Ads

Saturday, September 15, 2018

Raja Pedang Jilid 056

Lian Bu Tojin menggerakkan tongkatnya dan tahu-tahu pedang yang terbang itu sudah tertempel oleh tongkat bambunya. Sedangkan Souw Kian Bi melangkah maju mendekati Sian Hwa sambil cengar-cengir dan berkata,

“Nona manis, apakah sekarang kau masih belum mau mengaku kalah padaku? Apakah dengan kepandaianku kau masih menganggap tak pantas kalau aku menjadi sahabat baikmu?”

Sian Hwa merasa malu sekali. Dengan kemarahan yang membuat dadanya seolah-olah akan meledak, ia menerjang maju, menghantam kepalan tangan kanannya ke dada pemuda itu. Souw Kian Bi cepat mengelak sambil tertawa dan berkata,

“Sayang tanganmu yang halus kalau sampai mengenai dadaku, Manis.”

Sekali lagi dia mengelak ketika pukulan ke dua datang dan kini sambil mengelak dia mempergunakan tangan kirinya untuk mencekal pergelangan tangan kanan Sian Hwa. Gerakan ini amat cepatnya dan sekali melihat saja Lian Bu Tojin tahu? bahwa pemuda itupun mahir sekali akan ilmu tangkap dan ilmu cengkeram semacam Eng-jiauw-kang. Sian Hwa kaget sekali karena percuma saja ia berusaha melepaskan tangannya.

“Orang muda, jangan kurang ajar. Lepaskan!”

Tiba-tiba Lian Bu Tojin melangkah maju untuk mencegah kekurang-ajaran pemuda itu terhadap muridnya.

Akan tetapi Souw Kian Bi hanya tertawa. Mana dia mau memandang mata ,kepada kakek tua ini? Sambil tangan kiri masih memegangi tangan Sian Hwa, pedang di tangan kanannya bergerak ke arah dada Lian Bu Tojin dan dia membentak.

“Tosu bau jangan ikut campur. Menggelindinglah kau!”

Tetapi kali ini dia salah hitung. Pedangnya yang meluncur ke arah dada tosu tua itu tiba-tiba bertemu dengan tongkat bambu, pedangnya menggetar-getar dan…..

“krakkk!” pedang itu patah menjadi dua, tubuhnya sendiri menggigil, pegangannya pada tangan Sian Hwa terlepas dan dia masih terhuyung-huyung ke belakang lima enam tindak. Mukanya menjadi pucat sekali.

“Kau….. kau siapakah…..?” ia memandang kepada kakek tua itu dengan mata terbelalak.

Lian Bu Tojin tidak menjawab, hanya berdiri tegak sambil memandang dengan tajam. Souw Kian Bi menggerak-gerak-kan biji matanya, memandangi kakek itu dari atas ke bawah. Agaknya jenggot panjang dan tongkat bambu itu yang menarik perhatiannya dan membuat dia dapat menduga siapa yang berhadapan dengannya.

“Ah, kiranya Totiang adalah Lian Tojin sendiri? Pantas saja aku tak dapat melawannya. Kiranya ketua yang terhormat dari Hoa-san-pai sendiri yang turun tangan!”

Ucapan ini merupakan sindiran hebat. Memang sebetulnya amat memalukan bagi Lian Bu Tojin, seorang ciangbunjin (ketua) dari partai besar harus turun tangan sendiri menghadapi seorang muda seperti Souw Kian Bi! Mau tak mau kedua pipi kakek itu menjadi merah. Pemuda ini ternyata bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat tajam kata-katanya.

“Orang she Souw,” katanya sabar “murid-muridku sedang turun gunung maka tidak ada yang menyambutmu sehingga terpaksa pinto sendiri menjenguk kesini. Tak tahu apakah yang menjadi sebabnya maka engkau mengacau disini?”

Souw Kian Bi tertawa mengejek.
“Siapa mengacau? Aku lewat disini, bertemu Nona ini, tertarik dan ingin bersahabat, apa salahnya? Sudahlah, lain kali dia tetap akan menjadi sahabat baikku…..”

Setelah berkata demikian pemuda itu membalikkan tubuhnya dan pergi. Sian Hwa yang masih marah sekali cepat rmenyambar pedangnya yang tadi terpukul jatuh, hendak mengejar. Akan tetapi gurunya mencegahnya.

“Jangan kejar, Sian Hwa. Kulihat orang itu bukan orang sembarangan. Sudah jelas bahwa dia itu dari utara. Akan tetapi mengapa sengaja datang mengacau Hoa-san-pai? Hemmm, kita harus berhati-hati, makin banyak saja musuh-musuh rahasia yang hendak memusuhi kita.”

Kakek ini lalu mengajak semua muridnya naik ke puncak Hoa-san lagi sambil memesan kepada para muridnya yang menjadi tosu agar supaya mulai saat itu melakukan penjagaan yang kuat siang malam, akan tetapi tidak boleh lancang turun tangan menyerang orang luar.





Kalau di kaki Gunung Hoa-san terjadi hal yang aneh ini, di puncak Hoa-san terjadi pula hal yang ganjil. Pada waktu Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok sedang berlatih silat di dalam taman bunga.

Antara Thio Ki dan Kui Lok jelas sekali terjadi perlombaan, bukan hanya untuk kemajuan ilmu silat, akan tetapi terang sekali keduanya berlomba untuk bersikap manis kepada Kwa Hong. Keduanya memiliki watak yang hampir sama, yaitu gagah dan tabah, akan tetapi keduanya juga angkuh sekali.

Mungkin hal ini timbul karena mereka merasa menjadi putera-putera pendekar Hoa-san-pai. Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga tampak sifat angkuh ini dan merasa seakan-akan mereka adalah anak-anak orang gagah yang berbeda dengan anak-anak lain. Hanya Kwa Hong seorang yang wataknya tetap lincah jenaka, galak akan tetapi tidak angkuh.

Pada saat itu, tiba giliran Kui Lok untuk bersilat pedang disaksikan oleh tiga orang temannya. Kui Lok benar-benar memiliki bakat yang amat baik. Selama beberapa bulan ini kepandaiannya sudah meningkat banyak, ketika dia bersilat tidak saja gerakan pedangnya mantap dan kuat, akan tetapi juga cepat sekali. Tentu saja dia bersilat pedang dengan tangan kiri, karena memang dia lebih pandai mempergunakan tangan kirinya daripada tangan kanannya. Setelah dia selesai bersilat, Kwa Hong bersorak.

“Bagus sekali Lok-ko (kakak Lok), kepandaianmu benar-benar sudah maju pesat!” ia memuji dengan sejujurnya.

Juga Thio Bwee mengangguk-angguk membenarkan pujian Kwa Hong. Akan tetapi, pujian itu tidak menyenangkan hati Thio Ki.

“Sayangnya pedang itu dimainkan tangan kiri, jadi tentu saja kurang kuat dan kurang tepat seperti kalau dimainkan tangan kanan,”

Thio Ki berkata dengan lagak seakan-akan seorang yang lebih pandai menilai permainan orang yang lebih rendah tingkatnya.

Ucapan ini diterima oleh Kui Lok dengan muka merah. la merasa disindir dan ditegur karena sifat tangannya yang kidal.

“Biarpun dengan tangan kiri kurasa tidak kalah oleh permainan pedang tangan kanan,” jawabnya sambil menatap wajah Thio Ki penuh tantangan.

“Phuah…..!” Thio Ki mengejek, membuang muka.

“Phuah…..!” Kui Lok juga mengeluarkan suara mengejek.

Thio Ki naik darah, dirabanya gagang pedang di punggungnya.
“Kalau begitu, mari kita buktikan, siapa lebih pandai, si tangan kanan atau si tangan kidal!”

“Begitu? Baiklah, tapi kau yang menantang, saudara Ki, bukan aku!” Kui Lok menjawab, pedangnya siap ditangan kiri.

Kwa Hong memperhatikan kejadian ini dengan mata berseri.
“Baik sekali begitu!” ia bersorak. “Gembira sekali kalau diadakan pibu persaudaraan.”

Yang dimaksudkan dengan pibu (adu kepandaian silat) adalah pertandingan untuk menentukan siapa kalah siapa menang.

“Dari pada setiap hari kalian bercekcok saja tentang tingkat kepandaian, lebih baik diputuskan dengan bukti.”

Dua orang anak laki-laki itu sekarang sudah berhadapan dengan pedang di tangan. Thio Bwee membelalakkan matanya yang lebar, penuh kekhawatiran.

“Jangan!” teriaknya memohon. “Bagaimana kalau ada yang terluka? Sukong akan marah sekali.”

Kwa Hong tertawa dan melangkah di antara dua orang jago muda itu.
“Kalian ini sudah bernafsu untuk saling serang,” godanya, “Jangan begitu, ah! Kita ini kan saudara-saudara seperguruan. Masa mau main tusuk dengan pedang.”

“Habis bagaimana untuk menentukan Siapa lebih unggul?” tanya Kui Lok.

“Biarkan saja, Hong-moi (adik Hong). Lok-te (adik Lok) ini sombong sekali, tidak mau mengalah terhadap aku yang lebih tua,” kata Thio Ki.

“Mana bisa saudara seperguruan saling hantam? Kalau diketahui sukong, apa kau kira aku tidak ikut dipersalahkan? Aku tidak mau! Kalau kalian berkelahi, pergilah jauh-jauh dari sini agar aku tidak terbawa-bawa,” kata Kwa Hong.

Dua orang anak laki-laki itu saling pandang. Mereka ingin memperlihatkan di depan Kwa Hong bahwa mereka gagah dan tidak kalah oleh yang lain. Sekarang Kwa Hong tidak mau melihat mereka mengadu kepandaian, untuk apa mereka lanjutkan? Akan tetapi kalau tidak pergi mencari tempat lain, juga dapat dianggap takut atau pengecut.

Kwa Hong yang melihat keraguan mereka lalu tertawa.
“Sudahlah, simpan pedang kalian. Kalau mau menentukan siapa yang lebih unggul, mudah saja. Kalian pergunakan ranting yang tidak berbahaya, aku akan menyediakan tinta. Ujung ranting diberi tinta dan ranting itu dimainkan seperti ujung pedang. Siapa yang lebih dulu terkena tinta bajunya dialah yang kalah.”

Usul ini didukung oleh Thio Bwee yang tentu saja juga tidak menghendaki pertempuran sungguh-sungguh antara kakaknya dan Kui Lok. Dua orang anak itupun setuju dan masing-masing mencari sebatang ranting yang lembek.

Segera mereka membasahi ujung ranting masing-masing dengan tinta dan mulailah mereka bertanding, disaksikan oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Kwa Hong bertindak sebagai wasitnya. Tak-tok-tak-tok bunyi dua batang ranting itu beradu dan kedua orang jago muda itu bergerak cepat untuk mendahului lawan mengirim tusukan untuk menodai baju lawan dengan tinta di ujung ranting.

“He, Ki-ko! Tidak boleh menyerang mata!”

Kwa Hong berseru. Sebagai wasit, ia harus berlaku adil. Menurut perjanjian tadi, masing-masing hanya boleh menyerang baju untuk memberi tanda dengan tinta.

“Lok-ko, tidak boleh menendang!” Ia berseru.

Mula-mula hanya jarang ia berseru melarang, akan tetapi kedua orang jago muda itu makin lama menjadi makin penasaran dan panas karena belum juga mampu mengalahkan lawan.

Makin sering mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran dan makin sering pula Kwa Hong berteriak-teriak melarang. Malah sekarang Thio Bwee juga ikut berteriak-teriak karena khawatir melihat dua orang jago muda itu mulai menggunakan serangan sungguh-sungguh yang membahayakan lawan. Pertandingan untuk mengadu kepandaian itu menjadi perkelahian yang sungguh-sungguh. Kwa Hong marah dan membanting-banting kakinya.

“Kalian curang! Kalian tidak memegang janji. Sudah, jangan berkelahi lagi'”

Akan tetapi mana dua orang jago muda yang sudah panas perutnya itu mau berhenti? Mereka malah menyerang lebih hebat. Kwa Hong berteriak-teriak marah.

Tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua orang jago muda itu roboh terguling. Mereka tidak terluka karena tadi hanya terdorong saja ke samping, dengan heran mereka merayap bangun. Juga Kwa Hong dan Thio Bwee terheran-heran memandang….. ternyata bahwa Koai Atong sudah berdiri disitu, cengar-cengir dan berkata.

“Kalian tidak boleh bikin marah Enci Hong!” Lalu dia berpaling kepada Kwa Hong dan berkata, “Enci Hong, aku datang kembali untuk mengajak kau bermain-main seperti dulu. Hayo ikut aku ke hutan sebelah sana itu, tadi aku melihat seekor kijang muda yang amat indah. Akan kutangkap binatang itu untukmu.” la melangkah maju hendak menggandeng tangan Kwa Hong.

“Tidak, Koai Atong. Aku tidak mau pergi. Sukong akan marah nanti.” Kwa Hong mengelak.

“Tidak marah, biar kalau marah aku yang tanggung jawab.”

Koai Atong hendak memaksa, sekali tangannya menyambar dia sudah dapat memegang pergelangan tangan Kwa Hong.

“Tidak, tidak, aku tidak mau……”

Mereka berkutetan. Agaknya Koai Atong tidak mau mempergunakan kekerasan terhadap Kwa Hong yang disayanginya sebagai sahabat baik itu, maka mereka berkutetan saling tarik. Kalau Koai Atong mau mempergunakan kekerasan, tentu saja dengan mudah dia akan dapat membawa lari Kwa Hong.

Pada saat itu, dari luar taman berjalan masuk seorang anak laki-laki. Jauh dibelakang nampak beberapa orang tosu berlari-lari sambil berteriak-teriak.






No comments:

Post a Comment