Ads

Monday, September 24, 2018

Raja Pedang Jilid 071

“Sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu semenjak kau terbawa hanyut oleh Sungai Huang-ho, anakku,”

Ibunya berkata sambil duduk di sebelahnya, memegangi tangannya dengan sikap yang penuh kasih sayang. Terharu juga Beng San melihat sikap ibunya. Ayahnya diam saja, hanya membuat api unggun dan memanggang daging yang agaknya tadi sengaja dibawa.

Hal yang amat kecil ini saja tidak terluput dari perhatian Beng San. Kenapa ayahnya yang memanggang daging? Bukankah seharusnya ibunya yang melakukannya? Kenapa ibunya agaknya tidak mengacuhkan dan kenapa ayahnya kelihatan takut-takut kepada ibunya?

“Beng San, kenapa melamun? Aku minta kau ceritakan pengalamanmu.”

Ketika hendak mulai bercerita, Beng San tiba-tiba teringat bahwa keadaan dirinya amat berbahaya. la teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee. Karena dia mengerti tentang Im-yang Sin-kiam-sut dan tahu dimana adanya Lo-tong Souw Lee, dirinya menjadi terancam, dicari oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Kalau sekarang dia menceritakan semua itu kepada ayah bundanya, bukankah itu sama saja dengan menimpakan semua bahaya ini ke pundak orang tuanya juga?

“Aku tidak tahu bagaimana asal mulanya, tak ingat lagi,” ia mulai menuturkan pengalamannya, “tahu-tahu aku sudah berada di Kelenteng Hok-thian-tong menjadi kacung melayani para hwesio disana.” la menarik napas panjang karena teringat lagi kepada kelenteng yang terbakar itu. “Aku tidak ingat apa-apa lagi, yang kuingat hanya bahwa aku hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho dan bahwa namaku Beng San.”

“Kasihan kau, anakku…..” Bhe Kit Nio memeluknya dan kembali air matanya bercucuran.

Beng San merasa heran betapa mudahnya air mata mengucur dari sepasang mata ibunya.

“Lalu bagaimana lanjutannya, Nak?”

Sementara itu, Ouw Kiu sudah pula duduk disitu, mendengarkan cerita Beng San sambil memegang ujung ranting yang dipergunakan untuk menusuk dan memanggang daging. Matanya yang bersinar suram itu lebih banyak menatap daging di dalam api, jarang sekali menatap wajah Beng San, bahkan agaknya menghindari pandang mata Beng San yang tajam luar biasa itu.

Beng San lalu menuturkan dengan suara perlahan semua pengalamannya, bahkan menuturkan dengan bangga bahwa dia telah diangkat sebagai murid dan ahli waris oleh mendiang Phoa Ti dan The Bok Nam yang tewas di dalam jurang.

Ketika dia bercerita sampai disini, ayahnya nampak tenang saja, akan tetapi ibunya berseru kaget.

“Apa?? Kau diambil murid Thian-te Siang-hiap? Kalau begitu kau menjadi ahli warisnya dan mewarisi Im-yang Sin-kiam-sut?”

Sepasang mata ibunya terbelalak memandangnya, alisnya diangkat dan mulutnya terbuka. Kembali Beng San merasa bahwa ibunya ini dalam segala gerak-geriknya terlalu dibuat-buat. Ia lebih bangga akan sikap ayahnya yang pendiam dan seakan-akan tidak peduli, patut menjadi sikap seorang gagah perkasa, sungguhpun corak ayahnya lebih menakutkan daripada gagah. Betapapun juga, dia merasa bangga bahwa ibunya juga mengenal nama Thian-te Siang-hiap dan tahu akan Im-yang Sin-kiam-sut.

“Ah, aku hanya baru mempelajari teorinya, Ibu, prakteknya sih masih jauh dari pada sempurna. Aku masih sedang melatihnya, baru pada tingkat permulaan.”

“Bagus, anakku. Ah, kau anakku yang beruntung, anakku yang bernasib baik!” Ibunya memeluknya dan mencium keningnya. Kembali Beng San merasa pipinya merah dan panas, hatinya malu dan jengah. “Teruskanlah, Nak, teruskan penuturanmu.”

“Ah, Ibu, kau bilang aku beruntung dan bernasib baik. Sebaliknya daripada itu, setelah menerima warisan ilmu itu, hidupku seperti terkutuk. Aku dipakai rebutan antara orang-orang jahat, rnalah hampir saja beberapa kali aku dibunuh karena warisan ini, Beng San berkata menyesal.

“Ehhh…..?? Siapa berani mengganggumu, siapa sih berani mau membunuhmu? Keparat, kuhancurkan kepalanya nanti!”

Nyonya muda itu mengepal tinjunya yang kiri sedangkan tangan kanannya meraba gagang pedangnya. Sikapnya mengancam dan gagah sekali. Untuk sejenak hati Beng San terhibur. Bangga dia melihat sikap orang yang menjadi ibunya ini, yang demikian ganas hendak membelanya.

“Ah, Ibu….. itulah celakanya….. selama ini yang mengejar-ngejarku dan mengancam keselamatanku adalah orang-orang yang layak disebut iblis, tokoh besar yang amat sakti dan tinggi kepandaiannya, sukar sekali dilawan…..”





“Hemmm, siapa mereka? Katakan!” tiba-tiba Ouw Kiu yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suaranya yang parau.

Kembali Beng San merasa bangga karena ayahnya inipun agaknya marah mendengar bahwa dia hendak diganggu orang. Baru sekarang dia merasa betapa enak dan senangnya berayah ibu, ada orang melindungi dan membelanya!

“Pertama adalah Song-bun-kwi, ke dua Hek-hwa Kui-bo, dan masih banyak lagi, mungkin semua orang di dunia kang-ouw hendak menangkapku karena mereka hendak merebutkan Im-yang Sin-kiam-sut.”

Beng San memandang tajam ayah bunda-nya, dia takkan heran kalau melihat mereka kaget dan khawatir. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat ayahnya mengangguk-angguk dan ibunya malah tertawa nyaring!

“Ha-ha-ha, Beng San. Cuma orang-orang macam Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo saja kau anggap hebat? Ah, kukira tadi iblis neraka yang mengganggumu. Kalau hanya mereka itu, andaikata ibumu ini tidak kuat melawannya, pasti mereka diganyang mentah-mentah oleh ayahmu! Jangan khawatir, anakku. Kau belum tahu bahwa ayah ibumu juga bukan orang lemah, apalagi ayahmu. Hemmm, kiranya pasangan kami tak kalah terkenalnya. Kebetulan sekali kau segera dapat kami temukan, kalau tidak, ahhh….. amat berbahaya. Kau harus lekas beritahukan Im-yang Sin-kiam-sut kepada kami. Dibawah pimpinan ayahmu, kau akan dapat kemajuan pesat dan akan kuat membantu kami menghadapi musuh-musuhmu itu.”

Tapi Beng San masih ragu-ragu. Betulkah ayah bundanya akan mampu menghadapi Hek-hwa Kui-bo atau Song-bun-kwi? la tidak mau menyeret ayahnya atau ibunya sehingga jiwa mereka terancam pula. la menggeleng kepala dan berkata,

“Biarlah, Ibu. Biar aku sendiri saja yang mengerti ilmu sial itu, agar Ayah jangan ikut terancam keselamatannya”.

”Hemmmm, agaknya kau belum percaya akan kepandaian ayahmu. Biarlah lain waktu kau akan melihat sendiri buktinya. Sekarang, kau lanjutkan ceritamu.”

Beng San lalu menceritakan pengalamannya ketika dia ditolong Lo-tong Souw Lee dan kemudian menerima latihan-latihan dari kakek buta itu dan mendapat penjelasan-penjelasan bagaimana dia selanjutnya harus melatih diri untuk mempelajari Im-yang Sln-kiam-sut yang sudah dihafalnya di luar kepala itu.

“Ahhh….. kau malah bertemu dengan dia? Apakah Liong-cu Siang-kiam masih ada padanya?” tanya ibunya, nampak kaget dan terheran-heran.

“Masih ada. Bagaimana Ibu bisa tahu tentang Liong-cu Siang-kiam dan apakah Ibu mengenal Lo-tong Souw Lee?”

“Hi-hi-hi, bocah bodoh. Siapa tidak tahu tentang Liong-cu Siang-kiam yang dicuri kakek itu dan menghebohkan orang seturuh negara? Dan tentang Lo-tong Souw Lee sendiri….. ah, dia itu adalah sahabat baik ayahmu!”

“Sahabat baik Ayah?” Beng San menengok kepada ayahnya yang sudah memandang panggang dagingnya dengan muka muram lagi. “Akan tetapi dia sudah amat tua, dan malah sudah buta, sedangkan Ayah….. Ayah masih muda…..”

“Dalam persahabatan orang tidak melihat perbedaan usia,” bantah ibunya, “ayahmu sahabat baik Lo-tong Souw Lee. Kalau bukan sahabat baik, apakah ayahmu tidak sudah pergi mencarinya untuk merampas kembali Liong-cu Siang-kiam seperti tokoh-tokoh lain? Karena sahabat baik, ayahmu segan melakukan itu. Sekarang kebetulan sekali, Beng San. Kalau Lo-tong Souw Lee sudah berlaku amat baik kepadamu, kepada anak kami, sudah selayaknya kalau kami membelanya dari ancaman orang-orang kang-ouw. Kuusulkan supaya kita bertiga pergi mengunjunginya, disana kau boleh memperdalam Ilmu Im-yang Sin-kiam-sut di bawah asuhan ayahmu sementara kita bersama menjaga keselamatan orang tua yang sudah buta itu.” Ibunya lalu meraba pundak ayahnya dan bertanya, “Eh, bagaimana pendapatmu?”

Ouw Kiu menoleh dan tersenyum masam kepada isterinya.
“Boleh,…. boleh…..”

“Beng San, kau katakan dimana tempat sembunyinya kakek tua buta itu? Kita segera pergi mengunjunginya sekarang juga.”

Beng San ragu-ragu. Benarkah kedua orang tuanya akan dapat melindungi Lo-tong Souw Lee? Kalau tidak betul, berarti mengunjunginya sama dengan memancing datangnya bahaya untuk kakek yang sudah buta itu. la harus melihat gelagat, jangan sampai membahayakan keselamatan Lo-tong Souw Lee juga keselamatan ayah bundanya.

Tiba-tiba Beng San terkejut sekali. Telinganya mendengar sesuatu, perasaannya tersentuh dan tahulah dia bahwa ada orang pandai di dekat situ. Sebelum dia dapat bicara, tiba-tiba terdengar bentakan.

“Sin-siang-hiap (Sepasang Pendekar Sakti) Serahkan anakmu kepadaku!”

Dan tiba-tiba disitu sudah muncul Hek-hwa Kui-bo dengan sikap mengancam sekali. Beng San mernandang dengan mata terbelalak kaget dan penuh kekhawatiran. Ibunya segera melompat mendekatinya dan memeluknya.

“Jangan takut, lihat saja ayahmu menggempurnya,” bisiknya.

Ouw Kiu, ayah Beng San, berdiri dengan malas-malasan, memandang kepada Hek-hwa Kui-bo dan berkata.

“Hek-hwa-toanio, harap kau jangan mengganggu anakku.”

Sambil berkata demikian Ouw Kiu merangkapkan kedua tangan memberi hormat. Hek-hwa Kui-bo mengeiuarkan suara menyindir dan tiba-tiba tubuhnya melayang dan kedua tangannya sudah melakukan pukulan, mendorong ke arah dada Ouw Kiu.

Ouw Kiu dengan tenang membuka kedua lengannya dan sepasang telapak tangannya menyambut serangan nenek itu. Terdengar suara keras dan….. tubuh nenek itu mencelat ke belakang lalu terhuyung-huyung, mukanya berubah pucat. Sedangkan Ouw Kiu masih berdiri tegak sambil tersenyum tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu.

Sambil mengeluarkan pekik mengerikan, tubuh Hek-hwa Kui-bo berkelebat dan lenyap dari situ. Keadaan kembali sunyi dan Beng San memandang kepada ayahnya penuh kekaguman, matanya melotot dan mulutnya melongo. Demikian mudah ayahnya mengalahkan Hek-hwa Kui-bo. Padahal nenek itu ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya. Saking girang, kagum dan bangganya, dia lari menghampiri ayahnya, memeluk pinggang ayahnya sambil terisak-isak. Baru kali ini dia berpelukan dengan ayahnya yang hanya mengelus-elus rambut kepalanya.

Kini Beng San tidak ragu-ragu lagi untuk mengajak kedua orang tuanya mengunjungi Lo-tong Souw Lee. Bertiga melakukan perjalanan cepat melalui sepanjang Sungai Huang-ho sambil melihat-lihat keindahan pemandangan.

Memang, lembah Sungai Huang-ho menjadi tamasya alam yang amat indahnya di waktu airnya tidak mengamuk. Akan tetapi kalau musim hujan tiba dan sungai itu mengamuk, semua pemandangan indah akan lenyap dan berubah menjadi keadaan yang mengerikan.

Dengan gembira ayah ibu dan anak ini melakukan perjalanan. Hati Beng San tenang dan tentram. Ayahnya demikian lihai, tentu ibunya juga. la takut apa?
Bahkan ketika mereka bertiga pada suatu hari, beberapa pekan kemudian, tiba-tiba berhadapan muka dengan Song-bun-kwi, Beng San masih enak-enak dan malah tersenyum mengejek.

“Eh, Song-bun-kwi, kalau sekarang kau masih berani menggangguku, barulah kau boleh membanggakan diri sebagai seorang jagoan. Hayo, kau lawan ini Ayah dan Ibuku. Sin-siang-hiap!”

Ayah dan ibunya dijuluki Sin-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Sakti, karena bukankah keduanya memakai julukan yang ada huruf saktinya? Ayahnya berjuluk Naga Sakti Terbang, ibunya berjuluk Pedang Sakti Cantik, jadi keduanya mendapat julukan Sepasang Pendekar Sakti!

Song-bun-kwi berdiri bengong, seperti terheran-heran melihat anak yang selama ini dicari-carinya tak tersangka-sangka dapat bertemu dengannya di tepi Sungai Huang-ho dan begini enak-enak dan tenang saja, tidak lari seperti dulu.






No comments:

Post a Comment