Ads

Wednesday, September 12, 2018

Raja Pedang Jilid 054

“Hong Hong, kelancanganmu belajar dari Koai Atong masih belum berbahaya kalau dibandingkan dengan perbuatanmu membujuk saudara-saudara seperguruan untuk mempelajarinya pula. Perbuatan itu buruk sekali.”

Biarpun ia dimarahi, namun Kwa Hong yang cerdik menjadi lega mendengar cara kakek itu menyebut namanya. Itu berarti bahwa kakek gurunya tidak marah lagi kepadanya.

“Teecu tidak membujuk, Sukong. Mereka memang suka mempelajari setelah melihat Koai Atong memukul pohon.”

“Betul, Sukong. Teecu yang bersalah, ingin belajar, sama sekali tidak dibujuk oleh Adik Hong,” kata Kui Lok cepat-cepat.

“Teecu juga tidak dibujuk,” sambung Thio Ki.

Thio Bwee diam saja, hanya melirik ke arah Kui Lok.

“Sudahlah,” kata kakek itu. “Kalian anak-anak harus ingat baik-baik. Sebetulnya bagi aku sendiri yang menjadi ketua Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat dari lain golongan bukanlah hal yang amat buruk. Akan tetapi mengapa diadakan peraturan dan larangan di Hoa-san-pai? Bukan lain untuk menjaga dan mencegah anak-anak murid Hoa-san-pai menyeleweng mempelajari ilmu yang sesat. Kalau sampai terjadi demikian, kalau sampai ada anak murid Hoa-san-pai mempelajari ilmu yang sesat kemudian menyeleweng dan melakukan perbuatan jahat, bukankah hal itu akan merusak nama baik Hoa-san-pai?”

“Sukong,” kata Kwa Hong yang sekarang sudah timbul keberaniannya. “Apakah ilmu silat dari Koai Atong termasuk ilmu sesat?”

Kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya.
“Sesungguhnya, kalau mau berkata secara jujur, di dunia ini tidak ada ilmu yang sesat. Semua ilmu itu baik tergantung kepada si pemakai ilmu. Ilmu dapat menjadi baik kalau dipergunakan untuk kebajikan. Sebaliknya, biarpun ilmu yang amat bersih, apabila dipergunakan untuk kejahatan, dapat menjadi ilmu yang kotor dan buruk.”

Empat orang anak itu saling pandang tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh sukong mereka. Kakek inipun maklum agaknya, maka sambil tersenyum dia berkata lagi,

“Biarlah kujelaskan. Misalnya ilmu bun (kesusastraan), siapa bilang bahwa ilmu membaca dan menulis ini bersifat buruk? Akan tetapi tetap saja baik buruknya tergantung daripada pemakai ilmu. Ilmu ini baik apabila dipergunakan untuk membuat sajak-sajak indah, menuliskan ilmu-iimu yang tinggi dan sebagainya. Akan tetapi bukankah menjadi ilmu yang amat buruk dan jahat apabila dipergunakan orang untuk membuat surat-surat fitnah, membuat laporan-laporan palsu, dan lain-lain seperti yang sekarang ini sering kali dilakukan orang?”

Barulah Kwa Hong dan teman-teman-nya mengerti. Memang pada waktu itu, sebagian besar rakyat tidak pandai membaca menulis. Sepucuk surat fitnah saja cukup untuk mencabut nyawa seorang yang buta huruf. Apalagi di kota-kota besar dan terutama di kota raja, kepandaian menulis menjadi senjata yang lebih ampuh daripada selaksa pedang dan lebih jahat dan keji daripada ular-ular berbisa.

“Nah, jelaskah sekarang? Baru ilmu menulis saja sudah begitu jahat, apalagi ilmu silat. Aku tidak mau bilang bahwa ilmu yang diajarkan oleh Koai Atong itu jahat, akan tetapi sifat daripada Jing-tok-ciang amatlah berbahaya. Ilmu pukulan itu tidak ada ampunnya, sekali dipergunakan, kalau yang menerima kurang kuat, bisa merenggut nyawa. Kalau tadi aku tidak kuat menahan pukulannya, apakah sekarang aku tidak sudah menggeletak mampus? Ha-ha-ha!”

Kwa Hong dan teman-temannya bergidik dan baru terbuka mata mereka akan perbedaan ilmu silat Hoa-san-pai dan Ilmu Jing-tok-ciang. Dari kata-kata kakek gurunya itu mereka tahu bahwa sebetulnya ilmu silat Hoa-san-pai tidak usah kalah oleh Jing-tok-ciang, sungguhpun Jing-tok-ciang kelihatan luar biasa dan mujijat.

“Kalian yang tekun belajar ilmu silat kita sendiri, yang rajin berlatih. Kalau ilmu silat kalian sudah mencapai tingkat setaraf dengan tingkat Koai Atong, kalian takkan kalah olehnya.” Kakek ini menarik napas panjang dan berkata lagi, perlahan seperti pada diri sendiri, “Sayangnya….. sampai sekarang tidak ada tulang cukup baik untuk menjadi ahli waris Hoa-san-pai….. yang sebaik Koai Atong saja tidak ada…..” Setelah berkata demikian, dengan muka sedih kakek ini meninggalkan taman.

Terbangkit semangat Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok mendengar wejangan-wejangan Lian Bu Tojin tadi. Mereka lalu berlatih dengan giat, setiap saat mereka berempat dapat terlihat berlatih silat di dalam taman atau di lian-bu-thia (ruang berlatih silat) di bawah petunjuk Lian Bu Tojin sendiri.

Tentu saja di dalam beberapa bulan mereka mendapatkan kemajuan yang luar biasa. Dengan adanya teman-teman berlatih, mereka seakan-akan berlomba untuk melebihi temannya dan hal ini pula yang mempercepat kemajuan mereka.

Akan tetapi, terjadi keganjilan yang menyolok. Hal ini hanya dapat diketahui oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Anak-anak perempuan tentu saja lebih halus perasaannya dan tahu membedakan sikap anak laki-laki.





Baik Kwa Hong maupun Thio Bwee dapat melihat bahwa selain berlumba dalam latihan, agaknya antara Thio Ki dan Kui Lok juga ada lain perlombaan lagi, yaitu berlomba menyenangkan atau merebut perhatian Kwa Hong, si gadis cilik yang lincah gembira, bermata bintang dan agak galak itu!

Kwa Hong menghadapi kenyataan ini dengan bangga dan sikapnya menjadi makin manja, tinggi hati, dan agaknya mempermainkan dua orang anak laki-laki itu. Sebaliknya, Thio Bwee yang pendiam, hanya sering nampak murung kalau melihat Kui Lok bermain-main dengan sikap bermuka-muka di depan Kwa Hong, mencarikan bunga, membuat mainan dari rumput dan lain-lain.

Waktu berlalu cepat. Anak-anak itu ditinggal orang tua mereka di puncak Hoa-san-pai sudah ada empat bulan lebih. Ketika Hoa-san Sie-eng datang ke puncak Hoa-san, anak-anak itu merasa gembira, akan tetapi ternyata bahwa orang tua mereka itu masih belum mau meninggalkan Hoa-san.

Kwa Tin Siong dan tiga orang adik seperguruannya menceritakan kepada Lian Bu Tojin tentang pertemuan mereka dengan dua orang saudara Bun, malah memberitahukan pula bahwa Kun-lun Sam-hengte akan datang ke Hoa-san dalam waktu lima bulan lagi.

Lian Bu Tojin rnengelus jenggot dan menggeleng kepala.
“Tidak disangka sama sekali akan terjadi hal yang begini tak menyenangkan,” katanya. “Selama puluhan tahun, hubunganku dengan Pek Gan Sian-su ketua Kun-lun-pai adalah hubungan saudara. Malah kami ingin mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kami. Siapa tahu malah malapetaka timbul karena ini.”

Dengan air mata berlinang Sian Hwa berkata,
“Ampunkan teecu Suhu. Teecu telah menimbulkan kedukaan di hati Suhu, akan tetapi….. apakah daya teecu? Ayah teecu dibunuh oleh….. oleh….. keparat itu…..”

Lian Bu Tojin mengangkat tangannya.
“Kau tidak salah Sian Hwa, kau tidak salah. Malah pinto yang sebetulnya merasa berdosa. Pinto yang menjodohkan kau dengan murid Kun-lun-pai, siapa tahu…..” Kakek itu berulang kali menarik napas panjang.

“Persoalan ini tentu akan segera dibikin terang setelah Kun-lun Sam-hengte tiba disini lima bulan lagi, Suhu. Kwa Tin Siong menghibur. “Biarlah lima bulan lagi teecu bersama datang lagi dan berkumpul disini untuk menghadapi murid-murid Kun-lun-pai.”

“Kalian pulanglah, akan tetapi anak-anak itu biarkan disini saja. Bukankah lima bulan lagi kalian datang? Aku ingin melihat sendiri kemajuan mereka, terutama membimbing watak mereka. Tin Siong dan kau, Wan It dan Kui Keng, tentu rela meninggalkan anak-anak kalian disini untuk lima bulan lagi, bukan?”

“Tentu saja, Suhu. Malah teecu menghaturkan banyak terima kasih bahwa Suhu sendiri berkenan membimbing mereka,” jawab tiga orang murid itu serempak.

“Suheng sekalian, jangan khawatir, aku berada disini menemani mereka,” kata Sian Hwa.

Makin gembira hati mereka, juga Lian Bu Tojin girang sekali mendengar bahwa Sian Hwa yang sudah tidak ada keluarga lagi itu hendak ikut menanti di Hoa-san selama lima bulan.

Demikianlah, Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng turun dari Hoa-san untuk pulang ke rumah masing-masing sedangkan Sian Hwa tinggal di Hoa-san bersama murid-murid keponakannya.

Gadis yang sedang menderita tekanan batin ini menghibur hatinya dengan melatih silat kepada keponakan-keponakannya. Agak terhiburlah hatinya melihat anak-anak yang gembira dan lincah itu. Apalagi terhadap Kwa Hong, Sian Hwa amat menyayangnya.

**** 54 ****





No comments:

Post a Comment