Ads

Saturday, September 15, 2018

Raja Pedang Jilid 059

Satu bulan sesudah Beng San bekerja di Hoa-san. la bekerja rajin, tidak saja menjaga bersih pondok tempat kediaman ketua Hoa-san-pai, juga taman bunga menjadi bersih dan terjaga baik setelah Beng San berada di situ.

Satu-satunya hal yang membuat dia sering kali merasa tersiksa adalah sikap Thio Ki dan Kui Lok. Dua orang anak ini masih saja benci kepadanya, dan setiap kali terdapat kesempatan, pasti kedua orang anak ini mengejeknya, memaki dan menyebutnya jembel busuk, setan cilik, dan lain-lain.

Thio Bwee yang pendiam tak pernah berterang menghinanya, akan tetapi pandang mata anak perempuan inipun selalu dingin dan selalu menghindarinya, seakan-akan memandang rendah.

Hanya Kwa Hong yang tidak berubah sikapnya. Anak perempuan ini tetap galak, lincah dan suka menggoda seperti dulu, akan tetapi sama sekali tidak pernah menghinanya. Hanya kadang-kadang kalau bertemu Kwa Hong suka menggoda.

“He, bunglon. Coba perlihatkan muka hijau!” Sambil tertawa-tawa, atau kadang-kadang berkata, “Bunglon, sudah lama tak pernah melihat muka hitammu!”

Beng San hanya tertawa saja kalau digoda oleh Kwa Hong, akan tetapi sekarang dia tidak berani lagi memaki “kuntilanak” setelah tahu bahwa anak ini adalah cucu murid terkasih dari Lian Bu Tojin. Terhadap Kui Lok dan Thio Ki pun Beng San bersikap sabar sekali. Sudah beberapa kali dua orang anak ini sengaja mencari-cari dan menantangnya, namun Beng San tidak mau melayaninya.

Pada suatu hari menjelang senja, karena pekerjaannya sudah habis, Beng San memasuki taman dengan maksud untuk beristirahat. la melihat empat orang anak itu sedang giat berlatih silat. Biasanya kalau mereka berlatih silat, dia hanya melihat dari Jauh saja, sama sekali tidak tertarik karena dia tahu bahwa kepandaian mereka itu sama sekali tidak ada artinya.

Selama beberapa bulan ini setelah latihan-latihan yang dia lakukan makin matang, dia merasa betapa mudah dia menguasai hawa dan tenaga dalam tubuh dan amat mudahnya dia mainkan ilmu-ilmu silat yang sudah dia pelajari. Terutama sekali Im-yang Sin-kiam-sut dapat dia mainkan dengan mudah dan tepat.

Penggunaan tenaga dalam dapat dia atur sekehendak hatinya. Semua ini adalah hasil dari latihan-latihan napas dan samadhi seperti yang diajarkan oleh Lo-tong Souw Lee. Dengan pandang matanya yang sudah tajam berkat tenaga dalamnya, Beng San dapat melihat betapa gerakan empat orang anak itu amat lemah dasarnya dan sungguhpun ilmu silat mereka indah dipandang, terutama ilmu pedangnya, namun dia anggap tidak ada gunanya dalam pertandingan.

Karena dia sudah memasuki taman, Beng San tidak mau keluar lagi dan malah duduk di atas sebuah batu hitam dekat kolam ikan, menonton mereka yang bersilat. Pada saat itu, Kwa Hong sedang bermain pedang. Sekali lirik saja gadis cilik ini melihat kedatangan Beng San dan aneh sekali, mendadak timbul di dalam pikirannya untuk bersilat lebih hebat.

la mempercepat gerakannya sehingga tubuhnya yang berpakaian merah itu melayang kesana kemari merupakan bayangan merah, diselingi berkelebatnya pedangnya yang bergerak menyambar-nyambar. Setelah ia berhenti bersilat, tiga orang kawannya bertepuk tangan memuji.

Beng San tak terasa lagi juga ikut bertepuk tangan karena harus dia akui bahwa permainan Kwa Hong itu betul-betul indah dipandang. Kwa Hong menoleh ke arah Beng San dan matanya berseri gembira, akan tetapi Kui Lok dan Thio Ki melirik ke arah kacung itu sambil berjebi mengejek.

“Dia tahu apa tentang ilmu silat?” kata Kui Lok.

“Seperti monyet saja. Orang lain bertepuk dia ikut bertepuk,” sambung Thio Ki.

“Dia memuji aku, apa salahnya?”

Kwa Hong berkata, agak marah. Dua orang anak laki-laki itu segera diam dan tidak mau mencela Beng San lagi.

Sementara itu Thio Bwee sudah meloncat maju dan bersilat pedang pula. Agaknya seperti juga Kwa Hong atau semua anak perempuan, Thio Bwee tidak terluput daripada sifat ingin dipuji. Pujian yang ia terima dari tiga orang kawannya sudah membosankan hatinya, sekarang terdapat Beng San disitu yang sudah memuji Kwa Hong, tentu saja iapun ingin memancing pujian.

Diam-diam Beng San memperhatikan. Dalam gerakan-gerakan ilmu pedang Hoa-san-pai itu, ternyata Kwa Hong jauh lebih mahir, lebih cepat dan lebih ringan gerakannya. Akan tetapi dalam gerakan menyerang, harus dia akui bahwa Thio Bwee ini lebih kuat, lebih ganas dan lebih berbahaya. Setelah Thio Bwee selesai bermain pedang, kembali Beng San tanpa ragu-ragu ikut memuji, malah berkata,





“Bagus…… bagus…..!”

Mendadak terdengar suara pujian lain,
“Bagus, bagus nona-nona kecil yang manis’.”

Ketika anak-anak itu menengok mereka melihat seorang laki-laki yang berpakaian indah berjalan menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum. Kemudian, sebelum anak-anak itu dapat menduga apa yang akan terjadi, laki-laki ini sudah meloncat ke depan dan sekali sambar saja dia sudah menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee dengan kedua tangannya dan mengempit pinggang dua orang anak perempuan itu.

Kwa Hong dan Thio Bwee tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berusaha untuk meronta dan memberontak, namun percuma, dalam kempitan yang amat kuat dari laki-laki itu mereka tidak mampu melepaskan diri. Kui Lok dan Thio Ki sudah dapat mengatasi kekagetan hati mereka. Dengan marah mereka mencabut pedang dan menerjang maju.

“Penjahat busuk, lepaskan mereka!” membentak, dua orang anak ini sambil menyerang dengan pedang.

Laki-laki itu tertawa bergelak, kedua kakinya bergerak cepat melakukan tendangan berantai dan tubuh Kui Lok dan Thio Ki terlempar, pedang mereka terlepas dari pegangan. Sambil tertawa-tawa orang itu lalu keluar dari taman dengan langkah yang amat cepat.

Dua orang gadis cilik itu tetap meronta-ronta di dalam kempitannya. Sebentar saja laki-laki itu lenyap dari situ, meninggalkan Kui Lok dan Thio Ki yang meringis dan mengeluh kesakitan ketika mereka merayap bangun.

Beng San sudah tidak kelihatan lagi bayangannya, entah kemana perginya anak itu. Namun tentu saja Kui Lok dan Thio Ki tidak menaruh perhatian terhadap Beng San, sebaliknya mereka lalu dengan wajah pucat berlari-lari memasuki pondok Lian Bu Tojin untuk melaporkan tentang penculikan itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Lian Bu Tojin, dan terutama sekali Sian Hwa.
“Bagaimana macamnya orang itu” tanya Lian Bu Tojin, sementara itu Sian Hwa sudah berkelebat keluar untuk melakukan pengejaran.

“Dia laki-laki pakaiannya indah…..,” kata Thio Ki yang masih gugup dan pucat.

“Masih muda wajahnya, tampan pesolek dan tersenyum-senyum?”

Ketika Kui Lok dan Thio Ki membenarkan, tahulah Lian Bu Tojin bahwa penculik dua orang muda cucu muridnya itu bukan lain adalah orang muda yang pernah mengganggu Sian Hwa dan yang mengaku bernama Souw Kian Bi. Ah, berbahaya kalau dibiarkan Sian Hwa mengejar sendiri, pikirnya.

Kakek ini sudah maklum akan kelihaian orang she Souw itu, maka terpaksa dia lalu bangkit dari tempat duduknya dan segera melakukan pengejaran sendiri, bukan saja untuk merampas kembali dua orang cucu muridnya, juga untuk menjaga keselamatan Sian Hwa.

Ketika kakek ini turun dari puncak, dia melihat beberapa orang muridnya, yaitu para tosu yang berjaga sudah menggeletak karena tertotok orang jalan darahnya. Ini membuktikan bahwa orang she Souw itu memasuki Hoa-san-pai dengan menggunakan kekerasan.

Dugaan Lian Bu Tojin memang tidak keliru. Laki-laki yang menculik Kwa Hong dan Thio Bwee itu memang bukan lain orang adalah orang yang pernah mengganggu Sian Hwa dan mengaku bernama Souw Kian Bi. Siapakah dia ini?

Souw Kian Bi bukanlah orang sembarangan. Dia ini sebetulnya seorang putera pangeran bangsa Mongol yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat nakal. Dengan mempergunakan kekuasaannya sebagai putera pangeran, ditambah dengan kepandaiannya yang tinggi, anak bangsawan yang menggunakan nama Han, yaitu Souw Kian Bi ini mengumbar nafsunya.

Dia seorang pemuda hidung belang, terkenal suka mengganggu anak isteri orang lain. Entah berapa banyaknya keonaran dia sebabkan, dan entah berapa banyak anak-anak dan isteri orang lain dia ganggu. Akan tetapi siapa berani menentangnya? Andaikata ada yang tidak takut menghadapi kedudukannya, setidaknya orang akan segan bermusuhan dengan putera pangeran yang tinggi ilmu silatnya ini.

Ayahnya seorang bangsawan Mongol, tentu saja mendengar tentang sepak terjang puteranya yang amat tercela itu. Maka dia lalu memanggil Souw Kian Bi, memaki-makinya habis-habisan, kemudian untuk menjaga kebersihan nama keluarganya, dia memerintahkan Souw Kian Bi untuk ikut bekerja guna pemerintah.

Karena Souw Kian Bi pandai silat, maka dia lalu diberi tugas untuk membantu pemerintah dalam membasmi pemberontak-pemberontak, terutama sekali dalam usahanya membasmi Pek-lian-pai.

Inilah sebabnya mengapa Souw Kian Bi sampai tiba di daerah Hoa-san, daerah yang dianggap menjadi tempat persembunyian sebagian daripada para pemberontak Pek-lian-pai.

Akan tetapi dasar pemuda bermoral rendah, di samping menjalankan tugasnya memimpin pasukan besar untuk menumpas pemberontak, Souw Kian Bi tak pernah melupakan kesenangannya. Di mana-mana, terutama di desa-desa, dia menggunakan kekuasaannya untuk menculik wanita-wanita cantik.

Akhirnya, seperti telah dituturkan di bagian depan, dia bertemu dengan Liem Sian Hwa. Kecantikan jago muda Hoa-san-pai ini membangkitkan semangatnya dan biarpun dia telah diusir oleh Lian Bu Tojin, namun hatinya masih penasaran kalau dia belum bisa berkenalan dengan Sian Hwa.

Selain ini, juga rombongannya menaruh curiga terhadap Hoa-san-pai dengan adanya kenyataan bahwa beberapa pasukan Mongol telah dihancurkan dan tewas di daerah ini. Maka sambil melakukan penyelidikan akan keadaan Hoa-san-pai, Souw Kian Bi sekalian mencari kesempatan untuk mendapatkan diri Liem Sian Hwa!

Ketika memasuki taman Hoa-san-pai dan melihat Kwa Hong dan Thio Bwee, timbul pikiran Souw Kian Bi untuk memancing keluar Sian Hwa. Kalau bukan untuk akal ini, kiranya dia takkan mau menculik dua orang bocah perempuan itu.

Souw Kian Bi memang tinggi kepandaiannya, maka biarpun dua orang bocah itu sudah mempelajari ilmu silat, di dalam kempitan kedua tangannya mereka tidak berdaya. Di samping ini, Souw Kian Bi masih mampu berjalan dengan cepat sekali, turun dari puncak melalui sebelah utara. Cepat dia meloncati jurang-jurang, mendaki batu-batu, nampak tubuhnya ringan dan enak saja melalui jalan yang sukar itu. Ketika sudah jauh dia berlari dan menengok ke belakang, dari jauh dia melihat bayangan seorang anak kecil melakukan pengejaran.

“Hemmm, sudah kutendang masih berani mengejar?”

Souw Kian Bi berpikir penasaran. la melepaskan Thio Bwee dan cepat menotok jalan darah anak ini sehingga menggeletak tak dapat bergerak lagi. Tangan kanannya yang kini bebas merogoh saku, mengeluarkan sebuah pelor besi. la menanti sampai bayangan anak yang mengejar itu agak dekat, lalu menyambit. Jelas sekali sambitannya ini, tepat mengenai sasaran karena anak itu roboh terguling.

Sambil tertawa-tawa Souw Kian Bi mengempit lagi tubuh Thio Bwee dengan tangan kanannya, lalu melanjutkan larinya. Siapakah bocah yang dia sambit tadi? Bukan lain adalah Beng San!

Beng San yang pada saat Souw Kian Bi menculik Kwa Hong dan Thio Bwee berada pula di taman, diam-diam melakukan pengejaran. Biarpun jalan itu sukar sekali, namun bagi Beng San yang sekarang bukan Beng San dahulu lagi, sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukanlah merupakan jalan yang sukar.

Akan tetapi dia sengaja tidak mau menyusul Kian Bi, hanya mengikuti dari jauh untuk melihat kemana dibawanya dua orang anak perempuan itu. la memang bermaksud menolong Kwa Hong dan Thio Bwee, akan tetapi secara diam-diam agar jangan diketahui orang bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian.

Ketika Souw Kian Bi menyerang dengan pelor baja yang disambitkan, tentu saja Beng San dapat melihat jelas datangnya pelor. Dengan mudah tangannya menyambar, menangkap pelor itu, akan tetapi dia pura-pura menggulingkan tubuh? agar jangan dicurigai lawan.

Benar saja, Kian Bi terpedaya dan mengira dia roboh binasa, tidak memeriksa lebih lanjut. Setelah Kian Bi melanjutkan larinya, Beng San mengejar lagi, kini berhati-hati sekali agar jangan kelihatan oleh orang yang dikejarnya.






No comments:

Post a Comment