Ads

Wednesday, September 12, 2018

Raja Pedang Jilid 053

“Bohong..,..!” seru Thio Bwee marah;

“Aku tidak percaya…..!” kata Thio Ki penasaran.

Kui Lok juga terpukul oleh ucapan Kwa Hong itu. la ragu-ragu, mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala.

“Ah, agaknya tak mungkin…..” akhirnya dia berkata.

“Kalian tidak percaya? Kurasa, dua orang ayah kalian maju bersama masih tidak mampu melawan Koai Atong. Kalian tahu? Dia pernah menolong ayah dan bibi guru. Hebat sekali. Penjahat-penjahat lihai dia kalahkan hanya dengan memutar-mutar tangan kiri seperti ini…..”

Dengan lincah dan lucu Kwa Hong lalu memutar-mutar tangan kiri beberapa lama sambil menggigit bibir, kemudian sambil berseru,

“Mati…..!” tangan kirinya itu mendorong ke depan ke arah batang pohon besar yang tumbuh disitu. Beberapa helai daun pohon gugur dari tangkainya.

“Ah, Enci Hong, kurang tenaga….. kurang tenaga…..! Gerakanmu sudah cukup indah, tapi pukulan itu belum mengandung tenaga. Lihat begini Iho!”

Koai Atong lalu memutar-mutar tangan kirinya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, menggerakkan tangan itu perlahan kedepan, ke arah pohon yang tadi. Hebat sekali akibatnya. Pohon yang jaraknya antara dua meter dari tempat dia berdiri, tidak kelihatan goyang akan tetapi tiba-tiba semua daunnya rontok dari atas seperti hujan.

Ketika semua anak memandang, ternyata bahwa pohon itu tiba-tiba menjadi gundul tak berdaun lagi! Kwa Hong tersenyum girang dan bangga ketika melihat betapa Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok memandang dengan muka pucat. Bahkan Kui Lok meleletkan lidahnya saking heran dan kagumnya!

“Nah, bukankah dia hebat dan lucu?, Kalau kalian berbaik kepadanya, kalian juga bisa mempelajari ilmunya, seperti aku. Kelak kita akan menjadi orang-orang yang lebih lihai daripada ayah. Bukankah hebat?” kata pula Kwa Hong.

“Heee, siapa bikin rontok semua daun pohon itu? Celaka, pohon itu akan mati!”

Seruan ini dibarengi munculnya tiga orang tosu dari pintu taman. Ketika tiga orang tosu itu melihat Koai Atong, mereka makin marah. Mereka ini bukan lain adalah tosu-tosu yang tadi telah dirobohkan Koai Atong. Seorang diantara mereka, yang matanya juling, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya ke arah Koai Atong sambil membentak.

“Orang gila ini berada disini? Hong Hong, jangan biarkan dia disini. Tentu dia yang merusak pohon itu. Ah, celaka, Hoa-san-pai kedatangan iblis gila!”

Kwa Hong melihat Koai Atong cengar-cengir dan mengejek ke arah tiga orang tosu itu dengan mulut dan mata dimain-mainkan, matanya melotot plerak-plerok dan mulutnya kadang-kadang dipencas-penceskan atau lidahnya dikeluarkan dan diulur ke arah tiga orang tosu itu. Sambil menahan ketawanya melihat “kenakalan” Koai Atong, Kwa Hong cepat berkata,

“Sam-wi Supek (Uwa Guru Bertiga) harap jangan marah. Koai Atong sudah mendapat perkenan sukong (kakek guru) untuk bermain-main disini selama tiga hari.”

Tiga orang tosu itu cemberut dan bersungut-sungut,
“Orang gila diperbolehkan mengacau taman, merusak bunga dan merusak watak anak-anak. Celaka…..! Biarlah, pinto (aku) akan berdoa selama tiga hari kepada para dewa agar supaya dia dikutuk…..!” kata tosu bermata ju-ling sambil mengajak teman-temannya pergi.

Setelah menyaksikan kelihaian Koai Atong, didalam hati tiga orang anak itu timbul keinginan hendak mempelajari ilmu pukulan tadi.

“Koai Atong, kau memang lihai. Ajarkan ilmu pukulan tadi kepadaku!” kata Kui Lok mendekati.

“Kami pun ingin mempelajarinya,” kata Thio Ki dengan sikapnya yang masih angkuh.

Thio Bwee diam saja akan tetapi diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau semua orang mempelajari, iapun takkan ketinggalan.

Melihat betapa anak-anak itu semua sekarang suka kepadanya, Koai Atong menjadi gembira sekali. Memang dia sudah tua, namun jiwanya memang tidak normal, sifatnya seperti kanak-kanak yang tentu saja merasa bangga dan suka apabila anak-anak lain kagum kepadanya, Ia tertawa-tawa dan berkata.





“Mau belajar? Boleh, boleh, akan tetapi tidak mudah. Biarlah kita pergunakan pohon-pohon di taman ini sebagai lawan dalam latihan. Lihatlah baik-baik bagaimana gerakan tangan kiri, dimana letaknya tangan kanan dan bagaimana kedudukannya kedua kaki. Begini.”

Koai Atong lalu memberi petunjuk yang diturut oleh tiga orang anak itu. Mula-mula Thio Bwee masih malu-malu, akan tetapi kemudian melihat betapa Kwa Hong juga memberi petunjuk-petunjuk, ia menjadi tertarik dan ikut-ikut juga.

“Sudah bagus, sudah baik. Kalian cucu-cucu murid Hoa-san-pai memang berbakat,” kata Koai Atong senang. “Sekarang mari coba memukul pohon-pohon itu. Kalian lihat baik-baik.”

Koai Atong menghampiri sebatang pohon besar dan dengan sepenuh tenaga dia mendorong dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang. Akan tetapi pada saat itu, dari belakang pohon berkelebat bayangan orang dan disitu telah berdiri Lian Bu Tojin, tangan kiri memegang tongkat bambunya sedangkan tangan kanannya diluruskan untuk menyambut dorongan tangan kiri Koai Atong.

“Atong, jangan merusak pohon…” kata tosu tua itu.

Koai Atong yang berwatak kanak-kanak itu pada dasarnya bukanlah dari kalangan baik-baik, maka setiap kali dia dilawan, dia tentu akan mempergunakan kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Maka begitu dia merasa betapa pukulannya Jing-tok-ciang disambut oleh tangan kakek itu, dia mengerahkan tenaga dan melanjutkan pukulan itu dengan dorongan maut yang penuh hawa Jing-tok-ciang (Racun Hijau).

Kedua tangan itu bertemu dan lengket. Tangan kiri Koai Atong berubah kehijauan. Akan tetapi Lian Bu Tojin hanya berdiri tersenyum sambil memandang tajam. la maklum akan watak seorang seperti Koai Atong yang tentu tidak jauh dengan watak guru anak tua ini, teman baiknya, Ban-tok-sim Giam Kong. Dari julukannya saja, Ban-tok-sim berarti Hati Selaksa Racun. Dapat dibayangkan bagaimana watak guru Koai Atong.

Kwa Hong dan teman-temannya adalah anak-anak dari para ahli silat Hoa-san-pai. Sebagai anak-anak yang semenjak kecil kenal akan seluk-beluk persilatan tingkat tinggi, tentu saja mereka tahu apa yang sedang terjadi antara Koai Atong dan sukong (kakek guru) mereka, yakni adu kepandaian atau lebih tepat adu tenaga dalam. Mereka memandang dengan muka berubah dan mata bersinar-sinar.

Ada dua menit Koai Atong dan ketua Hoa-san-pai itu berdiri tegak sambil meluruskan tangan. Akhirnya Lian Bu Tojin berkata perlahan.

“Koai Atong, kau sudah maju banyak.”

Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuh Koai Atong terdorong ke belakang sampai lima langkah tanpa dapat dicegahnya Jagi. Mukanya menjadi merah sekali dan tiba-tiba Koai Atong mengeluarkan anak panahnya yang berwarna hijau. Inilah senjatanya yang ampuh dan hebat.

Lian Bu Tojin melihat ini lalu tertawa. Tentu saja dia tidak bisa menganggap murid temannya ini sebagai musuh atau lawan yang seimbang.

“Aha, Atong, kau hendak memperlihatkan ilmu Silat anak panah? Silakan, silakan, biar kau nanti dapat melapor kepada gurumu bahwa ketua Hoa-san-pai biarpun sudah tua belum lemah benar…..”

Ucapan ini merupakan perkenan bagi Koai Atong yang tadinya masih ragu-ragu untuk menyerang kakek itu. Tiba-tiba dia berseru keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus anak panah di tangannya sudah melakukan serangan susul-menyusul sampai delapan kali banyaknya.



Anak panah itu berubah menjadi segulung sinar hijau menyambar-nyambar ke arah diri kakek itu. Kwa Hong dan teman-temannya memandang penuh kekhawatiran.

Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan tenang menggerakkan tongkat bambunya. Terdengar bunyi keras delapan kali ketika anak panah itu selalu terbentur tongkat bambu ke manapun juga digerakkan.

Memang ilmu pedang Hoa-san-pai amat hebat. Jelas kelihatan oleh Kwa Hong dan teman-temannya bahwa kakek gurunya itu hanya mainkan jurus Tian-mo-po-in (Payung Kilat Sapu Awan) dari Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat.

Akan tetapi cara pergerakannya sedemikian sempurnanya sehingga delapan macam serangan dari Koai Atong dapat digagalkan! Kemudian terdengar seruan perlahan dari kakek itu

“Koai Atong, jagalah Jurus dari Hoa-san ini.”

Tongkat bambu bergerak perlahan dan….. anak panah terlepas dari tangan Koai Atong, terlempar keatas.

Namun Koai Atong memperlihatkan kelihaiannya. la dapat menggulingkan tubuh melepaskan diri daripada lingkaran tongkat bambu, kemudian tubuhnya melesat ke atas dan tahu-tahu anak panah sudah dipegangnya lagi. la mengeluarkan suara seperti orang menangis kemudian…, dia lari tunggang-langgang meninggalkan taman seperti seorang anak kecil nakal melarikan diri karena takut mendapat hukuman.

Lian Bu Tojin tertawa dan mengerahkan khikang berkata ke arah larinya Koai Atong,
“Atong, sampaikan salamku kepada gurumu Giam Kong!”

Setelah Koai Atong pergi, kakek ini berubah mukanya. Kini keren dan sungguh-sungguh. la menghadapi Kwa Hong dan teman-temannya, lalu terdengar kakek ini berkata, suaranya menahan kemarahan.

“Kwa Hong, bagaimana bunyi larangan ke tiga dari Hoa-san-pai?”

Berubah wajah Kwa Hong, agak pucat. Kalau kakek gurunya sudah memanggil namanya dengan penuh, tidak Hong Hong seperti biasanya, itu dapat diartikan bahwa kakek gurunya benar-benar marah.

Setelah menjura ia berkata sambil menundukkan muka,
“Larangan ke tiga berbunyi : Setiap orang murid Hoa-san-pai tidak boleh mempelajari ilmu silat dari luar Hoa-san-pai tanpa seijin gurunya.”

“Hemmm, baik kau masih ingat. Tapi, kenapa kau tadi mempelajari Jing-tok-ciang yang amat keji itu dari Koai Atong?”

Suara tosu tua itu makin marah kedengarannya membuat Kwa Hong kaget dan takut sekali. la memang paling takut kepada kakek gurunya ini. Akan tetapi iapun merasa heran mengapa orang tua ini marah-marah, padahal biasanya amat sabar.

“Saya….. saya mengaku salah, Sukong. Siap menerima hukuman!”

Anak perempuan ini menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gurunya. Tiga orang anak yang lain melihat ini menjadi ketakutan dan mereka pun serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan berkata hampir berbareng.

“Teecu juga mengaku salah dan siap menerima hukuman”.

Melihat cucu-cucu muridnya berlutut menerima hukuman dan sikap anak-ketaatan akan peraturan Hoa-san-pai, sikap yang memang sudah terkenal dari murid-murid Hoa-san-pai.

“Kalian tahu,” katanya, suaranya masih keren, “apa hukuman bagi murid yang melanggar larangan ke tiga itu?” Empat orang anak itu mengangguk.

“Si pelanggar harus membuang ilmu yang dipelajarinya di luar Hoa-san-pai, kalau perlu badannya dirusak agar ilmu itu tak dapat dipergunakan. Baiknya kalian belum pandai mempergunakan Jing-tok-ciang, kalau sudah pandai, pinto (aku) takkan segan-segan mematahkan tangan kiri kalian!” Jelas tampak betapa empat orang anak itu pucat dan gemetar mendengar ini.






No comments:

Post a Comment