Ads

Monday, September 17, 2018

Raja Pedang Jilid 062

“Ke mana? Tentu saja pulang ke puncak Hoa-san. Kalau saja kita bisa melewati rawa-rawa yang berbahaya ini. Heee…… hati-hati, Nona Bwee.,…!”.

Thio Bwee tergelincir dan lenyap dari permukaan air. Ternyata ia telah menginjak bagian yang amat dalam sehingga tak dapat dicegah lagi ia tenggelam ke dalam air berlumpur itu!

“Celaka!”

Beng San cepat menubruk maju dan diapun kena injak tempat yang dalam itu sehingga diapun lenyap dari permukaan air. Kwa Hong menggigil ketakutan dan ingin dia menjerit-jerit kalau saja tidak teringat bahwa dia sedang melarikan diri dari musuh.

la tidak berani sembarangan bergerak, takut mengalami nasib seperti Beng San dan Thio Bwee, akan tetapi hatinya takut bukan main, gelisah melihat hilangnya dua orang teman itu tanpa dapat menolongnya sama sekali.

Keadaan amat gelap dan Kwa Hong sudah mulai menangis. Tiba-tiba air di depannya bergerak dan muncullah kepala Beng San. Anak ini berenang ke tempat dangkal di dekat Kwa Hong sambil menyeret Thio Bwee yang sudah pingsan.

Cepat-cepat Kwa Hong menyusuti muka Thio Bwee yang penuh lumpur itu. Setelah dipijat-pijat pundaknya dan digoyang-goyang akhirnya Thio Bwee siuman kembal Anak ini menangis dan berkata ketakutan.

“Bawa aku ke darat.., bawa aku pulang…..” la menangis ketakutan.

Selama hidupnya, baru kali ini ia mengalami kejadian yang begini menakutkan. Siapa orangnya yang tidak takut kalau melihat sekelilingnya hanya air lumpur ditumbuhi rumput, gelap pekat dan di sekeliling situ, tak diketahui dengan pasti dimana terdapat lubang-lubang jebakan yang amat dalam?

“Lebih baik kalian kupanggul seperti tadi. Biarlah aku yang mencari jalan keluar dari rawa ini…..” kata Beng San setelah berhasil membersihkan lumpur dari mulut, hidung dan matanya.

Saking takutnya dan mengharapkan pertolongan, Thio Bwee tanpa ragu-ragu lagi lalu merangkul Beng San sambil berkata,

“Tolonglah, Beng San….. tolong keluarkan aku dari tempat neraka ini…”,

la menurut saja ketika dipanggul oleh Beng San, tidak seperti tadi, sekarang disuruh duduk di atas pundak kirinya. Thio Bwee agak besar hatinya setelah duduk di pundak itu, duduk sambil merangkul kepala Beng San, masih menggigil ketakutan.

“Jangan khawatir, Nona Bwee. Memang aku datang untuk menolong kalian,” katanya, suaranya dibikin setenang mungkin, akan tetapi sebetulnya dia sendiri masih sangsi apakah dia akan berhasil menyeberangi rawa-rawa yang amat berbahaya ini. “Nona Hong, kau pun sebaiknya duduklah di pundakku yang sebelah ini.”

la pikir, lebih baik dua nona muda itu duduk di pundaknya agar jangan sampai tergelincir dan masuk ke dalam lubang dalam seperti yang dialami Thio Bwee tadi. Kalau terjadi demikian, amat berbahaya. Tadi secara kebetulan saja di dalam air keruh itu dia dapat menangkap tubuh Thio Bwee, kalau tidak, bukankah nyawa nona Thio itu akan terancam bahaya maut?

“Apa…?? Tidak sudi aku!” bentak Kwa Hong yang sudah kumat lagi kegalakannya.

Akan tetapi agaknya ia segera teringat bahwa Beng San berusaha menolongnya, maka segera disambungnya dengan suara yang tidak galak lagi,

“Aku bisa jalan sendiri dan pula… memanggul Enci Bwee saja sudah berat, aku tidak mau memberatkan engkau lagi …”.

Di dalam gelap Beng san tersenyum. la tidak marah karena memang dia sudah mulai mengenal watak Kwa Hong, malah watak semua yang berada di puncak Hoa-san. Biarpun Kwa Hong tidak mau dipanggul, malah tidak mau digandeng tangannya, namun dia selalu siap menjaga dan melindungi gadis galak ini.

“Baiklah sesukamu, Nona Hong. Mari kita maju lagi. Hati-hatilah…..” katanya sambil melangkah perlahan, meraba-raba dengan ujung kakinya sebelum menginjak agar tidak terjeblos ke dalam lubang dalam.

Thio Bwee masih menangis kecil di atas pundaknya sambil memeluk lehernya, amat ketakutan dan kedinginan karena ia tadi basah kuyup dari kaki sampai kepala.





Langit bersih dari awan. Bintang-bintang penuh bertaburan di langit biru, mendatangkan cahaya yang lumayan sehingga keadaan tidak segelap tadi. Tiga orang anak itu dapat melihat ke depan, sungguhpun tidak amat jauh, namun cukuplah untuk mengurangi keseraman. Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh.

“Aduh kakiku….. apa ini gatal-gatal?”

la mengangkat kaki kirinya ke atas sampai melewati permukaan air dan….. dalam cuaca yang remang-remang itu terlihatan seekor lintah menempel pada betis kakinya, mengisap darahnya melalui kain celana yang tipis. Lintah itu gemuk bulat, agaknya sudah banyak juga darah Kwa Hong diisapnya.

“Hiiui….. apa itu…..? Hiiiii!”

Kwa Hong menggigil saking jijiknya dan ia menubruk Beng San, merangkul lehernya dengan ketakutan.

Beng San tahu apa adanya binatang itu.
“Tenanglah, Nona Hong. Itu adalah lintah, binatang penghisap darah. Dia sudah penuh darah, kalau sudah kenyang akan terlepas sendiri…..”

Hampir pingsan Kwa Hong oleh kengerian dan kejijikan.
“Buanglah….. lepaskan dari betisku….. huiii…..”

“Kalau diambil secara paksa, kulit betismu akan terluka, Nona. Biarkan sebentar.”

Tanpa ragu-ragu Beng San memegang kaki Kwa Hong yang diangkat itu, melihat lintah dari dekat. Betul saja dugaannya, lintah itu segera melepaskan kaki Kwa Hong karena sudah kekenyangan, jatuh kedalam air dan lenyap.

Kwa Hong meremang bulu tengkuknya, ia ketakutan sekali dan tanpa diminta lagi ia segera meloncat ke pundak Beng San, duduk di atas pundak kanan, tangannya memegangi leher.

“Binatang celaka, binatang menjijikkan, terkutuk…..” ia memaki-maki, tapi ia masih menggigil ketakutan.

Beng San merangkul kaki dua orang nona itu agar tidak jatuh dari atas pundaknya, kemudian dia melangkah maju lagi. Setelah dua orang nona itu duduk di atas pundaknya, dia lebih lancar bergerak maju, tidak usah menjaga orang lain di sisinya seperti tadi.

Air sekarang sudah mencapai dadanya. Celaka, pikir Beng San. Kalau air itu makin dalam, bagaimana? Tentu saja dia dapat berenang, akan tetapi bagaimana dengan dua orang nona ini? Dengan berenang sukar kiranya membawa mereka itu.

la memutar-mutar otak mencari akal untuk menghadapi kemungkinan ini. Begini saja, pikirnya, untuk sementara kutinggalkan dulu mereka di tempat yang tidak dalam, kemudian aku berenang melalui tempat dalam mencari tempat berpijak lain yang dangkal.

Kemudian kubawa mereka seorang demi seorang menyeberangi ke tempat itu. Lalu pergi mencari lagi. Kukira dengan demikian akhirnya kita akan sampai juga ke seberang. la berbesar hati dan melanjutkan langkahnya, hati-hati agar jangan sampai tergelincir ke dalam lubang dalam.

“Hong-jiiiii…..!”

“Bwe-jiiiii…..!”

Suara panggilan ini terdengar keras, bergema sampai ke tengah rawa.

“Ayah memanggilku!” seru Kwa Hong gembira.

“Itu suara ayahku!” Thio Bwee juga berseru.

“Hong-ji! Bwee-ji! Kembalilah kesini, ayah kalian menanti disini!” terdengar suara Sian Hwa yang tinggi nyaring.

“Ah, semua orang sudah menyusul disana Beng San, hayo kita kembali saja. Ayah dan bibi sudah disana, kita sudah aman sekarang,” Kwa Hong mendesak.

“Betul, hayo antar aku kesana, Beng San. Ayah menanti disana,” kata pula Thio Bwee dengan gembira.

Hilanglah kekhawatiran dan ketakutan dua orang anak perempuan itu setelah mereka mendengar suara ayah mereka.

Beng San ragu-ragu.
“Tapi….. apakah tidak lebih baik terus saja mendahului dan menanti di rumah ? Jalan kembali lebih jauh…..”

“Eh, kau berani membantah? Kalau tidak mau antar, biar aku jalan sendiri!”

Kwa Hong merosot turun dari atas pundak Beng San, juga Thio Bwee. Dua orang anak ini mendadak timbul keberaniannya.







No comments:

Post a Comment