Ads

Wednesday, September 12, 2018

Raja Pedang Jilid 055

Pada waktu terjadi perang kecil antara serombongan orang Pek-lian-pai yang dipirnpin oleh Tan Hok melawan pasukan Mongol yang mengakibatkan musnahnya pasukan Mongol di kaki Gunung Hoa-san, beberapa orang tosu Hoa-san-pai melaporkan hal itu kepada Sian Hwa.

Memang gadis ini dianggap orang yang paling pandai diantara para tosu. Lian Bu Tojin sendiri sedang bersamadhi dan sama sekali tidak boleh diganggu, maka kepada Sian Hwa mereka itu menuturkan tentang perang di kaki gunung.

Mendengar ini, dengan dikawani lima orang tosu kepala yang sudah tinggi kepandaiannya, Sian Hwa lalu berlari turun dari puncak. Kepada anak-anak keponakannya ia berpesan agar supaya jangan meninggalkan taman dan bermain-main di dalam taman saja.

Kedatangan Sian Hwa dan lima orang tosu di tempat pertempuran sudah terlambat. Tan Hok dan teman-temannya, termasuk Beng San, sudah lama meninggalkan tempat itu dikejar pasukan Mongol lain yang lebih besar jumlahnya dan yang seperti kita telah ketahui, dipancing untuk mengalami kehancuran di Pek-tiok-kok.

Liem Sian Hwa hanya mendapatkan tanah yang baru digali, yaitu tempat dimana mayat-mayat serdadu Mongol dikubur oleh Beng San dan yang kemudian dibantu oleh Tan Hok dan teman-temannya.

Melihat adanya sebuah bendera Pek-lian-pai di pohon, timbul kemarahan di hati Sian Hwa. Betapapun juga, Pek-lian-pai sekarang sudah menjadi musuh besarnya. Bukankah, ayahnya terbunuh oleh orang Pek-lian-pai dah Kwee Sin? Saking marahnya, ia merenggutkan bendera itu dari pohon dan merobek-robeknya, Seorang tosu mendekati dan berkata.

“Sumoi, kenapa kau merobek-robek bendera Pek-lian-pai itu? Bukankah itu bendera orang-orang yang melawan pasukan Mongol?”

“Pek-lian-pai perkumpulan orang-orang jahat! Kalau aku melihat mereka tadi disini, akan kulawan dan kubasmi semua!” seru Sian Hwa dengan suara marah. “Suheng sekalian apakah tidak ingat bahwa ayahku terbunuh oleh paku Pek-lian-ting milik Pek-lian-pai? Bagaimana aku tidak akan memusuhinya?”

“Bagus, bagus! Memang Pek-lian-pai jahat sekali, patut dibasmi!” tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika Sian Hwa menengok, ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki muda yang tampan, selalu tersenyum dan pakaiannya indah sekali.

Muka gadis itu seketika menjadi merah karena sinar mata pemuda ini amat tajam, bersinar-sinar tidak menyembunyikan kekagumannya ketika menatap kepadanya. Orang muda itu lalu memberi hormat, menjura sambil mengangkat kedua tangan dengan sikap yang halus sekali sehingga tiada kesempatan bagi Sian Hwa untuk marah.

“Maafkan saya, Nona. Saya Souw Kian Bi dan saya merasa sangat cocok dengan pendapat Nona tadi. Memang Pek-lian-pai adalah perkumpulan orang-orang jahat”.

Liem Sian Hwa tak mungkin dapat marah terhadap orang yang bersikap manis dan hormat sungguhpun hatinya tidak senang melihat kelancangan orang ini. Terpaksa oleh sopan santun ia balas menjura dan berkata singkat.

“Saya tidak ada urusan dengan Tuan, juga tidak mengenal Tuan. Maafkan bahwa saya tidak sempat bercakap-cakap lebih lama lagi.” Nona ini membalikkan tubuh hendak pergi.

Souw Kian Bi melangkah maju.
“Perlahan dulu, Nona. Apa salahnya kalau kita sekarang berkenalan? Apakah Nona anak murid Hoa-san-pai?”

Lima orang tosu yang mengawani Sian Hwa merasa tidak senang melihat ada seorang muda berani menegur sumoi mereka. Dianggapnya pemuda itu kurang ajar. Seorang diantara para tosu itu mencela.

“Sumoi tidak ada urusan denganmu, orang muda. Harap jangan mengganggu lebih jauh.”

Sambil berkata demikian, tosu itu menggerakkan tangan bajunya untuk mendorong orang muda itu minggir karena orang itu menghalangi jalan. Tentu saja dia mengerahkan tenaga untuk memperlihatkan kepandaian dan untuk menakut-nakuti orang muda itu.

Orang muda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi ketika lengan baju itu mengenai dadanya, bukan pemuda itu yang terdorong, melainkan tosu tadilah yang terpelanting. Tosu itu berseru kaget dan menjadi marah.





“Eh, kau mau main-main?” bentaknya sambil mencengkeram ke arah pundak.

“Suheng, jangan…..!”

Sian Hwa memperingatkan tosu itu karena gadis ini melihat bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, terbukti dari gerakan kakinya ketika terdorong tadi. Namun terlambat, tangan tosu itu terpelanting. Hanya kali ini terpelanting keras sampai terbentur batu dan mengeluarkan darah.

Empat orang tosu yang lain menjadi marah sekali.
“Keparat, berani kau merobohkan saudara kami?”

Serentak empat orang tosu ini menerjang pemuda tadi dengan pukulan-pukulan tangan. Souw Kian Bi, pemuda aneh itu, hanya tersenyum saja tanpa menangkis, hanya menundukkan kepala untuk rnenghindarkan pukulan yang mengancam mukanya.

Terjadi hal yang aneh sekali. Kepalan tangan empat orang tosu itu dengan jelas kelihatan mengenai tubuh pemuda itu sampai terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi tosu-tosu itu berteriak kesakitan sambil memegangi tangan mereka yang sudah menjadi bengkak-bengkak. Mereka merasa seperti memukul baja, bukan badan orang!

Sian Hwa tak dapat menahan kesabarannya lagi, karena di samping merasa heran sekali. Biarpun kepandaian empat orang suhengnya belum tinggi benar, namun menerima pukulan dengan badan dari empat orang sekaligus seperti pemuda itu dan membuat si pemukul sendiri bengkak-bengkak tangannya, benar membuktikan bahwa pemuda itu berilmu tinggi. Tanpa ragu-ragu ia lalu mencabut pedangnya, meloncat dekat dan membentak.

“Manusia sombong, berani kau bermain gila di depanku?” la melintangkan pedang di dada lalu menantang. “Hayo keluarkan senjatamu, hendak kulihat sampai dimana kelihaianmu!”

Orang muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi itu tersenyum dan pandang matanya makin membayangkan kekaguman?

“Kau hebat, Nona, hebat sekali. Patut menjadi sahabat baikku. Cantik dan gagah perkasa, hemmm…..”

Tentu saja muka Sian Hwa menjadi makin merah. Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak senang dipuji seorang laki-laki, terutama sekali dipuji akan kecantikannya. Demikian pula Sian Hwa. Akan tetapi di samping rasa senangnya ini, terdapat pula perasaan marah karena dianggapnya laki-laki itu kurang ajar.

“Siapa sudi menjadi sahabatmu? Hayo keluarkan senjatamu, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau habis kesabaranku ….”.

Souw Kian Bi tertawa, tampak barisan giginya yang putih dan rapi.
“Kau hendak main-main dengan pedang? Oho, bagus sekali. Memang kurang mesra perkenalan kita kalau tidak melalui ujung senjata. Nah, aku sudah siap, kau perlihatkanlah ilmu pedangmu, Nona Manis.”

Pemuda itu sekarang sudah memegang sebuah pedang yang amat indah karena gagang pedang itu dihias dengan batu-batu kumala. Selain indah bentuknya pedang itu pun nampak amat tajam sampai berkilauan tertimpa cahaya matahari.

Melihat lawannya sudah bersenjata, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi Sian Hwa segera menerjang maju dengan gerakannya yang amat lincah dan cepat. Sepasang pedang di kedua tangannya mengeluarkan suara mengaung ketika ia menghujani Souw Kian Bi dengah serangan-serangan maut. Sepasang pedang itu lenyap berubah menjadi dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, amat luar biasa dipandang.

Souw Kian Bi mengeluarkan seruan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis itu. Cepat-cepat dia memutar senjatanya melindungi diri sehingga berkali-kali terdengar suara pedang bertemu pedang. Lima menit sudah Souw Kian Bi hanya menangkis dan melindungi diri saja, kemudian tiba-tiba dia meloncat ke belakang sambil berseru.

“Jadi Nona ini Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, orang termuda dari Hoa-san Sie-eng? Pantas begini lihai dan cantik!” la tersenyum-senyum lagi, senyum memikat dengan sinar mata kagum.

Kembali wajah Sian Hwa menjadi merah
“Tak usah banyak cakap, kau sudah merobohkan lima orang suhengku. Kau boleh coba merobohkan aku, baru patut menyombongkan diri!” Kembali gadis ini menubruk maju sambil mainkan sepasang pedangnya.

Souw Kian Bu cepat menangkis lagi sambil tertawa.
“Alangkah akan senangnya andaikata aku dapar merobohkanmu, Nona, merobohkan hatimu terutama sekali. Alangkah senangnya…..”

“Keparat kurang ajar!”

Sian Hwa memperhebat serangannya dan kali ini Souw Kian Bi terpaksa mengeluarkan kepandaiannya untuk melindungi dirinya dari ancaman maut. Gadis itu merasa heran sekali ketika mendapat kenyataan bahwa orang muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi ini ternyata memiliki ilmu pedang yang amat aneh gerakannya, akan tetapi juga amat lihai.

Semua serangannya dapat ditangkis dengan mudah, malah setiap kali pedangnya beradu dengan pedang lawannya, ia merasa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga dalam pemuda itu juga tidak kalah olehnya. Diam-diam ia mengeluh dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. la akan merasa malu sekali kalau sampai kalah oleh pemuda ceriwis ini.

Di lain pihak, Souw Kian Bi juga amat kagum menyaksikan ilmu pedang gadis lawannya. Tidak percuma gadis ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) dan menjadi orang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang ternama.

Kesayangannya terhadap gadis ini yang tadinya timbul karena kecantikan Sian Hwa, menjadi bertambah-tambah. Kesayangan inilah yang membuat Souw Kian Bi tidak mau mempergunakan kepandaiannya untuk merobohkan Sian Hwa. Dia sengaja hendak membuat gadis ini roboh sendiri karena lelah dan di samping ini diapun hendak memamerkan kepandaiannya agar betul-betul dapat merebut hati gadis cantik dan gagah ini.

Sementara itu, para tosu yang telah roboh oleh Souw Kian Bi, menjadi makin khawatir menyaksikan betapa sumoi mereka yang terkenal gagah itupun belum berhasil merobohkan lawan itu dengan sepasang pedangnya. Diam-diam mereka lalu berunding, kemudian seorang diantara lima tosu itu lari naik ke puncak untuk melaporkan hal itu kepada Lian Bu Tojin.

Dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketua Hoa-san-pai itu, belum pernah ada anak murid Hoa-san-pai yang berani mengganggunya di waktu dia sedang bersamadhi. Kali ini tosu itu memaksa dia sadar dari samadhinya dan menceritakan tentang serbuan seorang laki-laki muda yang kurang ajar dan lihai ilmu silatnya. Biarpun sedang marah, tosu tua itu mengelus jenggotnya dan menahan napas untuk menekan kemarahan sehingga dia tenang dan sabar kembali.

“Kau bilang dia bernama Souw Kian Bi?”

Kakek ini mengingat-ingat akan tetapi tidak merasa mempunyai musuh ber she Souw. Jangan-jangan sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul), pikirnya. Ini berbahaya, kalau sampai Sian Hwa benar-benar kalah oleh penjahat itu akan celakalah muridnya. la segera bangkit, menyeret tongkatnya dan berkata,

“Antarkan pinto kesana.”

Ketika Lian Bu Tojin tiba di tempat pertempuran, dia menahan seruan kagetnya. Sian Hwa sudah terdesak hebat. Pedangnya yang kiri sudah terlepas dan kini gadis itu dengan napas tersengal-sengal mempertahankan diri dari serangan pemuda tampan itu yang tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata menggoda.

Jelas sekali terlihat bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi, malah dengan amat mudahnya akan dapat merobohkan Sian Hwa kalau dia mau. Ketika diam-diam Lian Bu Tojin memperhatikan ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu, dia mengangguk-angguk. Itulah ilmu pedang utara yang sudah tinggi tingkatnya. Juga gerakan-gerakan pemuda itu menyatakan bahwa tenaga dalamnya sudah kuat sekali. Pantas saja Sian Hwa terdesak. Andaikata yang melawan pemuda ini bukan Sian Hwa, melainkan Kwa Tin Siong, mungkin akan seimbang dan lebih ramai.

“Sian Hwa, mundurlah. Orang muda ada urusan boleh dirunding dengan pinto!”

Seruan Lian Bu Tojin ini biarpun perlahan, namun mengandung tenaga yang amat berpengaruh. Tentu saja sukar bagi Sian Hwa untuk mundur karena ia sudah dikurung sinar pedang lawannya.

Kalau bukan lawannya yang menghentikan pertandingan ini, ia sendiri sudah tidak berdaya melepaskan diri. Sambil mengeluarkan suara ketawa bergelak, Souw Kian Bi menggetarkan pedangnya dan “tringgg…..!” pedang kanan Sian Hwa terlepas pula, terlempar ke udara.






No comments:

Post a Comment