Ads

Wednesday, September 19, 2018

Raja Pedang Jilid 070

Dengan sebatang obor yang dinyalakannya Ciu Tek menerangi dada dan pundak Beng San. Tiba-tiba dia nampak gembira, tertawa-tawa dan menudingkan telunjuknya ke arah pundak Beng San.

“Bagus, kaulah anak mereka! Ha-ha-ha, tak salah lagi sekarang. Tanda tahi lalat di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isteri yang sakti itu!”

Beng San menjadi bengong, lalu memakai kembali bajunya.
“Ciu-twako, apa kau bilang? Aku anak siapa? Harap kau jelaskan, jangan main-main.”

Suara Beng San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia adalah anak mereka! Mereka siapa?

“Adik Beng San, jawab dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir Sungai Huang-ho dan tidak tahu lagi siapa ayah bundamu?”

Beng San mengangguk, membasahi bibirnya dengan lidah.
“Aku….. aku sudah lupa segala….. aku terdampar ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di kelenteng….. aku tidak ingat lagi siapa ayah bundaku. Ciu-twako yang baik, lekas kau beri penjelasan, apa artinya semua ini?”

Ciu Tek memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira,
“Adik Beng San, kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan ayah bundamu kembali. Mereka sudah lama mencari-carirnu kemana-mana. Tak nyana aku yang menemukan kau disini. Ah, girang sekali hatiku!”

Beng San hampir pingsan saking kagetnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu dengan ayah bundanya kembali? Bagaimanakah wajah ayah bundanya itu? la sudah lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk. Bahkan she-nya sendiri saja dia sampai lupa.

“Ciu-twako…… dimana….. dimana….. mereka itu…..?”

Dengan sukar sekali Beng San mengajukan pertaryaan ini, dengan suara terputus-putus dan mata berlinangan air mata.

“Sabarlah, Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan ayah bundamu itu.”

Ciu Tek memberi isyarat dengan siulan. Muncullah seorang temannya, seorang anggauta Pek-lian-pai wanita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa pedang.

“Kui-moi, kau antarkan suratku kepada Ouw-taihiap suami isteri, malam ini juga,” kata Cin Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada wanita itu.

Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.

“Ciu-twako, jadi aku she….. she Ouw? Ciu-twako, ceritakanlah tentang ayah bundaku, aku sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-ho? Ah, Twako yang baik, ceritakanlah, aku tak sabar menanti.”

Seperti anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan memandang terharu.

“Adikku yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang pendekar yang sukar dicari bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk Bi-sin-kiam (Pedang Sakti Cantik).”

Beng San mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah pendekar-pendekar gagah, terkenal di kalangan Pek-lian-pai pula. Alangkah akan kaget dan herannya kalau kelak Tan-twako mendengar akan hal ini, pikirnya.

Hemmm, orang tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua anak-anak Hoa-san-pai itu. Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadap Thio Ki, Kui Lok, dan dua orang gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!





“Ciu-twako,” katanya dengan Suara gemetar, “kalau ayah bundaku begitu terkenal dan lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?”

“Ketika itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-ho, ayah bundamu sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan kau yang masih kecil bermain-main di dekat sungai lalu terseret banjir dan lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah lenyap…..”

Beng San termenung. Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama sekali akan hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-thian-tong. Baginya, hidup ini dimulai dari lantai Hok-thian-tong yang dia pel (cuci) setiap hari. Ingatannya hanya bisa dia putar kembali sampai saat itu, saat ia menjadi kacung di kelenteng, diperlakukan dengan amat baik oleh para hwesio di kelenteng itu. Ia tidak dapat mengingat lagi waktu sebelum itu.

Dan sekarang kelenteng itu sudah habis dimakan api, tak seorang pun hwesio dapat dia temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak disangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ayah bundanya! Tak tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.

“Tidurlah, Adik Beng San. Tidurlah nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan ayah bundamu.”

Akan tetapi mana Beng San mau tidur? la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Malah sekarang pun berkali-kali dia mencubit kulit lengan sendiri untuk menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur.

Kadang-kadang dia hampir tak dapat percaya. la akan bertemu dengan ayah bundanya? Ah, terlalu baik, terlampau luar biasa baik nasibnya, sampai-sampai sukar untuk mempercayainya. Tak sabar lagi dia menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa artinya menunggu. Malam itu terasa amat panjang olehnya.

Akhirnya fajar menyingsing. Suara-suara dalam hutan sudah berubah, bukan lagi suara burung malam, jengkerik diseling meraungnya binatang-binatang buas, suara yang seram menambah kegelisahan hati Beng San yang tak sabar, melainkan sudah berubah menjadl suara burung-burung pagi berkicau ramai indah, menambah kegembiraan hati Beng San yang melihat bahwa apa yang dinanti-nantikan akhirnya menjelang tiba.

Ciu Tek mengeluarkan sisa daging rusa yang masih disimpannya, lalu dipanggang dan memberi sebagian kepada Beng San. Akan tetapi dengan halus Beng San menolaknya, menyatakan bahwa dia tidak lapar. Memang, dia hanya lapar bertemu orang tuanya, yang lain-lain tidak peduli lagi.

Akhirnya, setelah matahari mulai menerobos cahayanya diantara daun-daun pohon, dari jauh terdengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah dua orang. Seorang laki-laki tinggi tegap berusia empat puluh tahun yang bermuka pucat, bermata sipit dan dengan kumis melintang meloncat turun dari kudanya, diturut oleh seorang wanita cantik berpakaian indah, berusia kurang lebih tiga puluh tahun.

Dua orang ini sambil tersenyum-senyum menghampiri Beng San dan Ciu Tek. Beng San segera bangkit berdiri, memandang kepada dua orang itu, ganti-berganti. Lehernya terkancing, seakan-akan ada hawa menyesak dari dada memenuhi kerongkongannya.

“Adik Beng San, itulah mereka, ayah dan ibumu. Sambutlah,” kata Ciu Tek sambil tersenyum. “Baik-baiklah kau dengan ayah ibumu, aku harus pergi.”

Ciu Tek segera meninggalkan tempat itu tanpa mendapat jawaban Beng San yang seakan-akan tidak mendengarnya, karena anak ini seperti terpukau berdiri memandang dua orang yang baru datang itu.

“Beng San, ahhh….. kau sudah begini besar….. ah, sampai pangling aku….. hampir delapan tahun kau lenyap….. ah, biarkan aku melihat tanda di pundakmu, Beng San. Betulkah kau Beng San anakku? Betulkah ada tahi lalat di pundakmu?”

Wanita itu berkata dengan suara terputus-putus dan saputangannya digosok-gosokkan matanya yang bercucuran air mata.

Laki-laki itupun melangkah maju, suaranya besar parau.
“Tak salah lagi, inilah anak kita. Biar kita buktikan tandanya. Beng San, coba kau lepas bajumu…..”

Gemetar seluruh tubuh Beng San. Entah apa yang dirasanya disaat itu, dia sendiri tidak tahu. Seperti dalam mimpi tangannya membuka kancing bajunya sehingga baju itu terbuka dan tampak dada dan pundaknya. Sebuah andeng-andeng (tahi lalat) kecil menghias pundak kirinya. Melihat ini wanita itu lalu menubruk dan merangkulnya.

“Ah, kau betul Beng San anakku….”

Diciuminya pipi dan leher Beng San. Anak ini merasa jengah dan malu. Seharusnya dia tidak usah merasa malu bisik hati nuraninya, kan dia ibuku? Tapi entah, tanpa dia sengaja dia menjauhkan mukanya dan dia memandang muka cantik yang berbedak tebal dan berbau harum minyak wangi itu, memandang sepasang mata yang bergerak liar dan genit, mulut yang dilapisi cat merah, indah bentuknya dan selalu tersenyum akan tetapi agak terlampau lebar itu, giginya yang kecil-kecil meruncing tampak ketika tersenyum.

“Beng San, anakku..mari sini, Nak… biarkan ibumu memelukmu…..”

Beng San bergidik, akan tetapi dia memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat menjatuhi pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula diapun menangis terisak-isak.

“Ayah….. Ibu…..??! Kenapa….. kenapa..” bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan ayahnya yang sudah mendekat pula.

“Kenapa? Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San…..?” Ibunya bertanya.

Sebetulnya hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa ayahnya tidak segagah ayah Kwa Hong dan kenapa ibunya begini….. pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung seperti yang dia gambar-gambarkan semalam. Akan tetapi mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya berbisik.

“Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai sembilan tahun?”

“Membiarkan terlunta-lunta? Ah, kau tidak tahu, Beng San. Kami telah mencari-carimu setengah mati, malah mengerahkan semua kawan Pek-lian-pai untuk mencarimu,” kata ibunya yang bernama Bhe Kit Nio. “Ah, pakaianmu begini kotor, sudah rombeng pula. Aku tadi membawa pakaian untukmu, anakku. Mari kugantikan kau dengan pakaian baru.”

la berlari ke arah kudanya dan mengambil satu stel pakaian dari sutera indah berwarna biru muda untuk Beng San.

Tanpa disengaja Beng San tersipu-sipu malu.
“Biarlah, Ibu, biar kupakai sendiri.”

la menerima pakaian itu dan lari sembunyi ke belakang sebatang pohon besar, cepat-cepat dia memakai pakaian itu, akan tetapi tidak membuang pakaian lamanya. la hanya merangkapkan pakaian baru di luar pakaiannya yang lama. Setelah dia muncul kembali, ibunya berkata.

“Ah, coba lihat. Alangkah tampannya anak kita…..” Sambil tertawa ibu muda ini berlari dan memeluk lagi leher Beng San.

Beng San mendapat kenyataan betapa ayahnya semenjak tadi hanya diam saja. Agaknya ayahnya memang pendiam dan tidak bisa banyak bicara. la merasa tidak enak kalau didiamkannya saja. Sejak tadi hanya ibunya yang bicara terus. Temyata ibunya memang pandai bicara. la teringat akan Kwa Hong. Memang, kalau dibandingkan, Kwa Hong jauh lebih pandai bicara daripada Kui Lok atau Thio Ki Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga lebih pandai bicara. Apakah memang wanita sudah semestinya lebih pandai bicara daripada laki-laki?

“Ayah, aku pernah bertemu dengan Tan-twako, pemimpin Pek-lian-pai. Kenapa dia tidak tahu bahwa aku anak Ayah Ibu?”

Ayahnya nampak bingung.
“Tan-twa-ko…..? Siapa itu….. ah, ingat aku. Kau maksudkan Tan Hok?”

“Ketahuilah, Beng San,” Ibunya menyambung cepat. “Tan Hok itu adalah pemimpin Pek-lian-pai cabang selatan, jadi berpisahan dengan kami. Ayahmu dan aku mempunyai hubungan dengan Pek-lian-pai cabang utara. Memang belum lama ini kami bertemu dengan Tan Hok dan dari dialah kami mengetahui tentang kau dan timbul dugaan bahwa kau adalah putera kami. Dan ternyata betul, terima kasih kepada para sianli (dewi) di kahyangan'”

Hemmm, isinya menyatakan terima kasih kepada dewi. Agaknya ibunya ini penyembah Kwan Im Pouwsat, pikir Beng San. la masih belum biasa dengan keadaan ini, keadaan berayah ibu, maka dia merasa canggung dan masih saja dia merasa dirinya asing.






No comments:

Post a Comment