Ads

Saturday, September 15, 2018

Raja Pedang Jilid 057

“Anak setan, tak boleh masuk kesana!”

Agaknya anak yang masuk itu tadi dapat meninggalkan para tosu yang sekarang mengejarnya.

Anak ini bukan lain adalah Beng San! Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Beng San sampai di kaki gunung Hoa-san dan bertemu dengan Tan Hok dan teman-temannya, para anggauta Pek-lian-pai.

Setelah berpisah dari Tan Hok, dia segera mendaki gunung itu menuju ke puncak. Beberapa orang tosu melarangnya naik, akan tetapi Beng San berkeras hendak bertemu dengan ketua Hoa-san pai. Anak ini ketika dihalangi lalu berlari menyelinap cepat sampai. para tosu itu tertinggal jauh dan mengejar terus. Akhirnya dia memasuki taman bunga itu.

Melihat betapa seorang gadis cilik ditarik-tarik seorang laki-laki tinggi besar, hati Beng San menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak mengenal Kwa Hong, juga tidak mengenal Koai Atong sungguhpun pernah dia bertemu dengan kedua orang ini. Dengan langkah lebar dia menghampiri Koai Atong yang masih berkutetan dengan Kwa Hong, memegang lengan Koai Atong sambil berkata keras.

“Seorang laki-laki dewasa menyeret-nyeret seorang anak perempuan kecil, sungguh tak patut. Memalukan sekali!”

Suara Beng San amat nyaring sampai terngiang di telinga. Tidak hanya Koai Atong yang kaget, juga Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok terkejut, menoleh dan memandang.

Tiba-tiba Koai Atong melepaskan pegangannya pada lengan Kwa Hong, tubuhnya menggigil, wajahnya yang merah berubah pucat sekali, matanya melotot lebar, mulutnya ternganga dan dia berdiri seperti orang terserang demam. Tangan kanannya dengan telunjuk menggigil menuding ke arah Beng San, mulutnya mengeluarkan suara tidak karuan, akan tetapi masih dapat ditangkap oleh anak-anak itu.

“Ssseeeee….. sssssetannn….. setan…..!” Tiba-tiba dia meloncat jauh dari situ, lalu lari sekerasnya sambil memekik-mekik, “Setan! Dia roh jahat….. hidup lagi….. aduh setan….. ampunkan aku…..!” Sebentar saja Koai Atong sudah tidak tampak lagi bayang-bayangnya.

Tentu saja Beng San terlongong keheranan. la tidak tahu bahwa dahulu dalam keadaan tidak sadar karena menelan pil buatan Siok Tin Cii, dia dipukul dan dilukai oleh Koai Atong yang menggunakan Jing-tok-ciang dan anak tua itu menyangka bahwa dia sudah tewas.

Tentu saja sekarang tiba-tiba Beng San dengan mukanya merah kehitaman berdiri di depan kakek yang berwatak anak-anak ini membuat Koai Atong ketakutan setengah mati dan membuat dia lari tunggang-langgang, tak berani lagi kembali ke Hoa-san!

Kwa Hong dan teman-temannya juga terkejut ketika melihat seorang anak laki-laki berdiri di situ, pakaiannya compang-camping, kakinya tidak bersepatu, rambutnya kusut dan mukanya merah kehitaman.

Muka Beng San menjadi merah karena dia tadi marah melihat Koai Atong menarik-narik tangan Kwa Hong. Mukanya merah hitam, matanya tajam seperti mata harimau, benar-benar merupakan seorang anak yang aneh dan patut kalau dianggap setan.

Akan tetapi Kwa Hong segera mengenal Beng San. la melangkah maju dan memperhatikan muka Beng San sementara itu telah mulai berubah, lenyap warna merah hitam menjadi putih bersih kembali akan tetapi perlahan-lahan berubah pula menjadi kehijauan.

Hal ini adalah karena sepasang mata Kwa Hong sudah mengenalnya, dan ia merasa agak malu berhadapan dengan empat orang anak-anak yang berpakaian indah-indah dan bersikap gagah ini.

“Eh, kaukah ini? Kau….. bunglon?”

Kwa Hong menegur sambil tertawa geli. Setelah mendengar suara Kwa Hong, baru Beng San teringat bahwa gadis cilik baju merah inilah yang dulu pernah bercekcok dengannya di dalam hutan. lapun tersenyum dan berkata.

“Kiranya kau disini….. kuntilanak!”

Kui Lok dan Thio Ki menjadi merah mukanya. Mereka memandang kepada Beng San dengan mata melotot, marah sekali mereka mendengar betapa anak jembel ini memaki Kwa Hong kuntilanak. Benar-benar kurang ajar sekali! Pada saat itu para tosu yang mengejar Beng San, empat orang jumlahnya, sudah tiba disitu dan mereka berteriak-teriak.





“Penjahat cilik itu jangan sampai terlepas! Di larang masuk kesini!”

“Aku mau berjumpa dengan Lian Bu Tojin,” bantah Beng San.

Akan tetapi Kui Lok dan Thio yang sudah marah sekali, melihat para tosu marah-marah kepada anak jembel itu, menjadi makin berani. Keduanya lalu melangkah maju dan memaki,

“Jembel busuk hayo pergi dari sini!”

Beng San tenang-tenang saja, memandang kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri angkuh di depannya.

“Aku tidak mau pergi kalau belum bertemu dengan Lian Bu Tojin.”

“Keparat! Kau minta dipukul?” bentak Thio Ki marah.

Beng San tertawa dan menggeleng kepalanya.
“Siapa yang minta dipukul? Aku tidak! Aku mau bertemu dengan Lian Bu Tojin.”

“Macammu ini mau bertemu dengan sukong? Sukong terlalu mulia untuk bertemu dengan segala jembel busuk. Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, akan kupukul!” kata Kui Lok galak.

Beng San melengak heran.
“Kalian ini cucu murid Lian Bu Tojin? Ah, kalau begitu aku salah alamat. Orang bilang Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai seorang mulia hatinya, dan bahwa orang-orang Hoa-san-pai adalah orang-orang gagah. Kiranya murid kecilnya begini galak.”

Kui Lok dan Thio Ki adalah keturunan orang-orang gagah, maka ucapan itu merupakan tamparan bagi mereka.

“Kau yang kurang ajar!” bantah Thio Ki membela diri. “Kau berani memaki kuntilanak kepada Hong-moi. Kurang ajar kau!”

Beng San menoleh kepada Kwa Hong sambil tertawa kecil.
“Dia memang kuntilanak. Tanyakan saja kepadanya, kami berkenalan sebagai bunglon dan kuntilanak. Betul tidak begitu, kuntilanak?”

Kwa Hong membanting kakinya yang kecil.
“Bunglon! Kadal monyet kau! Aku bukan kuntilanak!”

“Aku juga bukan bunglon, kadal atau monyet!” bantah Beng San marah.

“Tapi mukamu berubah-ubah seperti bunglon, kau masuk selongsong ular seperti kadal, rupamu buruk cengar-cengir seperti monyet!” maki Kwa Hong dengan muka merah saking marahnya.

“Kau pun galak dan mukamu buruk seperti kuntilanak…..”

“Plakkk!” tangan Kwa Hong melayang dan pipi kiri Beng San telah ditamparnya.

Beng San terhuyung mundur. Pada saat itu, Kui Lok dan Thio Ki sudah menubruk maju dan menghujani tubuh Beng San dengan pukulan-pukulan keras. Beng San terhuyung-huyung dan roboh.

Anak ini memang selama meninggalkan tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, mentaati perintah kakek itu dan tidak pernah mau mempergunakan kepandaiannya. Maka ketika ditampar kemudian dipukuli dia diam saja, “menyimpan” tenaga dalam tubuhnya dan membiarkan dirinya dipukuli. la merasa kulit dada dan mukanya sakit-sakit.

“Aku mau bertemu dengan Lian Bu Tojin, jangan pukul aku…..” ia berkata.

Akan tetapi dua orang jago muda itu tidak mau memberi ampun lagi kepada-nya. Thio Ki memukul lagi ketika Beng San mencoba untuk berdiri, pukulan keras mengenai leher Beng San membuat anak itu terpelanting roboh. Kui Lok lalu menubruknya, menduduki dadanya dan memukuli muka Beng San dengan kedua tangan. Kedua pipi Beng San sampai bengkak-bengkak terkena pukulan ini.

“Hayo, kau minta ampun dan berjanji mau pergi dari sini!” kata Kui Lok terengah-engah, menghentikan pukulannya.

Beng San hanya menggeleng kepala-nya.
“Aku mau bertemu dengan Lian Bu…..”

Tak dapat dia melanjutkan kata-katanya karena hidungnya dipukul Kui Lok sampai keluar darahnya.

“Lok-te, biar kugantikan engkau!”

Thio Ki menarik Kui Lok pergi dan menjambak rambut Beng Sang, menarik anak ini berdiri lalu memukul ke arah dada.

“Blukkk!”

Tubuh Beng San terlempar sampai dua meter lebih. Thio Ki mengejar, menjambak rambut lagi mendirikan Beng San lalu dipukul lagi lebih keras. Pakaian Beng San yang sudah cobak-cabik itu makin rusak, koyak-koyak disana-sini.


“Sudah, Ki-ko, Lok-ko, jangan pukul lagi!”

Kwa Hong maju mencegah. Tak tega ia melihat Beng San dipukuli seperti itu. Juga Thio Bwee maju mencegah kakaknya. Akan tetapi para tosu dengan tertawa lebar memuji-muji kepandaian dua orang kongcu muda itu dan berkata menganjurkan.

“Pukul terus! Pukul sampai dia mau minta ampun.”

“Hayo lekas berlutut minta ampun” teriak Kui Lok dan Thio Ki berganti-ganti sambil memukul terus.

Sesabar-sabarnya orang, apalagi seorang anak kecil seperti Beng San, kalau didesak terus seperti itu dan disiksa, akhirnya tak kuat juga menahan. Sakit pada tubuhnya bukan apa-apa baginya karena dia sudah sering kali menderita sakit. Akan tetapi sakit pada hatinya yang lebih berat ditanggung. Mukanya yang tadinya kehijauan sekarang sudah mulai menjadi merah kehitaman, tanda bahwa dia tak dapat lagi menahan kemarahannya.

Pada waktu itu, Kui Lok memegang tangan kirinya, sedangkan Thio Ki memegang tangan kanannya, keduanya memukul dari kanan kiri sambil membentak-bentak memaksa dia berlutut minta ampun.

Karena tak dapat menahan lagi kemarahannya, tenaga mujijat dalam tubuh Beng San bekerja, hawa Yang di tubuhnya membuat mukanya kehitaman itu menolak pukulan-pukulan dari kanan kiri. Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan, Kui Lok sehabis memukul terguling roboh, disusul Thio Ki yang juga roboh setelah memukul leher Beng San. Kedua orang anak itu roboh dan pingsan dengan mata mendelik dan mulut berbusa!

Bukan main kagetnya Kwa Hong dan Thio Bwee. Mereka melihat jelas betapa dua orang jago muda itu yang memukul, kenapa tahu-tahu roboh pingsan dengan mata mendelik? Para tosu juga melihat ini dan mereka yang percaya akan tahyul menjadi ketakutan.

“Dia benar setan…… dia iblis jahat….. celaka…..!”

Para tosu itu cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan siap hendak mengeroyok Beng San.

“Supek sekalian, jangan turun tangan!” Kwa Hong meloncat mencegah. “Biar sukong nanti yang memutuskan urusan ini.”






No comments:

Post a Comment