya ketika dia melihat orang tuanya itu nampak pucat sekali berhadapan dengan Song-bun-kwi. Lebih-lebih lagi herannya ketika dia melihat tubuh ayahnya menjadi gemetar, kedua kakinya menggigil. Ibunya juga pucat dan hanya meraba gagang pedang tanpa mencabutnya.

“Sin-siang-hiap? Ha ha ha, Sin-siang-hiap?”

Song-bun-kwi mengeluarkan suara mengejek dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus dia telah mengirim dua serangan ke arah Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio. Dua orang suami isteri ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja mereka keserempet angin pukulan Song-bun-kwi sampai terlempar beberapa meter dan bergulingan jauh.

Kiranya mereka memang sengaja menggunakan Ilmu Trenggiling Turun Gunung itu, untuk menggelindingkan tubuhnya sampai jauh, kemudian sama-sama meloncat bangun dan….. melarikan diri!

Beng San heran dan marah. Akan tetapi kemarahannya lebih besar lagi. Ia menerjang maju sambil memaki,

“Iblis tua, berani kau memukul ayah bundaku!”

Song-bun-kwi mengelak dan hendak menangkap tangan Beng San, akan tetapi alangkah kagetnya ketika tangan itu menyelinap ke bawah dan tahu-tahu pahanya kena dipukul oleh Beng San!

Ia merasa seakan-akan tulang pahanya hendak patah dan terasa dingin seperti kemasukan es. la kaget sekali, maklum bahwa dia kena pukulan Im-sin-kiam dari bocah itu! Bukan main keder hatinya. Andaikata anak itu sudah lebih matang latihannya, sangat boleh jadi pahanya akan patah! Hebat sekali, anak ini tak boleh dibuat main-main, pikirnya. la lalu rnengamuk dengan pukulan-pukulan aneh kalang-kabut.

Kasihan sekali Beng San. Betul bahwa dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sekali, akan tetapi justru karena terlalu tinggi ilmu itu, sebelum dia melatihnya dengan sempurna, kepandaian silatnya amat terbatas. Menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, mana dia bisa menandinginya? Dalam beberapa belas jurus saja dia sudah roboh tertotok jalan darahnya, tak mampu bergerak lagi karena lumpuh kaki tangannya!

Sambil tertawa-tawa Song-bun-kwi mengempit tubuh Beng San dan membawanya lari pergi dari tempat itu, terus berlari di sepanjang tepi Sungai Huang-ho sampai dia tiba di daerah tepi sungai yang bertebing tinggi dan curam. Beng San masih tak dapat bergerak sedikit pun juga, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan berusaha membebaskan diri daripada totokan.

“Heh, bocah setan!” Song-bun-kwi berkata sambil tertawa-tawa. “Akhirnya kau terjatuh juga di tanganku. Hayo sekarang kau berikan Im-yang Sin-kiam-sut kepadaku dan beri tahu dimana tempat sembunyinya si maling Lo-tong Souw Le itu.”

Beng San lumpuh hanya kaki tangannya, tapi dia mempergunakan panca inderanya, dapat pula bicara. Akan tetapi terhadap Song-bun-kwi dia tidak sudi membuka mulut, maka dia hanya memandang lalu menggeleng kepala.

“Bocah bandel, apakah kau lebih sayang Im-yang Sin-kiam-sut dan lebih sayang kakek buta mau mampus itu daripada nyawamu? Lihat ke bawah itu, air Sungai Huang-ho amat dalam dan deras di bawah itu. Kalau kau tetap membandel aku akan melempar engkau kesana!”

la memegang tubuh Beng San sedemikian rupa di atas tebing sehingga muka anak itu menghadap ke bawah, melihat air yang mengalir deras dan berombak-ombak mengerikan. Dari atas, air itu kelihatan seperti air yang mendidih. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya perasaan ini, Beng San merasa ketakutan hebat melihat air itu. Baru kali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan yang amat sangat menyesakkan dadanya.

Semua bulu di tubuhnya meremang dan mukanya menjadi pucat kehijauan. la melihat air yang bergolak itu seperti ribuan muka iblis yang amat menakutkan, yang akan menerkamnya, akan menghanyutkannya. Saking takutnya dia sampai tidak mendengar ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Song-bun-kwi sehingga dia sama sekali tidak menjawab, hanya terbelalak memandang ke arah air di bawah itu.

“Iblis cilik, kalau begitu kau harus mampus. Agar rohmu tidak menjadi setan penasaran yang menggangguku, dengar apa sebabnya aku membunuhmu. Hal pertama karena kau tidak mau membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut dan tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee, kedua karena kau mengetahui rahasia Yang-sin-kiam yang kumiliki. Nah, jadilah setan Sungai Huang-ho!” Song-bun-kwi lalu melempar tubuh Beng San ke bawah! .





Beng San mengeluarkan pekik mengerikan saking takutnya. Dan pada saat itu terdengar pekik lain, pekik yang melengking tinggi dari bayangan merah yang berkelebat cepat ke tempat itu. Di lain saat, bayangan merah yang ternyata adalah Bi Goat si bocah gagu itu telah melemparkan segulung tambang ke bawah.

Dengan gerakan istimewa, tambang yang meluncur seperti ular ini berhasil menggulung tubuh Beng San pada ujungnya sehingga tubuh Beng San tergantung di udara, tidak terbanting ke air dan batu-batu karang. Bukan hal kebetulan saja Bi Goat membawa tambang, karena memang Song-bun-kwi mengajaknya berkeliaran di tepi sungai, di tebing-tebing tinggi itu untuk mencari sarang burung dan mereka memerlukan tambang yang panjang untuk mencari sarang ini di tempat-tempat yang sukar.

“Bi Goat, kurang ajar kau!”

Song-bun-kwi berteriak dan sekali renggut dia telah merampas ujung tambang itu dan sekali dorong tubuh Bi Goat sudah terjengkang. Song-bun-kwi lalu mengulur tambang itu sehingga tubuh Beng San sekarang terapung di air yang mengamuk.

Beng San masih menjerit-jerit ketakutan, apalagi sekarang setelah dia dipermainkan air yang berombak-ombak itu. la meronta-ronta, tanpa dia sadari dia telah bebas daripada totokan dan sekarang dia mencoba untuk berenang sambil menjerit-jerit. Akan tetapi tentu saja usahanya ini sia-sia karena tambang itu masih mengikat pinggangnya dengan erat.

Ketika dia melihat ke atas sambil terengah-engah, dia melihat Bi Goat berlutut sambil bergerak-gerak seperti menangis di depan Song-bun-kwi, telunjuknya menuding-nuding ke arah bawah, ke air dimana Beng San dipermainkan maut.

“Bi Goat…… tolong…..” Beng San menjerit sekerasnya dan suaranya nyaring sekali.

Bi Goat kini melompat berdiri, menjambak-jambak rambut dan membanting-banting kaki di depan Song-bun-kwi yang hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian Song-bun-kwi menjenguk ke bawah dan berteriak, suaranya dikerahkan dengan kekuatan khikang mengatasi suara air dan dapat terdengar oleh Beng San.

“He, Beng San iblis cilik! Bagaimana apakah kau menyerah? Kalau kau mau memenuhi permintaanku tadi, kau akan kunaikkan dan tidak jadi mampus ditelan air!”

Beng San memang takut, takut bukan main, malah takut yang tidak sewajarnya, mungkin karena dulu di waktu kecil dia pernah mengalami pula ketakutan sehebat ini ketika dia hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho.

Akan tetapi jiwa satria masih bersemayam di tubuhnya. la tidak suka melanggar janjinya, janji terhadap Phoa Ti dan The Bok Nam yang sudah mati, bahwa dia akan memegang teguh rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, juga janjinya terhadap Lo-tong Souw Lee takkan menceritakan tempat sembunyi kakek itu. Lebih baik mati daripada melanggar janji sendiri.

Demikianlah pendirian seorang satria, seorang pendekar. Beng San tidak takut mati, akan tetapi sekarang dia benar-benar takut. Setiap pucuk ombak air merupakan cakar iblis yang hendak mencekik dan mencengkeramnya.

“Song-bun-kwi, kau boleh minta apa saja, tapi yang dua itu tidak mungkin!” jawabnya diantara suara air.

Song-bun-kwi marah, mengangkat tambang dan melepaskannya kembali sampai tubuh Beng San tenggelam ke dalam air, mengangkat lagi, melepaskan lagi. Berkali-kali tubuh Beng San timbul tenggelam diantara deru suara air yang mengalir deras.

la takut setengah niati, takut dan juga gelagapan sukar bernapas. Entah bagaimana, sekarang baginya tidak ada Song-bun-kwi lagi, tidak ada siapa-siapa, yang teringat olehnya hanyalah air, air, air! la merasa dihanyutkan air yang luar biasa kerasnya, merasa takut dan tiba-tiba dia teringat akan ayahnya, akan ibunya, akan kakaknya!

“Ayahhh…..!” la berteriak-teriak mengbayangkan wajah ayahnya.

“Ibuuu…..!”

Kembali dia berteriak-teriak ketika mendapat kesempatan, yaitu ketika Song-bun-kwi menarik tambang ke atas.

“Kakak….,Kakak Kui….” Ia menjerit lagi.

Pada saat itu, Bi Goat juga berteriak-tenak menangis, berusaha mencegah Song-bun-kwi menyiksa Beng San. Akan tetapi Song-bun-kwi malah memaki dan menendangnya. Bi Goat berkali-kali menengok ke bawah dan ketika dia melihat betapa Beng San menjerit-jerit dengan muka ketakutan setiap kali tubuhnya timbul di permukaan air, dia mengeluarkan teriakan melengking tinggi lalu….. Bi Goat melompat ke bawah. Air sungai muncrat tinggi ketika tubuh Bi Goat menimpanya dan tertelan air yang mendidih itu.

Biarpun tadinya memaki-maki dan menendang Bi Goat, namun begitu melihat anak itu dengan nekat terjun ke bawah, Song-bun-kwi menjadi bingung dan kaget sekali. Keselamatan anaknya berbahaya sekali, terancam maut yang mengerikan. Cepat dia menggerakkan tambang yang dipegangnya dan ujung yang melibat tubuh Beng San segera terlepas.

Kemudian dengan gerakan yang aneh tambang itu meluncur ke arah jatuhnya Bi Goat. Tepat setelah tubuh anak baju merah ini timbul di permukaan air, melibat pinggangnya dan sekali sendal saja tubuh Bi Goat melayang kembali ke darat!

Akah tetapi ketika Song-bun-kwi menjenguk ke bawah, tubuh Beng San sudah lenyap. Tentu anak itu setelah tidak terikat oleh tambang lagi, sudah terbawa hanyut oleh air yang amat derasnya. Bi Goat menangis, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, pakaiannya basah kuyup.

“Sudah, diamlah. Dia anak jahat, kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi kelak hanya akan menimbulkan geger saja. Sakitkah badanmu? Apakah tidak terluka?”

Song-bun-kwi yang tiba-tiba merasa kasihan kepada anaknya, mendekati Bi Goat lalu memondongnya, merangkulnya. Bi Goat hanya menangis di pundak ayahnya yang aneh itu. Perlahan-lahan Song-bun-kwi yang memondong anaknya pergi dari situ, seperti orang melamun. Ia merasa lega karena mengira bahwa Beng San, anak yang menjadi orang kedua setelah dia yang mengerti akan Ilmu Silat Yang-sin Kiam-sut, sekarang tentu telah mati tenggelam di dasar Sungai Huang-ho.






No comments:

Post a Comment