Ads

Saturday, September 15, 2018

Raja Pedang Jilid 060

Kurang lebih dua puluh li Jauhnya Kian Bi membawa lari dua orang anak perempuan itu. Akhirnya dia tiba di sebuah hutan yang berada di kaki Gunung Hoa-san sebelah utara.

Dalam hutan ini terdapat perkemahan yang besar dan terjaga kuat oleh tentara Mongol. Di tengah-tengah berkibar bendera Mongol yang ditandai gambar naga hitam. Para penjaga tertawa ketika melihat putera pangeran ini datang menggondol dua orang bocah perempuan yang mungil-mungil.

“Aduh, Souw-kongcu, kau mendapatkan dua tangkai bunga yang belum mekar? Sayang bunga-bunga masih kuncup dipetik,” demikian komentar seorang kepala jaga.

“Hush, diam kau? Kau tahu apa?” Souw Kian Bi membentak, akan tetapi mulutnya tersenyum sambil menurunkan Kwa Hong dan menotoknya pula. “Nih, kau bawa dua orang bocah mungil ini ke kamar di kemahku, jaga baik-baik jangan sampai lari atau ada yang menolongnya. Aku menggunakan mereka untuk memancing datangnya seseorang yang kunanti-nanti. Awas, penjagaan harus diperkuat di sebelah depan. Sebelah belakang boleh kalian kosongkan, karena takkan mungkin bocah-bocah itu lari melalui jalan belakang yang penuh dengan rawa.”

Setelah menyerahkan dua orang anak itu kepada penjaga yang segera membawa mereka ke tempat yang dimaksud, Souw Kian Bi memasuki perkemahan terbesar dimana berkumpul beberapa orang panglima dan tokoh-tokoh penting dalam usaha pembasmian Pek-lian-pai.

Sementara itu, hari telah menjadi gelap karena senja lewat terganti malam. Di dalam kemah terbesar itu dipasangi penerangan yang besar pula, terjaga kuat-kuat oleh belasan orang serdadu di sekelilingnya.

Souw Kian Bi memasuki kemah itu dari depan, langsung menuju ke dalam dimana terdapat ruangan yang lebar dan disini berkumpul lima orang mengelilingi sebuah meja. Hidangan arak dan makanan nampak mengebul di atas meja, dilayani oleh wanita-wanita cantik.

Ketika Kian Bi masuk, orang-orang itu segera berdiri dari tempat duduk masing-masing, kecuali seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam berkepala gundul dan berpakaian seperti seorang hwesio.

Hwesio tinggi besar ini acuh tak acuh, malah ketika Kian Bi memasuki ruangan dia segera menyumpit sepotong daging besar dan dimasukkannya ke dalam mulut, terus dikunyah sambil mengeluarkan suara seperti babi makan. Di dekat bangkunya bersandar sebuah dayung perahu yang amat besar, terbuat dari logam hitam kebiruan. Usia hwesio ini tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, mungkin sudah enam puluh, akan tetapi tubuhnya masih tetap tegap kuat, kepalanya yang licin belum nampak putih, sepasang matanya lebar bundar seperti mata kerbau.

Adapun empat orang yang lain adalah panglima-panglima Mongol yang bertugas mengadakan “pembersihan” di daerah ini terhadap para pemberontak, terutama orang-orang Pek-lian-pai.

“Souw-kongcu baru datang?” kata seorang diantara para panglima. “Silakan duduk. Kebetulan sekali, sambil makan-makan kami sedang berunding dengan Lo-suhu untuk mengambil sikap terhadap Hoa-san-pai.”

Hwesio tinggi besar itu melirik ke arah Souw Kian Bi, lalu mengeluarkan suara melalui hidung seperti orang mengejek, kemudian disusul suaranya yang kasar, parau dan keras,

“Souw-kongcu selalu pergi mencari kesenangan dengan perempuan. Kalau berlarut-larut, tugas bisa kacau kesehatan rusak dan menurun. Kau tersesat, Kongcu.”

Souw Kian Bi tertawa bergelak sambil menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi yang berhadapan dengan hwesio itu. Dengan lagak gembira dia menerima sebuah cawan arak yang dihidangkan oleh seorang nona pelayan manis sambil mencolek pipi pelayan itu, kemudian dia berkata.

“Losuhu, dalam bersenang saya tak pernah melupakan tugas. Kali ini saya berhasil membawa dua orang cucu murid Hoa-san-pai, perlu untuk memancing datangnya orang-orang Hoa-san-pai dan melihat bagaimana sikap mereka terhadap kita dan Pek-lian-pai.”

la lalu menjelaskan rnaksudnya yang merupakan siasat untuk menjauhkan Hoa-san-pai dari para pemberontak itu.

“Bagus sekali, Kongcu!”

Seorang komandan berseru girang memuji akal putera pangeran ini. Juga hwesio itu mengangguk-angguk akan tetapi karena otak-nya tidak biasa berpikir tentang hal yang ruwet-ruwet, dia lalu minum araknya dengan lahap.





Siapakah hwesio tua ini? Dia bukan lain adalah Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, seorang tokoh besar dari timur yang berilmu tinggi. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang besar, misalnya Hek-hwa Kui-bo, Song-bun-kwi dan Siauw-ong-kwi, juga seperti yang lain dia ingin mendapatkan Liong-cu Siang-kiam.

Begitu turun dari pertapaannya, dia bertemu dengan anak perempuan yang menangisi mayat Thio Sian tokoh Pek-lian-pai kemudian hwesio ini yang tertarik oleh bakat baik dalam diri anak perempuan itu, lalu membawa pergi anak itu bersama mayat Thio Sian. Anak itu bernama Thio Eng, puteri tunggal Thio Sian yang semenjak saat itu ia jadikan muridnya. Hal ini sudah dituturkan di bagian depan, yaitu ketika kakek hwesio yang membawa lari Thio Eng ini dilihat oleh Kun-lun Sam-hengte.

Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang adalah seorang sakti, akan tetapi dia amat jujur dan mudah sekali dihasut atau dibujuk orang. Akhirnya dia bertemu dengan putera pangeran yang bernama Souw Kian Bi ini. Souw Kian Bi yang amat licin dan cerdik segera dapat membujuk Swi Lek Hosiang untuk membantunya.

Memang sebelumnya dia sudah mengenal Swi Lek Hosiang yang dahulu adalah seorang sahabat dari pamannya, yaitu Lo-tong Souw Lee. Tentu pembaca masih ingat kepada Lo-tong Souw Lee, pencuri pedang Liong-cu Siang-kiam itu. Memang, Souw Lee bukanlah orang biasa, melainkan dia juga seorang bangsawan Mongol yang sakti dan yang tidak suka melihat kelakuan bangsanya menindas orang-orang Han. Oleh karena itu Souw Lee mencuri sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam dan melarikan diri.

Dalam percakapan ketika keduanya bertemu, Souw Kian Bi dengan cerdik menjanjikan bantuan kepada Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang untuk mencari Souw Lee yang masih terhitung saudara kakeknya, malah memberi janji bahwa kelak akan memberi kedudukan tinggi kepada Swi Lek Hosiang di depan kaisar.

Hwesio yang jujur tetapi kurang cerdik ini masuk dalam perangkap, apalagi ketika diceritakan tentang adanya pemberontakan-pemberontakan yang jahat dan yang mengacau rakyat, hwesio ini serta merta menjanjikan bantuannya.

Demikianlah sebab-sebabnya mengapa orang sakti ini sekarang berada di dekat Souw Kian Bi untuk membantu pemerintah Mongol menindas para pemberontak. Untuk keperluan ini, Swi Lek Hosiang ikut pergi ke Hoa-san dimana banyak tentara Mongol telah menjadi korban gempuran orang-orang Pek-lian-pai. Thio Eng yang sudah menjadi muridnya dia titipkan pada sebuah kelenteng di kota Tiong Kwan.

“Yang berbahaya adalah Lian Bu Tojin,” kata Souw Kian Bi sambil mengerling ke arah hwesio yang masih lahap makan daging dan arak itu. “Hoa-san Sie-eng sih mudah untuk menghadapinya, Ketua Hoa-san-pai itulah yang membikin khawatir, dia lihai sekali…..”

“Hemmm, berapa sih kuatnya Lian Bu Tojin? Tosu bau itu kalau betul memihak pemberontak dan mengacau, biar pinceng (aku) lawannya!” Suara Tai-lek-si Swi Lek Hosiang mengguntur.

“Saya bukan kurang percaya akan kepandaian Losuhu, akan tetapi tosu tua itu tak boleh dipandang sebelah mata. Pedang pusakaku sekali bertemu dengan tongkat bambunya patah menjadi dua. Wah, bukan main lihainya dia!”

Souw Kian Bi berkata memperlihatkan sikap kekhawatiran besar. Dia cerdik sekali, kata-kata dan sikapnya ini sengaja membakar hati kakek yang jujur dan polos itu.

“Suruh dia datang! Suruh ketua Hoasan-pai datang! Pinceng hendak melihat sampai dimana kelihaiannya!” Suara hwesio itu makin keras.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar kemah,
“Tai-lek-sin, tak perlu kau berteriak-teriak, pinto (aku) sudah datang!”

Suara ini lirih dan halus, akan tetapi terdengar dari dalam seolah-olah yang bicara berada di dalam ruangan itu.

“Nah, itu dia Hoa-san-pai ciangbujin (ketua),” bisik Souw Kian Bi, kini benar-benar dia ketakutan karena orang sudah bisa berada di luar kemah tanpa diketahui para penjaga, itu saja sudah membuktikan betapa lihainya orang yang datang ini.

Tak-lek-sin Swi Lek Hosiang menggerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pintu tenda. Angin pukulan menyambar dan pintu itu terbuka dengan sendirinya. la berkata sambil tertawa.

“Ketua Hoa-san-paikah yang datang? Harap masuk, pintu terbuka lebar-lebar!”

Semua orang memandang ke pintu yang terbuka. Cuaca di luar remang-remang karena malam hanya diterangi bintang-bintang. Dengan tenang berjalanlah kakek ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, masuk sambil bersandar pada tongkatnya. Di belakangnya bukan hanya Liem Sian Hwa yang mengikutinya, melainkan lengkap dengan Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng. Ternyata? Hoa-san Sie-eng sudah lengkap datang ke situ di belakang guru mereka! Bagaimana tiga orang murid Hoa-san-pai itu dapat muncul disaat itu?

Hal ini adalah suatu kebetulan belaka. Ketika Liem Sian Hwa dan kemudian Lian Bu Tojin melakukan pengejaran terhadap penculik Kwa Hong dan Thio Bwee, berlari turun dari puncak, di tengah jalan Sian Hwa dapat disusul gurunya dan pada saat itulah munculnya Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng yang sedang menuju ke puncak.

Tiga orang ini memang bersama datang untuk memenuhi janji dengan pihak Kun-lun-pai yang akan datang di Hoa-san. Dengan singkat mereka mendengar dari Sian Hwa bahwa Kwa Hong dan Thio Bwee diculik orang, maka cepat-cepat mereka lalu beramai melakukan pengejaran.

Demikianlah, sekarang Hoa-san Sie-eng lengkap empat orang mengiringkan guru mereka memasuki perkemahan barisan Mongol yang bermarkas di tempat itu.

Melihat Sian Hwa, putera pangeran itu memandang penuh kasih sayang dan tersenyum sambil berkata,

“Nona Sian Hwa, alangkah gembira hatiku bahwa kau sudah sudi datang menjenguk tempat kediamanku…..”

Sian Hwa sudah gatal-gatal mulut hendak memaki, akan tetapi oleh karena gurunya berada di situ, ia tidak berani membuka mulut mendahului suhunya, melainkan memandang dengan mata melotot penuh kemarahan. Adapun Lian Bu Tojin ketika menyaksikan bahwa Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang berada di situ, segera berkata.

“Siancai (seruan pendeta), kiranya Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang menjadi agul-agul disini. Tidak heran jika manusia she Souw ini berani bersikap kurang ajar dan tidak memandang mata kepada Hoa-san-pai…..”

Setelah berkata demikian dia mendekat ke arah hwesio tinggi besar itu dan melanjutkan kata-katanya dengan suara berubah keren,

“Tai-lek-sin, kalau kau dan teman-temanmu hendak memusuhi Hoa-san-pai, akulah orangnya yang bertanggung jawab. Kenapa manusia she Souw itu kau biarkan mengganggu dua orang cucu muridku?”

Tai-lek-sin tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Lian Bu Tojin tosu tua bangka. Pernahkah kau mendengar Tai-lek-sin manusia tiada guna seperti aku ini mengotorkan tangan mencampuri dunia? Hanya karena penjahat-penjahat merajalela, pemberontak-pemberontak macam Pek-lian-pai mengotori suasana dan mengganggu rakyat dan pemerintah, terpaksa pinceng turun tangan. Hoa-san-pai selamanya memiliki nama bersih, sayang sekali sekarang bersekongkol dengan Pek-lian-pai, terpaksa pinceng tidak dapat menyalahkan Souw-kongcu mengganggu cucu murid Hoa-san-pai!”

Lian Bu Tojin merasa dadanya panas sekali, akan tetapi kakek ini masih dapat menyabarkan hati, suaranya tetap lemah lembut ketika dia berkata.

“Bagus sekali sikapmu, hwesio! Sudah terang-terangan bahwa kau menjadi begundal pemerintah, hal itu bukanlah urusan pinto. Terserah siapa saja yang akan menjadi penjilat. Akan tetapi tuduhanmu bahwa Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai, sungguh tak berdasar sama sekali. Selamanya Hoa-san-pai tak pernah sudi bersekongkol dengan siapa saja, apalagi dengan Pek-lian-pai…..”

“Fitnah bohong!” tiba-tiba Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya. “Pek-lian-pai bahkan memusuhiku, membunuh ayahku…..”

“Sian Hwa, diamlah kau.” Lian Bu Tojin mencela muridnya yang segera diam dengan muka merah.

“Pinceng tidak tahu urusannya, akan tetapi kalau hendak jelas biarlah Souw-kongcu yang menerangkan.”

Hwesio itu kembali menghadapi hidangan di atas meja, makan minum tanpa pedulikan lagi orang-orang lain yang berada di situ. Para tamu itu kini menghadapi Souw Kian Bi yang berdiri sambil tersenyum tenang.






No comments:

Post a Comment