Ads

Monday, September 10, 2018

Raja Pedang Jilid 050

Setelah semua serdadu memasuki lembah gunung, tepat seperti yang diperhitungkan oleh para pejuang yang berpengalaman itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan dari atas batu-batu karang yang mengapit-apit jalan sempit, menggeludung turun batu-batu besar yang setibanya di jalan itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Debu mengebul dan jalan itu tertutup!

“Celaka, kita terjebak! Mundur!”

Komandan itu berseru dengan wajah pucat. Barisan itu menjadi kacau. Takut kalau-kalau mendapat serangan gelap di jalan yang sempit itu, mereka saling tabrakan lari jatuh bangun untuk kembali melalui jalan sempit.

Akan tetapi tiba-tiba di depan tampak asap bergulung-gulung ke atas dan….. rumpun-rumpun bambu di kanan kiri jurang ternyata telah dibakar orang! Api menjilat-jilat tinggi sampai di jalan sempit sehingga tak mungkin lagi orang dapat melalui-nya. Barisan itu sudah terkurung, di depan dihalangi batu-batu besar, di belakang dihalang-halangi api.

Selagi mereka kebingungan, tiba-tiba menyambar paku-paku Pek-lian-ting, juga batu-batu besar menggelundung dari atas karang. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar, serdadu-serdadu itu mulai roboh dan keadaan menjadi makin panik.


Komandan mencoba untuk memberi perintah supaya semua bersikap tenang dan menghujani anak panah ke arah lawan. Akan tetapi karena lawan tidak kelihatan sedangkan mereka berada di tempat terbuka tanpa perlindungan sama sekali, serdadu-serdadu itu menjadi bingung. Lebih lagi ketika hujan api menyerang mereka, yaitu kayu-kayu terbakar yang dilemparkan ke arah mereka.

Serumpun bambu yang terbakar dilemparkan dari atas, tepat mengenai tubuh komandan pasukan itu. la berteriak-teriak dan meloncat-loncat ke sana kemari, bajunya terbakar, demikian pula rambut dan jenggotnya. Akhirnya dia menggelundung ke dalam jurang disambut api yang berkobar!

Beng San yang mengintai dari atas batu karang merasa kagum bukan main. Benar-benar hebat. Hanya sembilan orang saja mampu membasmi puluhan musuh. Akan tetapi di samping kekagumannya, juga dia merasa ngeri dan bergidik. Bagaimana sesama manusia dapat melakukan pembunuhan besar-besaran seperti ini?

Beng San cukup tahu bahwa serdadu-serdadu Mongol itu mempunyai kebiasaan yang jahat terhadap rakyat, seperti yang pernah dilihatnya baru-baru ini. Akan tetapi menghadapi perang bunuh-bunuhan seperti itu, melihat manusia terpanggang anak panah, orang terbakar hidup-hidup, dan melihat orang ketakutan setengah mati, dia tak kuasa melihat lebih lama lagi dan Beng San membuang muka.

Hanya sebentar saja perang ini. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para anggauta Pek-lian-pai benar hebat dan tak seorang pun diantara serdadu Mongol dapat meloloskan diri dari maut. Di pihak Pek-lian-pai, hanya tujuh orang termasuk Tan Hok dan Beng San yang masih hidup. Yang lain tewas terkena anak panah, bahkan ada yang ikut terbakar ketika dia sibuk membakari bambu untuk menjebak musuh. Tan Hok dan teman-temannya lalu berpencaran meninggalkan tempat itu.

“Kau hendak kemana, Beng San?” tanya Tan Hok ketika melihat anak ini agak pucat dan nampak berduka.

“Aku hendak pergi ke Hoa-san,” jawab Beng San singkat.

“Mari kau ikut saja denganku. Kau akan kumasukkan sebagai anggauta Pek-lian-pai…..”

“Tidak…..! Tidak. Aku tidak sudi menjadi pembunuh!”





Tan Hok memandang heran, akan tetapi hanya sebentar saja. la maklum bahwa anak ini tadi merasa ngeri menyaksikan pembunuhan terhadap musuh-musuh itu. la menggandeng tangan Beng San.

“Baiklah, kalau kau belum kuat perasaanmu untuk maju berperang. Mari kuantar kau ke Hoa-san. Setelah apa yang terjadi disini, amat berbahaya melakukan perjalanan seorang diri di daerah ini. Kalau kau berjumpa dengan serdadu, kau akan ditangkap, dipukul dan dipaksa mengaku dimana adanya orang-orang Pek-lian-pai. Mari kau ikut aku, mengambil jalan rahasia untuk menuju ke Hoa-san.”

Beng San menurut saja dan wajahnya yang cemberut dan muram dapat dimengerti oleh Tan Hok. Maka pemuda raksasa itu di sepanjang jalan lalu menceritakan keadaan dirinya, menceritakan keadaan Pek-lian-pai.

“Semenjak kecil oleh guruku, aku telah ikut berkecimpung dalam perjuangan melawan pemerintah penjajah Mongol. Guruku yang sudah tidak ada lagi bernama Tan Sam adalah seorang tokoh terkenal di Pek-lian-pai. Kau tahu, Beng San, Pek-lian-pai merupakan perkumpulan kaum patriot yang anggautanya tersebar di seluruh negeri.”

Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan sepak terjang Pek-lian-pai dan kegagahan para anggautanya yang pantang mundur dan rela berkorban nyawa untuk membela bangsa.

Beng San yang sudah banyak membaca kitab kuno, banyak pula mendengar tentang riwayat para pahlawan, maka dia merasa kagum juga dan simpatinya terhadap Pek-lian-pai menjadi besar.

“Betapapun juga, perang bunuh-membunuh itu menyakitkan hatiku,” katanya sebagai komentar. “Membunuh seorang dua orang penjahat masih dapat kuterima. Akan tetapi puluhan orang itu, biarpun mereka semua orang-orang Mongol atau kaki tangan pemerintah Mongol, apakah mungkin orang sebegitu banyaknya itu jahat-jahat semua?”

Tan Hok tertawa lebar.
“Di dalam perang, tidak ada istilah jahat ataukah tidak jahat. Tidak ada permusuhan pribadi. Tentu saja aku sendiri tidak membenci seorang pun serdadu Mongol atas dasar perasaan pribadi karena mengapa aku membenci seorang yang sama sekali tidak kukenal? Tentu saja andaikata mereka tadi itu bukan serdadu-serdadu Mongol, aku takkan sudi mengganggu mereka. Akan tetapi di dalam perang, mereka itu adalah musuh-musuh kita. Musuh rakyat yang harus dibasmi habis. Kalau tidak kita membunuh mereka, tentulah mereka yang akan membunuh kita.”

Seorang anak sekecil Beng San yang belum pernah mendengar tentang politik kenegaraan, dan kebangsaan, mana bisa mengerti akan hal ini? Apa yang pernah dia pelajari hanyalah tentang prikemanusiaan dan tentang filsafat hidup yang pada umumnya mencela kekerasan dan tidak membenarkan tentang bunuh-membunuh.

Betapapun juga, semangat Tan Hok dalam ceritanya membangkitkan rasa suka yang besar dalam hati Beng San, apalagi setelah raksasa muda itu menjelaskan tentang penjajahan dan kesengsaraan rakyat karena diperas oleh kaum penjajah yaitu bangsa Mongol.

“Sungguh menggemaskan kalau diingat,” demikian antara lain Tan Hok menceritakan, “Bangsa kita adalah bangsa yang besar, yang mempunyai rakyat banyak sekali. Sebaliknya bangsa Mongol adalah bangsa perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tertentu, juga rakyatnya hanya sedikit. Akan tetapi bagaimana bangsa kita malah dijajah dan diperbudak oleh bangsa Mongol? Padahal kalau rakyat kita semua bangkit melakukan perlawanan, setiap orang Mongol sedikitnya akan berhadapan dengan tiga puluh orang kita!”






No comments:

Post a Comment