Ads

Monday, September 17, 2018

Raja Pedang Jilid 061

“Totiang, aku hanya membawa dua orang anak cucu muridmu main-main di tempat kami yang indah ini dan kalian pihak Hoa-san-pai sudah menyerbu datang dan mengatakan aku jahat. Sebaliknya, Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai para pemberontak itu, membunuh puluhan bahkan ratusan orang tentara pemerintah yang bertugas menjaga keamanan. Manakah yang lebih jahat dan keji?”

“Orang she Souw, tutup mulutmu yang busuk sebelum aku paksa kau menutupnya!” tiba-tiba Thio Wan It yang terkenal berangasan membentak. “Kami dari Hoa-san-pai tak pernah bersekongkol dengan Pek-lian-pai!”

Souw Kian Bi memandang sambil tersenyum mengejek
“Hemmm, kiranya tidak akan semudah kau membuka mulut untuk dapat menutup mulutku, sobat. Sekarang dengarlah dulu. Banyak pasukan tentara pemerintah terjebak dan tewas di kaki Gunung Hoa-sah, di sekitar daerah yang dikuasai Hoa-san-pai. Kalau bukan kalian orang-orang Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai, mana dapat terjadi hal itu?”

“Kau boleh mengoceh dan berkata apa saja, pokoknya kami tak pernah berhubungan dengan Pek-lian-pai. Pendeknya lekas kau bebaskan puteriku, kalau tidak…..” kata Thio Wan It yang merasa khawatir sekali atas nasib anaknya, Thio Bwee.

“Betul, bebaskan anak-anak kami jangan bersikap pengecut. Urusan boleh diurus, kalau perlu di ujung pedang, tapi jangan mengganggu anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa!”

Baru kali ini Kwa Tin Siong berkata, suaranya tenang mantap dan matanya penuh ancaman.

Akan tetapi Lian Bu Tojin berpikir lain. Sekarang kakek ini mengerti bahwa orang she Souw itu ternyata adalah seorang yang penting dalam pemerintah Mongol, maka amatlah tidak baik kalau Hoa-san-pai tersangkut dalam urusan pemberontakan Pek-lian-pai.

Andaikata Pek-lian-pai benar-benar merupakan perkumpulan patriotik yang bersih, tentu saja Hoa-san-pai akan senang sekali menggabungkan diri. Akan tetapi pada waktu itu dia sendiri masih sangsi terhadap Pek-lian-pai yang seolah-olah sedang memusuhi Hoa-san-pai, maka kurang baik kalau Hoa-san-pai dianggap bersekongkol dengan Perkumpulan Teratai Putih itu.

la lalu melangkah maju, menghalangi kedua pihak yang sudah panas. Kalau terjadi pertempuran, agaknya fihaknya akan mengalami kerugian, pikir ketua Hoa-san-pai ini. Dia sendiri mendapat lawan berat, yaitu Tai-lek-sin yang dia tahu tentu memiliki ilmu yang tak boleh dipandang ringan.

Empat orang muridnya sungguhpun boleh diandalkan, akan tetapi bagaimana kalau mereka itu dikurung dan dikeroyok oleh ratusan orang tentara Mongol? Apalagi selain Souw Kian Bi, empat orang komandan dan yang duduk disitu pun agaknya bukan orang-orang lemah.

“Tai-lek-sin, mengapa kau diam saja? Apakah sengaja kami dipancing datang hendak diajak bertanding? Ataukah berdamai? Apa maksud kalian memancing kami datang?”

“Aku tidak tahu apa-apa. Bicaralah dengan Souw-kongcu,” jawab hwesio itu sambil tertawa-tawa.

Biarpun sungkan bicara dengan orang muda pesolek itu terpaksa ketua Hoa-san-pai menghadapinya.

“Saudara Souw, katakanlah terang-terangan apa yang tersembunyi di balik segala perbuatanmu ini. Sudah jelas bahwa kau menculik dua orang cucu muridku dengan maksud memancing kami datang. Nah, setelah kami datang, apa yang kau kehendaki?”

Souw Kian Bi tetap tersenyum-senyum.
“Senang sekali bercakap-cakap dengan Totiang yang lebih sabar dan luas pandangan,” katanya melirik ke arah Hoa-san Sie-eng yang marah-marah. “Ucapan seorang ketua Hoa-san-pai tentu saja kami dapat percaya penuh. Sesungguhnya bagaimanakah, Totiang, apakah tidak ada persekongkolan jahat antara Hoa-san-pai dan Pek-lian-pai?”

“Tidak ada sama sekali,” jawab kakek itu mendongkol.

“Bagus, kalau begitu dugaan kami keliru dan kedua orang anak itu tentu saja harus dibebaskan sekarang juga. Akan tetapi, kami tetap akan ragu-ragu kalau Totiang tidak menyatakan janji lebih dulu. Totiang berjanji dan kami melepaskan dua orang anak kecil itu dan….. beres?”

Lian Bu Tojin mengerutkan alisnya. Bukan main licinnya orang muda ini, pikirnya. Licin berbahaya penuh tipu muslihat.

“Janji apa yang kau kehendaki dari pinto?”





“Janji bahwa Hoa-san-pai tidak akan bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi pemerintah.”

LianBu Tojin tersenyum.
“Baik. Pinto berjanji bahwa Hoa-san-pai takkan bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi pemerintah.”

Souw Kian Bi mengerutkan kening. Mengapa begini mudah ketua ini berjanji? la memutar otak dan tiba-tiba dia berkata lagi,

“Dan berjanji bahwa Hoa-san-pai takkan memusuhi pemerintah.”

“Orang she Souw, kenapa kau begini cerewet? Hoa-san-pai sudah berjanji menuruti permintaanmu, berjanji takkan bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi pemerintah. Hanya sekian dan habis. Kalau kau terlalu mendesak, pinto tak sudi berjanji lagi.”

“He, Souw-kongcu. Tosu tua ini sudah berjanji takkan bersekongkol dengan Pek lian-pai, bukankah itu sudah cukup? Hayo lekas keluarkan dua orang bocah perempuan itu,” kata Tai-lek-sin dengan suara keras.

Memang sesungguhnya inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan Mongol. Mereka amat khawatir kalau-kalau para partai persilatan besar mengadakan kerja sama dengan Pek-lian-pai. Mereka berusaha sekuatnya untuk memisahkah partai-partai ini dari Pek-lian-pai agar kedudukan Pek-lian-pai kurang kuat, malah kalau mungkin memecah-mecah para partai itu agar saling serang sendiri. Kalau sekarang ketua Hoa-san-pai berjanji takkan bersekongkol dengan Pek-lian-pai, hal ini sudah merupakan sebuah kemenangan bagi pemerintah.

Souw Kian Bi bukan seorang bodoh, bukan maksud pemerintah untuk memusuhi setiap partai persilatan, apalagi partai sebesar Hoa-san-pai yang kuat. Seorang musuh saja, Pek-lian-pai sudah cukup memusingkan, jangan sampai ditambah musuh ke dua. la harus mengorbankan perasaannya sendiri, biarpun dia ingin sekali kalau bisa menukar kedua orang tawanannya itu dengan nona Sian Hwa yang menggetarkan hatinya, atau setidaknya diapun akan suka mendapatkan dua orang nona cilik itu untuk menghibur hatinya, namun kepentingan tugasnya harus dia dahulukan. Apalagi, kiranya bodoh sekali kalau main-main dengan Hoa-san-pai! Sambil tertawa dia memberi perintah kepada seorang diantara para komandan pasukan.

“Bawalah dua orang nona cilik itu kesini.”

Komandan itu pergi dengan cepat, masuk ke perkemahan belakang. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan muka pucat dan suaranya gugup.

“Celaka, Kongcu. Dua ekor burung itu sudah terbang!”

Souw Kian Bi membanting-banting kaki.
“Apa kau bilang?”

Cepat tubuhnya berkelebat dan lari memburu ke tempat ditahannya dua orang anak itu. Yang lain, termasuk orang-orang Hoa-san-pai, ikut pula mengejar ke belakang.

Kemanakah perginya Kwa Hong dan Thio Bwee? Betulkah dua orang anak perempuan yang sudah ditotok tak berdaya dan dikurung dalam kamar tahanan itu dapat melarikan diri? Memang kenyataannya betul demikian. Akan tetapi tentu saja ada orang menolongnya. Penolong ini bukan lain adalah Beng San yang diam-diam terus mengikuti larinya Souw Kian Bi sampai memasuki perkemahan pasukan Mongol.

Menggunakan kecepatan dan keringanan tubuhnya, dilindungi pula oleh gelapnya malam, Beng San berhasil membobol pagar yang mengelilingi perkemahan tanpa dilihat oleh para penjaga. la berhasil pula mendengarkan pesan Souw Kian Bi kepada para penjaga. Mendengar bahwa bagian belakang perkemahan itu tidak terjaga kuat, dia mendapat pikiran untuk menolong dua orang nona kecil itu melarikan diri melalui belakang perkemahan.

Dapat dibayangkan betapa herannya hati Kwa Hong dan Thio Bwee ketika mereka berada di dalam kamar tanpa dapat bergerak itu, tiba-tiba mereka melihat munculnya Beng San!

Anak ini memberi tanda agar supaya Kwa Hong dan Thio Bwee jangan mengeluarkan suara. Alangkah lucunya. Tak usah dilarang sekalipun memang dua orang nona cilik itu tak dapat bersuara lagi. Lalu Beng San memberi isyarat supaya mereka ikut, akan tetapi bagaimana mereka bisa ikut kalau mereka tidak mampu bergerak?

Melihat keadaan mereka, Beng San curiga. la sudah mempelajari secara teliti tentang perjalanan darah ini, dahulu diajar oleh Lo-tong Souw Lee. Karena keadaan mendesak, tanpa ragu-ragu, dia mendekati Kwa Hong dan meraba lehernya. Benar saja dugaannya, Kwa Hong telah terkena totokan yang luar biasa.

Beng San mengeluh. Biarpun dia sudah mempelajari tentang jalan darah, namun dia sendiri belum bisa menotok, apalagi membebaskan. Di luar kemah terdengar suara serdadu-serdadu tertawa. Beng San gugup dan tanpa berpikir panjang lagi dia lalu menangkap dua orang nona cilik itu dan memanggul tubuh mereka di afas pundaknya, satu di kanan dan satu di kiri!

Dengan beban ini dia menyelinap keluar melalui jalan belakang. Tanpa ia sadari sendiri, Beng San telah memiliki tenaga yang luar biasa sehingga memanggul dua orang anak perempuan itu seperti tidak terasa sama sekali olehnya, begitu ringan!

Benar sekali seperti yang diperintahkan oleh Souw Kian Bi tadi, jalan belakang ini sama sekali tidak terjaga. Mula-mula Beng San merasa girang sekali dan juga heran mengapa serdadu-serdadu itu begitu bodoh.

Akan tetapi baru saja dia lari sejauh satu li, dia kaget sekali karena di depannya terbentang rawa yang amat luas la mencari jalan agar jangan melalui rawa, akan tetapi setelah berlari kesana kemari, dia tidak dapat menemukan jalan yang lebih baik. Selain melalui rawa, dia terhadang oleh jurang yang tak mungkin dapat dilewati saking lebarnya, juga menghadapi dinding karang yang menjulang tinggi. Tanpa membawa beban belum tentu dia akan dapat mendaki dinding karang ini dengan selamat, apalagi memanggul dua orang anak itu. Sungguh berbahaya.

“Celaka…..” pikir Beng San.

la menjadi serba salah. Kembali tak mungkin. terus juga bagaimana? Akhirnya dia menjadi nekat. Hati-hati dia memasuki rawa yang gelap dan mengerikan itu, dengan airnya yang diam bercampur tanah dan rumput. Hanya suara katak yang memenuhi rawa itu terdengar amat menyeramkan.

Ia menjadi lega ketika kakinya menginjak tempat dangkal, hanya selutut dalamnya. Ia melangkah maju, hati-hati sekali karena dasar rawa itu penuh batu licin. Sampai sepuluh langkah lebih dia selamat karena tempat itu dangkal.

Tiba-tiba dia tergelincir batu yang licin. Beng San mengerahkan tenaga dan mengatur keseimbangan tubuh. Ia selamat tidak sampai roboh, akan tetapi dua orang anak perempuan yang dia panggul menjadi basah dan kotor oleh lumpur. la berjalan terus, maju bermaksud menyeberangi rawa.

Akan tetapi segera dia mendapat kenyataan mengapa para serdadu sengaja tidak menjaga tempat itu. Memang bukan main sukar dan berbahayanya jalan ini. Segera dia tiba di bagian air yang berlumpur dan tempat pun tidak sedangkal tadi, sudah mencapai pinggangnya.

Sukar sekali untuk maju melalui lumpur yang ditumbuhi rumput ini, apalagi di bawah amat licinnya. Yang paling mengerikan adalah kalau memikirkan apa isi rawa-rawa itu, binatang mengerikan apa yang berada di bawah rumput dan di dalam lumpur itu. Akan tetapi Beng San tidak ingat akan ini semua, melainkan melangkah terus maju dengan tabah.

“Lepaskan aku! Aku bisa berjalan sendiri!”

Tiba-tiba Kwa Hong yang dipanggul di pundak kanannya bergerak dan berseru. Juga Thio Bwee di atas pundak kirinya mulai bergerak-gerak.

“Syukur kalian sudah bisa bergerak lagi,” kata Beng San sambil menurunkan Kwa Hong dari pundaknya.

Akan tetapi karena tak dapat bergerak, tubuh Kwa Hong masih lemas dan ketika ia diturunkan berdiri di dalam air berlumpur, hampir saja ia terguling roboh kalau tidak cepat-cepat disambar pinggangnya oleh Beng San. Thio Bwee juga minta turun dan diturunkan dengan hati-hati.

“Beng San, kau hendak membawa kami kemana?”

Kwa Hong bertanya, suaranya agak marah karena tadi ia dengan jengkel dan mendongkol sekali melihat tanpa berdaya betapa tubuhnya dirangkul dan dipanggul oleh bocah ini. Tentu saja ia sudah marah dan memaki-makinya kalau saja tidak sedang berada dalam keadaan seperti ini. Malah diam-diam ia merasa bersyukur bahwa Beng San datang untuk menolongnya. Mengapa bukan bibi gurunya atau kakek gurunya, atau setidaknya mengapa bukan Kui Lok dan Thio Ki?






No comments:

Post a Comment