Ads

Saturday, September 15, 2018

Raja Pedang Jilid 058

Para tosu masih bersikap mengancam. Beng San diam-diam mencatat pembelaan Kwa Hong atas dirinya ini di dalam hatinya. Betapapun juga, kuntilanak cilik ini tidak jahat, pikirnya. la diam saja, hanya menyusuti darah yang tadi mengalir dari lubang hidungnya dan membereskan pakaiannya yang koyak-koyak. Kebetulan sekali pada aaat itu, Lian Bu Tojin dan Sian Hwa datang memasuki taman. Mereka kaget melihat ribut-ribut di taman.

Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget dan cepat memeriksa dua orang anak keponakannya yang pingsan dengan mata mendelik. Lian Bu Tojin juga memandang heran. Setelah memeriksa sebentar, kakek ini bertanya dengan suara terheran-heran.

“Mereka pingsan karena terluka hawa pukulan sendiri yang membalik,” lalu menoleh kepada Kwa Hong dan Thio Bwee. “Apa yang telah terjadi disini?”

Beramai-ramai para tosu yang tadi menghalangi Beng San masuk dan Kwa Hong menceritakan asal mula kejadian itu. Bahwa Beng San memaksa naik ke puncak sampai memasuki taman dan betapa Koai Atong yang hendak membawa pergi Kwa Hong kaget dan lari ketakutan ketika melihat kedatangan Beng San. Kemudian Kwa Hong menceritakan betapa Thio Ki dan Kui Lok marah karena Beng San tidak mau pergi memukulinya.

“Bunglon….. eh, anak ini tidak melawan, Sukong. Teecu sudah mencegah kedua suheng memukulinya, akan tetapi mereka terus saja memukul. Akhirnya, entah bagaimana, keduanya malah roboh sendiri seperti itu.”

Setelah berkata demikian, Kwa Hong menoleh kepada Beng San yang kini berdiri menundukkan mukanya yang sudah berubah putih kembali, putih bersih dengan alisnya yang hitam lebat dan matanya yang seperti mata harimau.

Lian Bu Tojin menghampiri dua orang muridnya. Dengan beberapa kali mengurut punggung mereka, dua orang anak itu waras kembali, bangun dengan muka kemerahan. Lian Bu Tojin memandang mereka dengan muka keren, membuat dua orang anak itu tunduk ketakutan.

Kemudian Lian Bu Tojin menghampiri Beng San, untuk beberapa menit lamanya dia menatap wajah anak itu dan amat terheran-heran menyaksikan sinar mata yang luar biasa dari anak jembel yang berdiri di depannya.

“Kau siapakah, anak muda?”

Pertanyaan kakek ini halus akan tetapi berpengaruh sedangkan pandang matanya tajam menembus jantung. Hal ini dirasakan oleh Beng San ketika dia mengangkat muka. Cepat-cepat dia menundukkan pandang matanya agar jangan sampai kakek itu dapat membaca rahasia hatinya.

“Nama teecu Beng San,” Jawabnya sederhana.

“Apa nama keturunanmu?”

“….. nama keturunan? Hemmm, she (nama keturunan) teecu (aku) adalah….. Huang-ho (Sungai Kuning).”

“Apa?” Lian Bu Tojin mengerutkan keningnya. “Di dunia ini, mana ada orang bernama keturunan Huang-ho?”

“Teecu hanya tahu bahwa teecu terbawa hanyut Sungai Huang-ho, karena itu teecu tidak tahu lagi siapa orang tua dan siapa pula she, teecu mengambil keputusan untuk memakai nama keturunan Huang-ho saja. Jadi nama teecu Huang-ho Beng San.”

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk, mengelus-elus jenggot dan diam-diam dia memuji sikap anak ini yang dari kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang anak yang tahu akan sopan santun.

“Kenapa Koai Atong lari, tunggang-langgang melihatmu?”

“Siapa itu Koai Atong, Totiang? Teecu tidak mengenalnya”

“Orang tinggi besar yang tadi lari ketakutan melihatmu. Apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?”

Beng San menggelengkan kepala.
“Teecu tidak merasa pernah bertemu dengan orang tadi.”

Kembali Lian Bu Tojin mengelus jenggot, sedangkan Sian Hwa, Kwa Hong dan tiga orang temannya, juga para tosu yang berada disitu, mendengarkan dengan heran. Bocah ini benar-benar aneh.





“Ketika kau dipukuli dua orang anak nakal ini, dengan cara bagaimana kau bisa mengembalikan tenaga dan hawa pukulan mereka? Pernahkah kau belajar silat?”

Kembali Beng San menggelengkan kepala.
“Teecu tidak tahu, tidak bisa silat”

Lian Bu Tojin menoleh kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri sambil tunduk. Kening kakek ini berkerut.

“Kalian ini anak-anak nakal sungguh tak tahu malu. Mengeroyok dan memukuli seorang anak yang tidak pandai silat? Apakah hal itu termasuk perbuatan gagah? Sungguh memalukan kalian ini. Dan katakanlah, apa sebabnya kalian tadi roboh pingsan?”

Kui Lok tidak berani menjawab, Thio Ki juga hanya melirik kepadanya. Setelah Lian Bu Tojin membentak dan mendesak, baru Thio Ki menjawab lirih.

“Tidak tahu, Sukong. Tahu-tahu teecu sudah sadar tadi. Entah apa sebabnya teecu bisa pingsan.”

Sian Hwa merasa kasihan melihat murid-murid keponakannya, maka ia berkata.
“Suhu, apakah tidak bisa jadi karena terlampau marah, mereka tidak mengatur tenaga dan hawa kemarahan menyesak ke dada sehingga ketika mereka memukul, tenaga pukulan terpental oleh hawa yang menyesak di dada sendiri itu?”

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk.
“Mungkin begitu. Tapi hal ini termasuk hal yang luar biasa sekali.” Ia menoleh kepada Beng San. “Apakah badanmu sakit-sakit dipukul tadi? Coba kuperiksa, barangkali kau terluka parah, kalau begitu akan kuobati sampai sembuh.” tanpa menanti jawaban Lian Bu Tojin menyodorkan tangannya dan meraba pundak Beng San.

Anak ini merasa betapa dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar semacam tenaga dahsyat yang menyerang pundaknya. la kaget sekali dan hampir saja dia mengerahkan tenaga. Baiknya dia seorang yang cerdik. Biarpun dia belum perpengalaman, namun pengertiannya dalam ilmu silat tinggi yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee sudah cukup. la mengerti bahwa dirinya diuji, maka segera dia mengumpulkan semangatnya, memaksa diri diam agar hawa di tubuhnya jangan bergerak.

Lian Bu Tojin mendapat kenyataan dari rabaan tangannya pada pundak anak itu bahwa memang anak itu kosong tubuhnya, tidak memiliki tenaga dalam maka lenyaplah kecurigaannya bahwa cucu-cucu muridnya roboh oleh penggunaan tenaga dalam yang luar biasa. la tertawa sambil melepaskan tangannya.

“Ha, kau tidak apa-apa, tidak terluka. Beng San, sekarang ceritakan, apa kehendakmu datang ke Hoa-san mencari pinto.”

“Teecu datang membawa sepucuk surat dari sahabat lama Totiang. Inilah suratnya.”

Beng San menyerahkan surat tulisan Lo-tong Souw Lee dengan mengucapkan kata-kata seperti yang dipesan oleh kakek itu. Memang kakek tua itu memesan kepadanya agar jangan mengucapkan namanya di depan Lian Bu Tojin.

Lian Bu Tojin tersenyum dan menerima surat itu. Jantung kakek ketua Hoa-san-pai ini berdetak keras ketika dia melirik ke arah nama pengirim surat itu akan tetapi kekuatan batinnya yang sudah tinggi itu membuat wajahnya tetap tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan keadaan hatinya.

Siapa orangnya tidak akan berdetak keras jantungnya ketika membaca nama Lo-tong Souw Lee? Nama besar Souw Lee dikenal oleh semua orang kang-ouw setelah perbuatannya yang menggemparkan, yaitu setelah dia mencuri sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam yang diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia persilatan.

Dia sendiri, sebagai ketua Hoa-san-pai, tentu saja merasa malu untuk ikut memperebutkan senjata pusaka lain orang, apalagi dengan Souw Lee dia dahulu waktu mudanya pernah menjadi sahabat yang amat baik.

Dengan tenang Lian Bu Tojin membaca surat itu. Di dalam suratnya itu, Lo-tong Souw Lee minta pertolongan ketua Hoa-san-pai agar suka melindungi Beng San daripada ancaman marabahaya.

“Anak ini yatim piatu,” tulis Lo-tong Souw Lee, “aku amat kasihan dan suka kepadanya. Mungkin karena kenal denganku, jiwanya terancam oleh orang-orang jahat. Harap kau lindungi dia sampai saat aku mati dan dia terbebas dari ancaman orang yang hendak memaksanya membawa mereka kepadaku.”

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. la mengerti akan maksud Lo-tong Souw Lee. Agaknya anak ini dikasihi kakek itu dan karena anak ini berkenalan dengan Souw Kian Lee, sangat boleh jadi orang-orang kang-ouw akan menculiknya dan memaksanya menunjukkan dimana tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee.

“Beng San, sudah lamakah kau kenal dengan penulis surat ini?” tanyanya sambil menyimpan surat itu ke dalam saku jubahnya.

“Belum lama, Totiang, baru beberapa bulan,” jawab Beng San sejujurnya.

“Jadi kau tidak tahu tempatnya, ya? Bagus, kau tidak tahu tempatnya,” kata ketua Hoa-san-pai ini, membuat Beng San terheran-heran.

Akan tetapi anak yang cerdik ini segera maklum akan maksud Lian Bu Tojin. Tentu kakek ini memperingatkan kepadanya agar supaya dia tidak mengaku tahu tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee kepada siapapun juga. Maka dia mengangguk dan menundukkan mukanya.

“Apa kau suka belajar silat? Kulihat kau berbakat untuk belajar ilmu silat. Kau boleh belajar dari para tosu murid-murid pinto.”

Beng San berpikir. Apa artinya mempelajari ilmu silat lain? Ilmu-ilmu yang sudah dia hafalkanpun belum matang dia latih. Pula, kalau dia belajar ilmu silat Hoa-san-pai, berarti dia menjadi murid Hoa-san-pai dan ada bahayanya akan diketahui orang rahasianya apabila dia bergerak dalam bermain silat.

“Teecu lebih senang mempelajari ujar-ujar kuno dan filsafat-filsafat, dalam hal ini mohon petunjuk Totiang.”

Lian Bu Tojin menggerak-gerakkan alisnya saking herannya. Dimana di dunia ini ada seorang anak belasan tahun umurnya ingin mempelajari filsafat kebatinan?

“Pernahkah kau mempelajari kebatinan?” tanyanya.

“Teecu pernah bekerja sebagai kacung di dalam kelenteng besar dan para losuhu yang baik dari kelenteng itu kadang-kadang mengajar teecu membaca kitab-kitab kuno.”

“Bagus kaiau begitu. Beng San, mulai sekarang kau kuserahi tugas menjaga kebersihan pondok pinto dan di waktu senggang kau boleh mempelajari filsafat tentang Agama To.”

Beng San menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Lian Bu Tojin mengangguk-angguk dan mengajak anak itu memasuki pondoknya untuk memberi petunjuk tentang tugas pekerjaannya.

Ketika Beng San bangkit berdiri, dia menoleh ke arah Kwa Hong dan tersenyum ramah. Tidak terlupa olehnya betapa tadi Kwa Hong membelanya ketika dia dipukuli dua orang jago cilik murid Hoa-san-pai itu.

Juga dia mengerling manis ke arah Thio Bwee yang tadi pun berusaha mencegah Thio Ki. Akan tetapi dia melihat betapa dua pasang mata jago cilik itu memandang kepadanya penuh kebencian.

**** 058 ****





No comments:

Post a Comment