Ads

Monday, September 10, 2018

Raja Pedang Jilid 049

Hati Beng San lega melihat orang-orang gagah ini larinya meninggalkan Gunung Hoa-san dan mendaki gunung kecil yang gundul dan banyak batu-batu karangnya tinggi meruncing.

Derap kaki kuda dari belakang makin lama makin terdengar dekat dan ketika mereka sudah mulai mendaki bukit, dari atas terlihatlah oleh mereka pasukan berkuda terdiri dari sedikitnya enam puluh orang mengejar mereka dari belakang!

Melihat ini, diam-diam Beng San berkhawatir. Sisa teman-teman Tan- Hok termasuk pemuda raksasa itu sendiri hanya ada dua belas orang. Bagaimana akan dapat melawan enam puluh orang serdadu musuh?

Jalan yang dilalui rombongan Tan Hok amat sukar, banyak lubang-lubang dan tak mungkin dilalui kuda. Tan Hok memimpin teman-temannya berloncatan melalui jalan ini dan setelah sampai di tempat yang agak tinggi, baru Beng San tahu bahwa kuda-kuda rampasan tadi tidak ikut dibawa ke tempat itu, entah disembunyikan dimana oleh teman-teman Tan Hok. Dan anak ini sekarang mengerti, atau demikian dia mengira, bahwa Tan Hok dan teman-temannya memilih jalan ini agar lawan yang berkuda tidak dapat mengejar mereka.

Akan tetapi, setelah mereka tiba di tempat yang lebih tinggi, Beng San kaget melihat betapa pasukan besar di belakang itupun kini sudah turun dari kuda dan mengejar mereka sambil berloncat-loncatan dan berlarian. Dilihat dari atas, enam puluh orang itu seperti semut yang merayap-rayap naik!

“Tan-twako, mereka mulai mengejar tanpa kuda!” kata Beng San khawatir sekali.

Tan Hok hanya tersenyum.
“Jangan khawatir, Adik Beng San. Kita kaum Pek-lian-pai sudah biasa menghadapi musuh banyak. Musuh yang mengejar itu tidak ada seratus dan kita….. bersama kau ada tiga belas orang. Takut apa?”

Diam-diam Beng San menghitung. Tiga belas orang melawan enam puluh orang lebih. Berarti seorang melawan lima orang musuh! Bagaimana raksasa ini masih bicara begitu enak? Beng San merasa heran, dan juga kagum.

“Aku jangan dihitung, Tuako. Melawan satu orang saja belum tentu aku menang, bagaimana harus melawan lima orang?”

Tan Hok hanya tertawa.
“Kau lihat saja nanti. Lihat dan pelajarilah cara-cara kaum Pek-lian-pai mengganyang musuh-musuhnya.”

“Srrrt! Srrrt!”

Beberapa buah anak panah meluncur dari belakang. Sebuah anak panah hampir saja mengenai tubuh Tan Hok, baiknya raksasa muda ini cepat menangkisnya dengan golok. la nampak kaget ketika merasa telapak tangannya tergetar.

“Teman-teman, cepat! Dan awas, pelepas panah lihai sekali. Lari sambil mencari perlindungan. Cepat!”

la menarik tangan Beng San dan mendahului rombongannya. Mereka sudah hampir tiba di puncak bukit. Tadinya anak panah dari belakang masih gencar menyerang, akan tetapi karena perjalanan itu berliku-liku, musuh dari belakang tak dapat melepas anak panah secara ngawur lagi.

Mereka tiba di daerah batu-batu besar yang banyak guanya. Tan Hok membawa teman-temannya memasuk gua besar yang ternyata merupakan terowongan batu dan alangkah herannya hati Beng San ketika ternyata olehnya bahwa rombongan itu jalannya menuju….. kembali turun! Di tengah-tengah terowongan terdapat lubang-lubang diantara batu dan dari lubang-lubang ini mereka dapat mengintai musuh yang berada di luar.

“Ah, benar pasukan itu berhenti, tidak mengejar terus,” kata Tan Hok setelah mengintai. “Tentu dipimpin oleh orang pandai yang berpengalaman. Kita harus memancing mereka sampai di Pek-tiok-kok. Mari, teman-teman, cepat. Kita menggunakan kecerdikan musuh untuk menipu mereka.”

Sambil berlari Tan Hok menggandeng tangan Beng San memasuki terowongan yang gelap itu, diikuti teman-temannya. Tak lama kemudian mereka tiba di tempat terbuka, keluar dari terowongan yang merupakan gua besar.

“Serbu mereka sambil berteriak-teriak, kalau mereka melawan pura-pura kalah biar mereka mengejar kita,” bisik Tan Hok kepada teman-temannya. “Mungkin di fihak kita jatuh korban, akan tetapi ingat, apa artinya pengorbanan kita kalau akhirnya kita dapat menghancurkan mereka.”





Semua orang mengangguk menyatakan setuju dan rombongan ini kembali merayap naik karena mereka sekeluarnya dari terowongan itu ternyata telah berada di sebelah bawah kedudukan musuh.

Mereka melihat barisan musuh memasang kedudukan di lereng, tidak mengejar terus. Inilah kecerdikan pimpinan barisan itu, karena kalau tadi mereka terus mengejar, tentu mereka itu akan menjadi korban hujan Pek-lian-ting (Paku-paku Teratai Putih) yang tentu akan dilakukan oleh rombongan Tan Hok.

Enak saja menyikat mereka itu dari terowongan, menyerang tanpa dapat diserang kembali dan karena jalanan sempit pasti musuh akan kacau-balau dan banyak jatuh korban. Pimpinan tentara Mongol itu agaknya menaruh hati curiga, maka menyuruh pasukannya berhenti dan dia hanya menyuruh beberapa orang pengintai untuk merayap mendekati daerah berbatu-batu itu untuk melakukan penyelidikan.

Ketika mendengar bahwa tidak ada jejak orang-orang yang mereka kejar, pimpinan barisan itu berkata,

“Kita tunggu saja, pasti mereka itu menggunakan siasat. Kita lihat saja apa siasat mereka. Dengan menanti di tempat terbuka ini sambil siap siaga, tak mungkin mereka dapat menipu.”

Tiba-tiba mereka mendengar suara sorak-sorai dan paku-paku Pek-lian-ting terbang menyambar dari belakang! Kaget sekali barisan itu. Pemimpinnya sendiri juga kaget, karena apapun yang akan dilakukan oleh rombongan pemberontak Pek-lian-pai yang dikejar tadi sama sekali dia tak pernah menduga bahwa yang dikejar itu tahu-tahu sudah muncul di belakangnya!

Mereka tak sempat lagi menggunakan panah, maka pemimpin ini berteriak-teriak memberi komando supaya melawan. Apalagi ketika dilihatnya bahwa yang muncul hanya belasan orang lawan saja.

“Serbu! Bunuh habis para pemberontak!” teriaknya keras.

Tan Hok dan teman-temannya mengamuk. Pemuda raksasa ini sedikitnya sudah merobohkan lima orang dan pertempuran yang berat sebelah ini hanya berjalan seperempat jam.

Beng San oleh Tan Hok disuruh bersembunyi agak jauh agar jangan tertimpa bencana. Tiba-tiba Tan Hok memberi aba-aba,

“Mundur! Lari…… musuh terlampau kuat!”

Teman-teman Tan Hok lari cerai-berai, nampaknya kacau-balau ketakutan. Pemimpin barisan Mongol tertawa bergelak-gelak,

“Ha-ha-ha-ha-ha, tikus-tikus Pek Lian pai, mampus kalian semua. Hayo kejar”.

Biarpun kelihatannya kacau-balau, sebetulnya rombongan teman-teman Tan Hok ini melarikan diri secara teratur. Mereka cerai-berai sehingga musuh menjadi kacau pula pengejaran mereka. Dan apabila ada seorang dua orang musuh terpencil, tiba-tiba yang dikejar muncul dari tempat sembunyinya dan merobohkan satu dua orang musuh dengan Pek-lian-ting. Dan akhirnya, karena memang sudah diatur lebih dulu, semua orang yang lari kacau-balau dan sebetulnya siasat untuk mengacau musuh, telah berkumpul lagi dan melarikan diri ke selatan.

Pimpinan barisan marah bukan main melihat betapa anak buahnya dipermainkan. Seorang anggauta Pek-lian-pai yang dapat dirobohkan, dia cincang dengan golok besarnya, kemudian dia memberi aba-aba kepada semua barisannya supaya mengejar terus dan membasmi habis rombongan Pek-lian-pai yang hanya terdiri dari belasan orang itu.

Beng San menyaksikan semua ini dengan kagum. la ikut lari pula di samping Tan Hok ketika rombongan ini lari ke selatan, dikejar dan dihujani anak panah. Tiga orang temannya roboh pula terkena anak panah. Mereka tidak mati, hanya terluka parah. Beng San ingin menolong mereka, akan tetapi Tan Hok mencegahnya, malah menghampiri tiga orang itu dan berkata.

“Saudara-saudara, teruskan siasat kita!”

Tiga orang itu tersenyum lebar, dengan muka pucat mereka mengangguk dan dengan tubuh mandi darah mereka diam-diam mempersiapkan Pek-lian-ting dan golok di tangan.

Sambil berlari-lari Beng San tak dapat menahan keinginannya untuk menengok ke belakang melihat ke arah tiga orang teman yang sudah terluka itu. Dua orang terluka dadanya tertancap anak panah, yang seorang terluka parah pahanya karena anak panah menancap dan menembus pahanya.

“Adik Beng San, tak usah menengok. Mereka akan tewas sebagai satria sejati, mereka akan gugur sebagai bunga bangsa, sebagai patriot pahlawan tanah air.”

“Apa? Mereka akan mati? Dan kau diamkan saja…..?”

Beng San tak dapat menahan teriakannya dan dia sekarang mogok betul-betul tidak mau lari lagi. Tan Hok tersenyum dan memberi isyarat kepada teman-temannya supaya lari terus. la sendiri berkata,

“Kau mau menyaksikan kegagahan mereka? Baik, mari kita intai dari sini.”

la membawa Beng San ke belakang sebuah batu besar dan berlutut di situ, mengintai ke arah tiga orang yang menggeletak tadi.

“Lihat, Adik Beng San. Lihat dan ingatlah selalu akan kegagahan kaum Pek-lian-pai, patriot-patriot sejati.” bisik Tan Hok.

Barisan itu sudah tiba di tempat dimana tiga orang anggauta Pek-lian pai itu menggeletak. Tiba-tiba tiga orang itu meloncat bangun dan menyambit dengan Pek-lian-ting. Terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang pengejar terjengkang roboh.

Komandan barisan itu marah sekali. Anak panahnya menyambar dan seorang diantara tiga orang Pek-lian-pai roboh dengan leher tertembus anak panah. Yang dua mengamuk, dikeroyok dan biarpun mereka berhasil melukai dua orang lawan, namun mereka sendiri roboh dengan tubuh hancur dihujani senjata para pengeroyoknya. Beng San menutupi mukanya, ngeri.

“Twako, mengapa mereka tadi tidak dibawa lari saja? Kenapa kau begitu tega membiarkan teman-teman sendiri mati seperti itu?”

Tan Hok menarik tangan Beng San, diajak berlari pergi menyusul kawan-kawan yang sudah lari terlebih dulu. Di belakang mereka, serdadu-serdadu itu bersorak dan pengejaran dilanjutkan.

“Kau dengar itu, Beng San? Kematian tiga orang teman kita tadi selain tidak rugi karena mereka dapat merobohkan beberapa orang musuh, juga merupakan kelanjutan siasat pancingan kita. Karena kita meninggalkan teman-teman yang terluka, tentu para serdadu mengira bahwa kita ketakutan betul-betul dan melarikan diri kacau-balau, bukan sedang menjalankan siasat. Dalam siasat perang, pengorbanan tiga orang teman bukan apa-apa, bahkan kalau perlu, pengorbanan tiga ribu orang pahlawan masih belum terhitung mahal demi tanah air dan bangsa. Kau dengar? Mereka mengejar terus. Hayo cepat, sudah dekat Pek-tiok-kok.”

Yang disebut Pek-tiok-kok atau Lembah Gunung Bambu Putih itu adalah lembah gunung yang penuh jurang-jurang berbahaya dan disana-sini terdapat rumpun bambu yang berwarna keputihan. Jalan di daerah ini berbahaya sekali, kadang-kadang amat sempit, hanya dapat dilalui seorang saja dengan jurang-jurang dalam di kanan kiri yang juga penuh dengan rumpun bambu-bambu putih. Memang amat indah, akan tetapi juga amat berbahaya. Menyambung jalan sempit diapit-apit jurang itu adalah jalan sempit diapit-apit batu karang yang tinggi di kanan kiri.

Tan Hok membawa Beng San lari cepat melalui jalan sempit dan tiap kali terdengar suara-suara suitan di kanan kiri jalan, suara dari dalam jurang. Itulah suara teman-teman mereka yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu dan memasang barisan pendam!

Tan Hok dan Beng San lalu mendaki batu karang, mempergunakan sehelai tambang besar yang memang sudah dipasang oleh teman-teman mereka. Di atas batu-batu itu, di kanan kiri, sudah menjaga pula beberapa orang teman.

Karena para anggauta Pek-lian-pai itupun sambil berlari membuang senjata golok mereka di sepanjang jalan, maka barisan pengejar makin bernafsu. Mereka merasa yakin bahwa orang-orang Pek-lian-pai yang mereka kejar sudah ketakutan setengah mati bahkan sudah lelah, buktinya senjata-senjata golok mereka berserakan di jalan.

Dengan bersemangat mereka memasuki Lembah Gunung Bambu Putih, didahului oleh komandan mereka yang memegang golok besar. Barisan itu merupakan iring-iringan panjang sekali ketika memasuki lereng ini, karena jalan sempit.






No comments:

Post a Comment